Senin, 24 Oktober 2022

BELAJAR ILMU SEJARAH DARI KUNTOWIJOYO

Sumber: koleksi penulis

Oleh:  dr. Iwan Mariono*

Saya harus selalu menyediakan bolpoin, penggaris, dan stabilo, setiap kali membaca buku pak Kunto. Itu artinya saya harus baca buku fisik (bukan buku digital), dan tentu saja buku saya sendiri, bukan buku pinjaman. Ada kepuasan yang tidak bisa dijelaskan. Selain itu, juga ini untuk arsip pribadi jika suatu saat nanti saya mau buka-buka lagi bukunya. 

Sampai sekarang saya baru bisa mengumpulkan 23 buku karangan Kuntowijoyo (masih ada beberapa judul yang belum saya dapatkan). Dan buku Pengantar Ilmu Sejarah ini adalah salah satunya yang baru saja saya khatamkan.

Dalam buku ini pak Kunto benar-benar seperti seorang filsuf sejarah yang memaparkan ilmu sejarah dari hal yang paling mendasar: apakah sejarah itu, gunanya, sejarah penulisan, sejarah sebagai ilmu dan seni, pendidikan sejarawan, penelitian sejarah, sejarah dan ilmu-ilmu sosial, kekuatan sejarah, generalisasi sejarah, kesalahan-kesalahan sejarawan, sejarah dan pembangunan, sampai dengan ramalan sejarah. 

Sekalipun tidak mengenyam pendidikan akademik formal sebagai sejarawan, orang yang membaca buku ini akan dibuat terpesona oleh profesi tersebut. Setidaknya, itulah yang saya rasakan setelah membacanya. Apalagi penulisan sejarah itu memang tidak mesti hanya dilakukan oleh sejarawan profesional, melainkan siapa pun boleh, sebagaimana dalam buku ini pak Kunto membagi sejarawan menjadi tiga kelompok: (1) sejarawan profesional, (2) sejarawan dari disiplin lain, dan (3) sejarawan dari masyarakat. Contoh sejarawan dari disiplin lain adalah seorang dokter yang menulis sejarah epidemi di tempatnya, sedangkan sejarawan dari masyarakat adalah para kiai, lurah, atau santri yang menulis sejarah pondoknya sendiri (h. 66).

Pak Kunto memulai buku ini dari bab 1 dengan memantik pertanyaan apakah sejarah itu serta istilah yang memakai kata sejarah. Beliau menulis, "Apa yang sudah terjadi atau sejarah itu dua macam, yaitu yang terjadi di luar pengetahuan manusia (disebut juga sejarah objektif) dan yang terjadi sepengetahuan manusia (disebut juga sejarah subjektif)" (h. 2).

Pernyataan itu membuat saya teringat nasihat sejarawan Prof. Taufik Abdullah dalam salah satu acara seminar yang saya tonton di YouTube, beliau mengatakan tidak setuju dengan penggunaan istilah "meluruskan sejarah", silakan membuat tulisan sendiri kalau punya versi yang berbeda. 

Prinsipnya ada di metodologi, pekerjaan sejarawan adalah pekerjaan merekonstruksi. Mengenai metodologi, pak Kunto juga sudah membahasnya lebih detail dalam buku tersendiri berjudul Metodologi Sejarah. Jadi buku ini sebenarnya merupakan trilogi dari buku Pengantar Ilmu Sejarah yang beliau tulis. Satu buku lagi berjudul Penjelasan Sejarah, semuanya diterbitkan oleh penerbit Tiara Wacana. Kedua buku tersebut sedang proses saya khatamkan secara paralel. 

Jadi, sejarah memang punya sisi subjektif dalam penulisan, apa yang dianggap pemerintah Belanda sebagai pendudukan sebaliknya dianggap sebagai agresi bagi pemerintah Indonesia. Perang Jawa 1925-1930 akan dicatat sebagai pemberontakan oleh pemerintah Hindia Belanda, sebaliknya pengikut Pangeran Diponegoro akan mencatat hal tersebut sebagai perlawanan terhadap penjajahan Belanda. 

Historiografi Indonesia modern baru dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta. Sejak saat itu, penulisan sejarah lebih menekankan Indonesia-sentris dari yang sebelumnya Belanda-sentris. 

Masih di bab yang sama. Mungkin banyak di antara kita menganggap ilmu sejarah itu sama seperti ilmu sosial lainnya. Sekurang-kurangnya, kita tidak bisa membedakan apa batasan (epistemologi) antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya. 

Dalam buku ini pak Kunto menjelaskan definisi itu secara gamblang bahwa sejarah ialah ilmu tentang manusia. Hal itu ditegaskannya saat menulis, "Peristiwa masa lalu itu sangat luas. Terjadinya alam semesta memang sudah berlalu, tetapi itu menjadi objek penelitian astronomi, bukan sejarah. Demikian pula pergeseran-pergeseran bumi di masa lalu merupakan pekerjaan geologi dan bukan sejarah. Jadi sejarah hanya bercerita tentang manusia. Akan tetapi juga bukan cerita tentang masa lalu manusia secara keseluruhan. Manusia yang berupa fosil menjadi objek penelitian antropologi ragawi dan bukan sejarah. Demikian juga benda-benda, yang meskipun itu perbuatan manusia juga, tetapi lebih menjadi pekerjaan arkeologi. Sejarah hanya mengurusi manusia masa kini. Ada persetujuan tidak tertulis antara arkeologi dan sejarah di Indonesia yang sampai sekarang pada umumnya masih berlaku. Sejarah akan meneliti peristiwa-peristiwa sesudah 1500" (h. 10).

Namun demikian dalam prosesnya, objek manusia itu juga menjadi kajian beberapa ilmu sosial lain seperti sosiologi, politik dan antropologi. Tentu latar belakang tulisan bisa menelisik waktu yang lebih jauh ke belakang. Sehingga seorang sejarawan yang baik dituntut untuk menguasai cabang ilmu-ilmu sosial lain. Mungkin itu pula sebabnya di awal Prakata buku ini pak Kunto menulis, "Bela diri tangan kosong itu boleh. Tapi menulis sejarah dengan otak kosong tidak demikian."

Selain itu, perbedaan lainnya adalah sejarah merupakan ilmu tentang waktu (diakronis) sementara ilmu-ilmu sosial lain melebar dalam ruang (sinkronis). Makanya dalam penulisan sejarah terdapat batasan waktu kronologis yang jelas, misal ketika bercerita tentang sejarah Pemberontakan Petani Banten 1888, atau Revolusi Indonesia (1945-1949). Batasan waktu inilah yang membedakannya dengan cabang ilmu lain. 

Demikianlah secuil ringkasan buku ini. Sebenarnyalah kalau kita baca sendiri, semua isinya terasa seperti ringkasan. Bab 11 mengenai Sejarah dan Pembangunan adalah bab yang paling saya sukai, dari pemaparan itu terasa sekali relevansi ilmu sejarah dalam kehidupan sehari-hari. Membaca buku ini membuat kita tidak hanya melek sejarah, tapi juga melek ilmu sejarah. "Bangsa yang belum mengenal tulisan mengandalkan mitos, dan yang sudah mengenal tulisan umumnya mengandalkan sejarah" (h. 17).**


_____
*Dokter Umum di RSUD Sukoharjo, Pengagum pemikiran Kuntowijoyo.
**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis pada hari Sabtu, 21 Oktober 2022. Untuk membacanya klik di sini.

Penyunting: Ferdi

Sebelumnya
Next Post

0 comments: