Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*
Salah satu tradisi yang rutin berlangsung menjelang hingga datangnya hari Maulid, selain pembacaan Barzanji hingga sekedar pengajian mengambil hikmah dari perjalanan perjuangan Rasul Muhammad, ialah debat mengenai status merayakannya. Dari saya lahir hingga tahun ini tidak pernah sekali pun terlewati Maulid tanpa perdebatan yang terus berulang dengan argumentasi daur ulang, dan bisa dikatakan tanpa sudut pandang baru.
Penolakan terhadap Maulid berasal dari keyakinan akan kesempurnaan Islam, maka segala sesuatu yang tidak dicontohkan dan diperintahkan Rasul Muhammad, dinilai tidak pantas dilekatkan pada Islam. Maulid menjadi salah satunya, karena tidak ada perkataan Rasul Muhammad untuk merayakan hari kelahiran beliau oleh umatnya.
Sementara itu pihak yang merayakan Maulid berangkat dari rasa cinta dan rindu kepada sosok manusia paling mulia yang pernah diciptakan Tuhan. Selain itu ungkapan kecintaan kepada Rasul melalui perayaan Maulid telah dilakukan para ulama terdahulu dengan berbagai rangkaian tradisi yang mewarnai Dunia Islam. Ini sudah cukup untuk menjaga keberlangsungan Maulid menjadi salah satu hari besar umat Islam.
Sekalangan umat Islam yang berupaya menengahi perdebatan, berpandangan perayaan Maulid boleh dilakukan dengan tidak melanggar batas syariat. Jika sesuai koridor syariat, Maulid dapat memupuk kecintaaan dan iman kepada Rasul Muhammad, seperti dengan menggelar acara mempelajari sejarah hidup beliau Shallallahu Alaihi Wasallam. Tetapi jika melanggar batas syariat, maka perayaan Maulid justru menyebabkan kerusakan, terutama pada kerusakan agama dan iman, seperti konser dengan menampilkan goyang erotis dalam rangka memeriahkan Maulid. Dengan demikian perbuatan tersebut adalah terlarang.
Walaupun secara pribadi saya memiliki kedekatan posisi dengan pendapat terakhir di atas yang merebak di kalangan modernis Muslim di tanah air, saya selalu menyampaikan kritik mengenai posisi Maulid dalam struktur kebangunan Islam. Apakah Maulid merupakan bagian dari struktur Islam ataukah berada di luarnya?!
Saya berangkat dari pemikiran Sidi Gazalba mengenai makna Dienul Islam yang tidak hanya terdiri dari aqidah, ibadah ritual, dan nilai, tetapi juga ibadah secara luas yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Berangkat dari tujuan penciptaan manusia oleh Tuhan, sebagaimana difirmankan oleh-Nya di dalam Al-Quran, tidaklah Tuhan menciptakan jin dan manusia selain untuk beribadah kepada pencipta. Dari firman tersebut kita memahami seharusnya dan memang semestinya, seluruh hidup manusia ialah wujud peribadatan kepada Tuhan, 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu.
Karena itulah Gazalba menempatkan ibadah ritual atau ibadah mahdhah dan ibadah dalam arti luas atau ibadah ghairu mahdhah sebagai realisasi aqidah seorang Muslim dalam kerangkan Dienul Islam. Gazalba menyoroti ibadah yang disebutkan terakhir ini karena dimensinya yang luas meliputi seluruh aspek kehidupan umat Islam selain ibadah mahdhah, yang menunjukkan Dienul Islam memang menjadi jalan bagi manusia untuk dapat beribadah sepenuhnya kepada Tuhan sepanjang waktu hidupnya.
Dari pelaksanaan ibadah ghairu mahdhah inilah, menurut Gazalba lahir kebudayaan Islam, yakni cara hidup yang berangkat dari pikiran dan perasaan yang dibentuk oleh Islam. Kita dapat menggunakan kerangka ini untuk memahami Maulid yang merupakan ekspresi dari cara berpikir dan cara merasa umat Islam terhadap kelahiran Nabi terakhir yang diutus Tuhan, sehingga menjadikannya sebagai bagian dari kebudayaan Islam yang tidak dimiliki kebudayaan-kebudayaan lainnya karena secara aqidah mensyaratkan penerimaan Muhammad sebagai utusan Tuhan.
Konsekuensi selanjutnya, perayaan Maulid yang merupakan bagian dari kebudayaan Islam sebagai realisasi dari pelaksanaan ibadah ghairu mahdhah, menempatkannya secara struktural sebagai bagian dari Dienul Islam. Bagi seorang Muslim, merayakan Maulid memang bukan ibadah mahdhah yang sudah ditentukan secara ketat dan spesifik oleh Tuhan dan dicontohkan oleh Rasulullah. Tetapi sebagai realisasi dari iman yang dipraktikkan dengan cara berpikir dan cara merasa sesuai dengan Islam. Dengan kata lain bagi seorang Muslim terlibat dalam Maulid adalah bentuk laku mengamalkan Dienul Islam dalam kehidupan.
Dengan perspektif ini, persoalannya bukan lagi boleh atau tidak boleh melaksanakan Maulid di bulan Rabiul Awal, karena telah jelas posisinya sebagai kebudayaan Islam. Menolak satu budaya harus dengan menyertakan budaya penggantinya agar umat Islam dapat hidup sepanjang waktu di dalam alam Islam yang diyakininya benar. Persoalan yang patut diulas sepanjang guliran zaman ialah dengan cara apa Maulid harus dirayakan agar relevan dengan kondisi kehidupan umat Islam yang beragam dan terus mengalami perubahan?**
Editor: Ferdi
0 comments: