(Sumber : Pinterest)
Oleh : Nurul Aisy*
"Apa kampus terbaik di Jawa Barat tahun 2023?" Demikian pertanyaan yang diajukan Ustadz Adian Husaini dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan di STIQ ZAD pada 18 Juli 2024/ 13 Muharram 1446. Pertanyaan ini membuka pembahasan sekaligus menjadi penghangat suasana. Hadirin hanyut dalam gelak tawa, karena tidak ada jawaban yang dibenarkan oleh beliau. Meski deretan kampus bergengsi telah disebut, namun tidak ada satupun jawaban yang 'diamini'.
Pertanyaan tersebut berakhir pada jawaban, "kenapa tidak disebutkan kampus kalian sendiri". Seluruh ruangan riuh. Namun menurut hemat saya, bukan redaksi jawabannya yang menjadi hal paling penting, namun mindset dan kepercayaan dirinya. Bahwa Al-Qur'an adalah sumber kejayaan umat, sehingga meniscayakan belajar Al-Qur'an sebagai sebuah kemuliaan. Beliau melanjutkan, memang belajar Al-Qur'an tidak menjamin masuk surga, namun setidaknya mendekatkan kepada surga dan kemuliaan.
Dalam kesempatan ini, pesan inti yang ingin beliau sampaikan adalah pentingnya umat memiliki Izzah. Umat Islam adalah umat mulia, yang hanya bisa meraih kemuliaannya dengan Al-Qur'an. Mindset ini harus selalu ditanamkan, seiring semakin mundurnya mentalitas umat yang terhanyut dengan sistem pendidikan ala kolonial yang menanamkan keminderan.
Dalam pendidikan Barat, kita dididik untuk menjadi sebaik-baik pekerja. Bukan tanpa alasan, karena pendidikan Barat lahir sebagai jawaban akan hadirnya Industrialisasi. Yang menjadi masalah, kita saat ini tengah menjadikan apa yang dibentuk Barat sebagai standar kemajuan, hingga lupa dengan identitas. Kita adalah sebuah umat yang memiliki worldview tersendiri sebagai basis peradaban. Pandangan kita telah disempitkan dengan teori pembangunan yang didominasi dengan materialisme. Generasi ini dididik untuk memiliki mental pekerja. Umat yang seharusnya bermental "khairu ummah", berubah menjadi pembebek yang tidak berdaya dengan apa yang dibawa oleh peradaban Barat. Seolah-olah kita tengah mengalami kesilauan, tidak memiliki contoh dan akar peradaban dari yang telah dibangun oleh Baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam yang mulia.
Padahal saat ini, peradaban Barat telah kehilangan wajahnya. Barat yang digadang-gadang menjunjung hak asasi manusia (human right), justru diam membeku dan bahkan menjadi dalang kejahatan kemanusiaan di Palestina. Barat telah kehilangan legitimasinya dalam peradaban manusia. Tentu saja ini menjadi peluang global bagi Islam, yang bisa disebut dengan "The End of Western Civilization". Kebangkrutan ini sekaligus juga menjadi tanda matinya berbagai ideologi besar dunia; tamatnya komunisme; dan gagalnya sekularisme, pluralisme dan liberalisme.
Tentu saja dalam melihat Barat, umat Islam tidak boleh anti dan menolak seutuhnya. Kita tidak bisa menutup mata dengan seluruh pencapaian luar biasa dan ilmu pengetahuan yang diraih dan dikembangkan peradaban Barat. Namun kita juga harus sadar, bahwa Barat adalah suatu peradaban, memiliki nilai-nilai dan kekhasan yang tidak seluruhnya bisa diambil. Artinya, kita harus bersikap cerdas dan kritis dengan apa-apa yang datang dari Barat.
DENGAN IZZAH, UMAT MENANG!
Leopold Weiss (w. 1992), seorang intelektual Yahudi yang masuk Islam dan memiliki nama hijrah Muhammad Asad dalam bukunya Islam at the crossroads menyebutkan, bahwa suatu peradaban tidak akan menang kecuali dengan pride/ 'izzah. Jika umat ingin mulia, maka harus membuang jauh-jauh inferioritas diri. Dengan 'izzah, lembaran sejarah telah membuktikan diseganinya Islam pada masa generasi terbaik. Jangankan dipecah belah dengan dunia, umat ini diadu domba pun tidak bisa.
Disebutkan bahwa suatu ketika, Amirul Mukminin mengirimkan delegasi kepada raja Farsi. Yang dikirim bukanlah sahabat yang tersohor namanya dalam lembaran sejarah, namun seorang bernama Rib'i bin Amir, dengan gaya khas Baduy-nya. Tanpa ragu, diinjak-injak karpet kebanggaan raja Farsi, dan dihentakkan kudanya di hadapan raja. Meski demikian, raja Farsi tidak melakukan balasan apapun karena segan terhadap umat Islam.
Kisah senada juga didapat ketika umat diadu domba oleh Romawi. Tatkala akan terjadi Perang Shifin, pihak Romawi melakukan korespondensi dengan menawarkan bantuan militer kepada Muawiyah bin Abu Sufyan. Dengan tegas, bantuan yang ditawarkan kembali dalam bentuk kecaman, hinaan, juga ancaman pengiriman bala tentara yang tidak terhitung dan tidak terbayangkan jumlahnya.
Dengan Al-Qur'an, umat tidak gentar terhadap ancaman luar maupun dalam. Nilai-nilai Al-Qur'an telah berhasil membentuk generasi tangguh yang disegani dunia. Dalam lintasan sejarah, nama Imam Al-Ghazali, Abdul Qadir Al-Jilani dan Shalahuddin Al-Ayyubi juga turut menjadi contoh akan kebangkitan generasi yang kembali kepada Al-Qur'an.
KURIKULUM TAQWA SEBAGAI GERBANG MENUJU KEMULIAAN UMAT
Dalam pendidikan Islam, adab menjadi prioritas utama. Oleh sebab itu, tujuan menuntut ilmu dalam Islam adalah membentuk anak didik yang beradab, dan bertaqwa kepada Allah. Berbekal adab dan taqwa inilah setiap pribadi menjadi orang bermanfaat dalam bidangnya masing-masing, sehingga produktivitas tidak disempitkan dengan harta namun dimaknai kebermanfaatan.
Jika demikian, maka standar kesuksesan bukan lagi hanya terkait harta. Marbot masjid yang ikhlas bekerja karena Allah, guru yang menghidupkan pendidikan di pedalaman hingga ibu rumah tangga yang fokus mendidik generasi sholih-sholihah adalah orang-orang sukses dan hebat. Dengan taqwa, keikhlasan dan pandangan Allah menjadi satu-satunya standar kesuksesan, dan menyebarkan sebanyak mungkin kebermanfaatan untuk umat manusia sebagai wasilahnya.
Sebagai contoh, sahabat Rasulullah yang mulia tidak seluruhnya dikaderisasi untuk menjadi 'ulama'. Sebut saja Bilal bin Rabbah dan Abdurrahman bin Auf yang kita kenal kemuliaan dengan kiprahnya masing-masing, berbeda dengan Abdullah bin Abbas yang fokus berkiprah dalam dunia keulamaan.
Dari qudwah hasanah yang dicontohkan para sahabat, menunjukkan bahwa perubahan terbesar dimulai dari pribadi. Ketika pribadi telah baik adab dan taqwanya, maka peradaban akan memiliki komponen terbaik. Membangun peradaban tidak harus dimulai dengan politik, namun dari membangun kualitas individu yang beradab, beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
PERADABAN MADINAH SEBAGAI KOTA IDEAL
Islam sebagai peradaban telah memiliki bukti yang sangat konkret dalam pergulatan sejarah umat manusia. Peradaban Madinah menjadi model utama yang harus menjadi inspirasi setiap muslim dalam membangun peradaban manusia. Peradaban Madinah dibangun berasas ilmu, dengan kedahagaan setiap individu untuk mencapai kebenaran. Tidak pernah ada dalam catatan sejarah, warga negara yang mengaku berbuat salah dan meminta untuk dihukum, sebagaimana pengakuan seorang sahabat akan zina yang telah dilakukan. Tentu hanya keimanan dan ketaqwaan yang mampu menjadi spirit terbesar dalam menjalankan perintah Allah tersebut.
Di akhir, Ustadz Adian menegaskan bahwa manusia jaman Rasul dan jaman ini sama saja otak dan hatinya. Resep mencetak manusia yang maju dan berperadaban selalu sama, sebagaimana yang ditetapkan oleh pencipta-Nya. Sehingga tidak ada jalan mencari kemuliaan kecuali dengan meniti jalan para Rasul sebagai contoh manusia paling ideal. Bukan menuruti hawa nafsu, yang digadang-gadang oleh materialisme dan para dedengkotnya. Wallahu A'lam Bish Shawab.
*Mahasiswi Semester VII STIQ ZAD Cianjur
**Tulisan ini merupakan sepotong catatan dari Seminar Nasional dengan tema Mewujudkan Indonesia Emas 2045 Melalui Pendidikan Al-Qur'an: Strategi dan Inovasi pada 18 Juli 2024/ 13 Muharram 1446 di Auditorium Utama STIQ ZAD Cianjur
Dinarasumberi oleh Al-Ustadz Adian Husaini, M.Si., Ph.D (Ketua Umum Dewan Dakwah Islam Indonesia) dan Al-Ustadz Adha Saputra, Lc., M.E. (Ketua STIQ ZAD Cianjur) حفظهما الله
Leopold Weiss (w. 1992), seorang intelektual Yahudi yang masuk Islam dan memiliki nama hijrah Muhammad Asad dalam bukunya Islam at the crossroads menyebutkan, bahwa suatu peradaban tidak akan menang kecuali dengan pride/ 'izzah. Jika umat ingin mulia, maka harus membuang jauh-jauh inferioritas diri. Dengan 'izzah, lembaran sejarah telah membuktikan diseganinya Islam pada masa generasi terbaik. Jangankan dipecah belah dengan dunia, umat ini diadu domba pun tidak bisa.
Disebutkan bahwa suatu ketika, Amirul Mukminin mengirimkan delegasi kepada raja Farsi. Yang dikirim bukanlah sahabat yang tersohor namanya dalam lembaran sejarah, namun seorang bernama Rib'i bin Amir, dengan gaya khas Baduy-nya. Tanpa ragu, diinjak-injak karpet kebanggaan raja Farsi, dan dihentakkan kudanya di hadapan raja. Meski demikian, raja Farsi tidak melakukan balasan apapun karena segan terhadap umat Islam.
Kisah senada juga didapat ketika umat diadu domba oleh Romawi. Tatkala akan terjadi Perang Shifin, pihak Romawi melakukan korespondensi dengan menawarkan bantuan militer kepada Muawiyah bin Abu Sufyan. Dengan tegas, bantuan yang ditawarkan kembali dalam bentuk kecaman, hinaan, juga ancaman pengiriman bala tentara yang tidak terhitung dan tidak terbayangkan jumlahnya.
Dengan Al-Qur'an, umat tidak gentar terhadap ancaman luar maupun dalam. Nilai-nilai Al-Qur'an telah berhasil membentuk generasi tangguh yang disegani dunia. Dalam lintasan sejarah, nama Imam Al-Ghazali, Abdul Qadir Al-Jilani dan Shalahuddin Al-Ayyubi juga turut menjadi contoh akan kebangkitan generasi yang kembali kepada Al-Qur'an.
KURIKULUM TAQWA SEBAGAI GERBANG MENUJU KEMULIAAN UMAT
Dalam pendidikan Islam, adab menjadi prioritas utama. Oleh sebab itu, tujuan menuntut ilmu dalam Islam adalah membentuk anak didik yang beradab, dan bertaqwa kepada Allah. Berbekal adab dan taqwa inilah setiap pribadi menjadi orang bermanfaat dalam bidangnya masing-masing, sehingga produktivitas tidak disempitkan dengan harta namun dimaknai kebermanfaatan.
Jika demikian, maka standar kesuksesan bukan lagi hanya terkait harta. Marbot masjid yang ikhlas bekerja karena Allah, guru yang menghidupkan pendidikan di pedalaman hingga ibu rumah tangga yang fokus mendidik generasi sholih-sholihah adalah orang-orang sukses dan hebat. Dengan taqwa, keikhlasan dan pandangan Allah menjadi satu-satunya standar kesuksesan, dan menyebarkan sebanyak mungkin kebermanfaatan untuk umat manusia sebagai wasilahnya.
Sebagai contoh, sahabat Rasulullah yang mulia tidak seluruhnya dikaderisasi untuk menjadi 'ulama'. Sebut saja Bilal bin Rabbah dan Abdurrahman bin Auf yang kita kenal kemuliaan dengan kiprahnya masing-masing, berbeda dengan Abdullah bin Abbas yang fokus berkiprah dalam dunia keulamaan.
Dari qudwah hasanah yang dicontohkan para sahabat, menunjukkan bahwa perubahan terbesar dimulai dari pribadi. Ketika pribadi telah baik adab dan taqwanya, maka peradaban akan memiliki komponen terbaik. Membangun peradaban tidak harus dimulai dengan politik, namun dari membangun kualitas individu yang beradab, beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
PERADABAN MADINAH SEBAGAI KOTA IDEAL
Islam sebagai peradaban telah memiliki bukti yang sangat konkret dalam pergulatan sejarah umat manusia. Peradaban Madinah menjadi model utama yang harus menjadi inspirasi setiap muslim dalam membangun peradaban manusia. Peradaban Madinah dibangun berasas ilmu, dengan kedahagaan setiap individu untuk mencapai kebenaran. Tidak pernah ada dalam catatan sejarah, warga negara yang mengaku berbuat salah dan meminta untuk dihukum, sebagaimana pengakuan seorang sahabat akan zina yang telah dilakukan. Tentu hanya keimanan dan ketaqwaan yang mampu menjadi spirit terbesar dalam menjalankan perintah Allah tersebut.
Di akhir, Ustadz Adian menegaskan bahwa manusia jaman Rasul dan jaman ini sama saja otak dan hatinya. Resep mencetak manusia yang maju dan berperadaban selalu sama, sebagaimana yang ditetapkan oleh pencipta-Nya. Sehingga tidak ada jalan mencari kemuliaan kecuali dengan meniti jalan para Rasul sebagai contoh manusia paling ideal. Bukan menuruti hawa nafsu, yang digadang-gadang oleh materialisme dan para dedengkotnya. Wallahu A'lam Bish Shawab.
*Mahasiswi Semester VII STIQ ZAD Cianjur
**Tulisan ini merupakan sepotong catatan dari Seminar Nasional dengan tema Mewujudkan Indonesia Emas 2045 Melalui Pendidikan Al-Qur'an: Strategi dan Inovasi pada 18 Juli 2024/ 13 Muharram 1446 di Auditorium Utama STIQ ZAD Cianjur
Dinarasumberi oleh Al-Ustadz Adian Husaini, M.Si., Ph.D (Ketua Umum Dewan Dakwah Islam Indonesia) dan Al-Ustadz Adha Saputra, Lc., M.E. (Ketua STIQ ZAD Cianjur) حفظهما الله
Editor : Alfrisa Ica
0 comments: