Sumber: Tribunnews.com |
Oleh: Arif Wibowo, M.PI*
Siapakah yang menumbuhkan jiwa Indonesia pada masyarakat dengan ribuan pulau yang terpisah-pisah itu? Tanya Buya Hamka dalam Kenang-Kenangan Hidup.
Di Sumatera, tulis Buya Hamka, Bung Karno hanya pidato di kota-kota besar, di Medan, Padang, Pekanbaru. Itupun hanya ribuan orang yang hadir.
Lalu bagaimana Indonesia merdeka bisa masuk menjadi cita-cita mereka yang hidup di pedesaan, pedalaman bahkan pulau-pulau kecil, yang susah terjangkau?
Supratman yang melakukannya, lanjut Buya Hamka. W. R. Supratman hanya sekali menggubah Indonesia Raya. Tapi lagu itu dinyanyikan oleh semua orang, didendangkan saat hendak melakukan pertemuan. Sehingga tumbuhlah jiwa Indonesia itu.
Kutipan bebas dari Buya Hamka di buku Kenang-Kenangan Hidup itu memang menarik. Buya Hamka menjelaskan bagaimana seni bekerja membentuk kesadaran.
Hal yang sama berlaku pada dakwah Islam di negeri ini. Apa itu Islam, siapa itu Muhammad, nama dan sosok yang tentu sangat asing, bahkan tidak dikenal oleh penduduk kepulauan ini pada awal kedatangannya.
Oleh karena itu, kata Abdul Hadi WM, di sinilah peran penting para ulama sufi yang menjelmakan konsep-konsep Islam, ajaran dan kisah-kisahnya melalui berbagai cerita rakyat, syair, pantun, lagu bahkan tari yang dirayakan rakyat kebanyakan pada hajatan pernikahan, selametan dan aneka panggung kultural masyarakat. Orang Jawa bahkan mematrikan nama Muhammad sebagai pola tatah sungging pada tiang penyangga rumah joglo mereka.
Tanpa kreasi-kreasi kultural tersebut, mungkin Islam dan Nabi masih asing di negeri ini. Sebagaimana kini, ketika kegembiraan kultural itu disesatkan, maka ruang kegembiraan masyarakat, diisi oleh kisah-kisah selebritis produk khas masyarakat industri.**
Editor: Ferdi
0 comments: