Sumber: unsplash |
Oleh: Muhammad Ibnu Masngud*
Masuk surga harus Muslim dulu
Tulisan ini adalah tanggapan untuk sebuah artikel dengan judul Non-Muslim Juga Bisa Masuk Surga! yang ditulis oleh Muhamad Bukhari Muslim dan diterbitkan di website IBtimes pada tanggal 29 Maret 2021. Artikel tersebut kembali diangkat oleh akun instagram IBtimes pada tanggal 20 Oktober 2022 sehingga memancing kegaduhan netizen di kolom komentar, dari situlah saya mencoba untuk memberikan tanggapan yang sepadan dengan menulis artikel ini.
Artikel tersebut dibuka dengan menjelaskan pandangan umum ulama maupun orang awam yang menganggap bahwa Islam adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan di akhirat. Penulis menyatakan "Tentu berpandangan seperti itu adalah hal yang sah-sah saja. Sebagaimana halnya juga akan sah jika ada yang memiliki pandangan yang berbeda dengan pendapat tersebut." Penulis mencoba memperkuat argumentasi dengan mengatakan bahwa "Pandangan dalam Islam tidaklah seragam. Pandangan dan pemikiran dalam Islam sifatnya warna-warni. Dan kesemua itu diridai dan direstui oleh Tuhan." Seolah dia telah mendapat 'verifikasi' dari Tuhan.
Dari bagian awal tulisan tersebut nampak sangat jelas hegemoni worldview dan konsep-konsep Barat dalam kepala penulis, khususnya paham Relativisme yang menihilkan kebenaran mutlak dan Pluralisme Agama yang targetnya adalah memperkenalkan ide kesamaan semua agama. Salah satu upayanya dengan menjelaskan keselamatan Ahlul Kitab. Penulis lupa bahwa dalam Islam ada persoalan-persoalan yang masuk ranah ushuliyyah sehingga tidak memungkinkan adanya pertentangan pendapat. Berbeda dengan masalah furu’iyyah yang membuka pintu ijtihad sehingga memungkinkan terjadinya ikhtilaf.
Masalah keselamatan ahlul kitab dan penganut agama lain adalah masalah ushuliyyah yang sifatnya tsawabit atau permanen dengan landasan yang qath’i atau mutlak. Untuk membenarkan judul tulisannya dikutiplah surat Al-Baqarah ayat 62 yang kemudian ditafsirkan dengan sangat tekstualis. Satu terma yang biasa digunakan untuk melabeli kelompok yang berbeda pandangan dengan kaum pluralis. Surat Al-Baqarah ayat 62 itu tidak ditafsirkan dengan melihat asbabun nuzulnya maupun dengan pendekatan historis. Inkonsisten!
Dari ayat tersebut penulis menyimpulkan bahwa orang Yahudi, Nasrani, dan Shabi'un akan diganjar surga oleh Allah dengan tiga syarat: beriman kepada Allah, hari akhir dan berbuat baik. Padahal ayat itu berkaitan dengan pertanyaan Salman Al-Farisi kepada Rasulullah Saw. Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan, dari Mujahid, Ibnu Abi Hatim mengatakan, Salman bercerita, "Aku pernah bertanya kepada Nabi Saw, mengenai pemeluk suatu agama, yang aku pernah bersama mereka. Lalu aku kabarkan mengenai shalat dan ibadah mereka. Maka berkenaan dengan itu, turunlah firman Allah Swt", yakni Al-Baqarah ayat 62. Jadi ayat tersebut adalah jawaban untuk pertanyaan Salman tentang penganut agama yang hidup sebelum diutusnya Rasulullah Saw.
Ibnu Abbas menjelaskan bahwa Allah tidak akan menerima suatu jalan atau amalan dari seseorang kecuali yang sesuai dengan syariat Muhammad Saw. setelah beliau diutus sebagai pembawa risalah. Sedangkan sebelum itu, maka semua orang yang mengikuti Rasul pada zamannya, mereka berada di atas petunjuk dan jalan keselamatan. Jikapun para pengikut nabi-nabi terdahulu masih hidup mereka akan mengikuti risalah Muhammad Saw., karena kitab-kitab terdahulu telah mengisyaratkan akan kedatangannya.
Buya Hamka dan Quraish Shihab
Di bagian selanjutnya Mas Bukhari yang "bukan perawi hadis" itu, mengutip pendapat beberapa tokoh untuk mencoba melegitimasi judul artikelnya. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya adalah Abdul Muqsith Ghazali, Muhammad Ali, Mun’im Sirry, Abdul Aziz Sachedina, Fazlur Rahman, Buya Hamka, dan M. Quraish Shihab.
Untuk dua nama terakhir tentu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi otoritasnya sebagai mufassir. Namun nama-nama lainnya bagi saya keotoritasannya masih perlu dipertanyakan. Jika pembaca bisa memberikan keterangan tentang otoritas mereka dalam bidang tafsir silakan berkomentar.
Dalam tulisan itu dicantumkan sitiran dari Buya Hamka yang menyatakan bahwa surat Al-Baqarah ayat 62 itu tidak ter-mansukh-kan oleh ayat mana pun dan Quraish Shihab yang menyatakan, "Kita bersaudara, tidak perlu saling tegang. Surga itu luas, sehingga tidak perlu memonopoli surga hanya untuk diri sendiri." Seolah kedua tokoh tersebut mendukung ide Pluralisme Agama dan berpendapat bahwa non-Muslim juga bisa masuk surga. Penulis tidak menjelaskan pendapat mereka secara utuh tentang hal ini. Jika karena kesengajaan maka ini adalah ketidakamanahan ilmiah.
Buya Hamka sama sekali tidak pernah membenarkan paham Pluralisme Agama ataupun mengatakan bahwa non-Muslim juga bisa masuk surga. Bahkan secara gamblang beliau menyatakan, "Orang yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama, sebenarnya dia sendiri tidak beragama." Quraish Shihab menyatakan, "Bahwa surga dan neraka adalah hak prerogratif Allah memang harus diakui. Tetapi hak tersebut tidak menjadikan semua penganut agama sama di hadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan damai antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mudah dan merupakan tuntunan agama, tetapi cara untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama."
Abdul Muqsith Ghazali
Dalam pernyataan tokoh-tokoh yang dikutip dalam tulisan tersebut juga terdapat beberapa kerancuan yang membingungkan. Penulis mengatakan, "Perkataan bahwa golongan-golongan dari Yahudi, dan Nasrani wajib mengimani Nabi Muhammad, menurut Muqsith, bukanlah perkataan Al-Qur’an. Melainkan perkataan para mufasir."
Pertanyaannya bagaimana kita menempatkan sabda Nabi Saw, "Demi (Allah) yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah ada seorang-pun dari umat ini yang pernah mendengarkan tentang aku, apakah ia seorang Yahudi atau Nasrani, kemudian ia mati sebelum beriman dengan ajaran yang aku bawa, kecuali ia termasuk penghuni neraka" (Hadits Muslim no. 153). Lantas apakah perkataan para mufasir yang menolak surat Al-Baqarah ayat 62 sebagai dalil keselamatan bagi non-muslim semuanya salah, sedangkan Muqsith sendiri yang benar? Atau jangan-jangan perkataan Nabi yang sangat gamblang itu juga direlatifkan kebenarannya?
Muhammad Ali
"Jika iya orang-orang Yahudi, Nasrani, Shabi'un yang dimaksud pada ayat itu adalah orang-orang yang hidup sebelum datangnya nabi Muhammad, apakah itu berarti bahwa orang Islam yang juga dimaksud oleh Al-Quran hanyalah orang Islam yang hidup di zaman Nabi?. Jawabannya tentu tidak."
Dalam statement ini, ada kekacauan antara premis dan kesimpulannya. Karena dengan memahami bahwa orang-orang Yahudi, Nasrani, Shabi'un yang dimaksud dalam ayat itu adalah mereka yang hidup sebelum Nabi diutus, sama sekali tidak membawa implikasi pemahaman bahwa orang Islam yang dimaksud dalam Al-Quran hanya mereka yang hidup di zaman Nabi. Keterputusan antara premis dan kesimpulan yang dibangun boleh jadi karena Muhammad Ali hanya menafsirkan ayat ini secara literal dan tidak melihat sisi historis ayat ini. Pertanyaan yang sangat tidak menohok.
Fazlur Rahman
"Yang membedakan manusia di hadapan Allah adalah ketakwaannya. Takwa tidak identik dan terikat pada satu agama tertentu. Takwa bersifat universal. Sehingga ia dapat saja bertempat pada diri orang Islam, Kristen, Yahudi, ataupun Shabiun." Memisahkan takwa dengan agama berarti memisahkan takwa dengan keimanan. Padahal takwa adalah wujud atau manifestasi dari keimanan, dan keimanan adalah hasil dari ajaran agama. Yang pasti ajaran dan doktrin masing-masing agama berbeda secara fundamental.
Menurut Ibnu Qayyim, takwa adalah amal ketaatan kepada Allah karena iman. Menurut Abdullah Nasih Ulwan, takwa adalah konsekunsi logis dari keimanan yang kokoh. Bahkan Fakhruddin ar-Razi malah mengartikan takwa itu sama dengan iman. Jadi takwa itu didahului iman dan iman bersumber dari ajaran agama. Memisahkan salah satu dari ketiganya adalah dikotomis dan sangat tidak logis.
Semua Agama adalah beda
Pada hakikatnya kaum pluralis tidak memiliki tolok ukur yang jelas untuk ide penyamaan agama-agama. Ujung-ujungnya mereka hanya akan mengatakan bahwa setiap agama sama-sama mengajarkan kebaikan, menuju Tuhan yang sama, atau dengan narasi-narasi semisal. Bahkan mereka sering kali mendekontruksi makna-makna yang permanen dari terma-terma dalam Al-Quran.
Seperti kata Allah yang mereka anggap bukan nama Tuhan, tetapi berasal dari kata Ilaha yang berarti Tuhan dan ditambahi huruf Alif dan Lam sehingga artinya menjadi Tuhan itu. Makna Islam juga direduksi menjadi sekedar berserah diri, sehingga sampai pada kesimpulan agama lain juga diterima Tuhan asalkan menyerahkan diri pada-Nya. Padahal Islam jelas sangat berbeda dengan agama-agama lain secara fundamental dari berbagai aspeknya.
Prof. Rasjidi memberikan contoh yang tegas mengenai perbedaan fundamental islam dengan yang lainnya dalam aspek sosiologis dan teologis. Dari aspek sosiologis misalnya dalam agama Hindu, pembagian derajat manusia dari yang tertinggi (Kasta Brahmana, meliputi kalangan ahli agama) sampai yang terendah (Kasta Sudra, meliputi rakyat jelata dan hamba sahaya). Tentu saja kasta Sudra dipandang sangat redah dan mereka tidak boleh bergaul selain kalangan mereka sendiri. Hal ini tentu berseberangan dengan konsep kesetaraan manusia dalam Islam dimana yang membedakan mereka di hadapan Allah hanyalah ketakwaannya.
Dari aspek teologis yang paling jelas dan tidak pernah berubah mengenai doktrin keesaan Tuhan ini adalah agama Islam, sebagai termaktub dalam surat Al-Ikhlas ayat 1-3. Tauhid mendapat penegasan yang terang dalam Islam. Ini sangat bertentangan dengan agama Kristen yang melalui jalan cukup panjang untuk sampai kepada keyakinan mengenai Trinitas.
Surga bukan hanya luas, tapi sangat luas
Saya ingin mengatakan kepada para pembaca bahwa berbicara tentang surga dan neraka adalah tugas dan kewajiban kita. Dalam arti membahas bagaimana surga itu dapat diraih agar kita bisa sama-sama bergandengan tangan masuk ke dalamnya karena surga terlalu luas untuk dihuni sendiri. Yang salah adalah ketika kita menjustifikasi seseorang secara personal akan masuk ke dalam neraka dan menganggap diri pribadi adalah ahli surga yang tanpa dosa.
Saya sepakat dengan Mas Bukhari bahwa non-Muslim juga bisa masuk surga, namun dengan melewati jalan Islam. Tugas kita adalah menjadi muslim yang baik, karena non-muslim tidak membaca Al-Quran, namun mereka membaca kita sebagai cerminan Islam. Semoga saya, Muhammad Ibnu Masngud, dan saudara saya Muhamad Bukhari Muslim ditunjukan Allah pada jalan yang benar yang dimasukkan ke dalam surga-Nya.
La haula wala quwwata illa billah. Wallahu a’lam bishshawab.
Referensi
Al-Qur’an dan Hadits
Tafsir Ibnu Katsir/Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Alu Syaikh; penerjemah, M.
Abdul Ghoffar; pengedit isi, M. Yusuf Harun [et al.]; muraja’ah, tim Pustaka Imam Asy-Syafi’i. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008.
Hamid Fahmy Zarkasyi. 2021. Minhaj: berislam dari Ritual hingga Intelektual. Jakarta: INSISTS
Hamid Fahmy Zarkasyi. 2021. Misykat: refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Jakarta: INSISTS-MIUMI.
H.M. Rasjidi. 1983. Empat Kuliyah Agama Islam Pada Pada Perguruan Tinggi. Jakarta: Bulan Bintang.
https://www.kuliahalislam.com/2022/04/non-muslim-juga-bisa-masuk-surga.html?m=1
https://ibtimes.id/non-muslim/
_____
*Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UMS, Kader PK IMM Shabran 2021
Penyunting: Ferdi
0 comments: