Sumber: unsplash.com |
Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*
Ahad pagi ini (30/10) ketika saya memberi makan ikan-ikan di kolam Madjid Baitul Atiiq, Kartasura saya melihat Bunda Nurul Ummatun Kamal dan kedua anaknya (Dek Esa dan Dek Nalar) di halaman masjid. Saya lalu menghampiri beliau yang kelihatannya sedang istirahat setelah berolah raga pagi. Pak Andika masih jalan, kata Bunda.
Kami membicarakan banyak hal, mulai dari percakapan ringan tentang kehidupan sehari-hari sampai isu-isu kekinian. Kita masih kekurangan ilmu tentang gaya hidup sehat berdasarkan pandangan alam Islam (Islamic worldview), begitu kurang lebih kata Bunda. Saya lalu mengatakan kalau dua hari yang lalu saya dan Pak Andika juga membicarakan hal serupa. Saat itu beliau juga sedang rehat setelah jalan pagi di depan masjid.
Pembicaraan mengenai perlunya ilmu (dan teks) tentang gaya hidup sehat yang berlandaskan pada pandangan alam Islam meliputi pola makan dan minum, olah raga, istirahat, dan yang serupa itu. Tentu saja kesemuanya tidak hanya harus sesuai dengan turots ulama klasik, tetapi juga harus memperhatikan kondisi masyarakat manusia hari ini: alam dan masyarakat yang melingkupinya. Pertimbangan ini diperlukan karena pengkajian terhadap teks-teks klasik yang ditulis oleh para ulama terdahulu dengan segala kebesarannya, tetap saja terbatas konteks yang jauh berbeda dengan hari ini.
Apa yang dikatakan oleh Pak Andika dan Bunda Uum menurut saya sangat penting dan mendesak jika melihat gaya hidup masyarakat Indonesia (paling tidak masyarakat di sekitar Kartasura dan kampus saya) hari ini. Mulai saya masuk pada tahun 2017 hingga hari ini, terjadi perubahan besar dalam lingkungan alami dan buatan di Kartasura: sawah-sawah tergantikan dengan kafe-kafe, volume kendaraan meningkat, dan jumlah pedagang jajanan semakin banyak. Ketiga perubahan ini bisa kita generalisasikan menjadi dua masalah umum, yakni 1) meningkatnya daya konsumsi yang berdampak pada 2) meningkatnya potensi gangguan kesehatan.
Konsumerisme di kalangan manusia merupakan fenomena yang kompleks. Tapi karena keterbatasan ruang cukuplah saya sederhanakan persoalannya sebagai tingginya daya konsumsi mahasiswa yang tidak lagi berdasarkan pemenuhan kebutuhan, melainkan pemuasan keinginan. Fenomena mahasiswa yang mengerjakan tugas atau cuma nongkrong di kafe selain karena nyaman dan menyediakan makanan dan minuman yang enak, juga dapat meningkatkan status (citra?) sosial.
Kalau kita menanyakan fenomena menjamurnya kafe yang menggantikan sawah pada skala kebutuhan manusia, lebih butuh mana antara kopi atau beras? Tentu saja kebutuhan terhadap beras sebagai salah satu bahan pokok pangan lebih utama daripada kopi (dengan segala jenis minumannya) yang disediakan di kafe-kafe. Hal ini bukan berarti mahasiswa yang rajin ke kafe tidak lagi menjadikan nasi sebagai makanan pokok. Mereka tetap makan nasi kok. Hanya saja kopi yang seharusnya menjadi kebutuhan lapis ketiga (tersier), dibuat seakan-akan menjadi kebutuhan lapis kedua (sekunder) bahkan lapis pertama (primer), kalau mau nongkrong ya di kafe, minum kopi, sambil menatap matahari terbenam di sore hari. Minum kopi lalu menjadi kebiasaan yang harus dipenuhi secara berkala
Di sisi yang lain persoalan pengurangan lahan produksi pertanian jika dibawa ke lingkaran yang lebih besar maka bisa juga kita kaitkan dengan import beras yang terus dilakukan oleh pemerintah. Tapi bukan di sini tempatnya untuk membicarakan hal tersebut.
Selanjutnya dengan berkurangnya lahan hijau di dalam ruang kehidupan manusia. Belum lagi ditambah dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor, menyebabkan kondisi udara semakin hari semakin tidak sehat. Dalam kondisi ini, manusia di luar tempat tinggalnya selalu menghirup udara kotor yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor. Selain tentang kualitas udara yang berkurang, manusia sebagai pengendara pengendara melakukan mobilisasi ruang kehidupan setiap hari tidak lagi melibatkan badan secara aktif.
Di satu sisi kendaraan bermotor berhasil mengurangi waktu dan jarak dalam berpindah tempat, juga meminimalisir jumlah tenaga yang dikeluarkan. Namun di sisi yang lain badan semakin lama semakin sedikit geraknya, misalnya dengan kebiasaan berjalan kaki tidak lagi menjadi pilihan.
Problem terakhir ialah jumlah pedagang jajanan semakin banyak. Jajanan yang dijual di pinggir jalan itu praktis, murah dan enak, tapi seringkali tidak memenuhi standar kesehatan: gizinya tidak seimbang, minyaknya digunakan berkali-kali, serta banyaknya terpapar debu dan asap kendaraan. Apakah kekurangan-kekurangan ini menjadi perhatian dan bahan pertimbangan para pembeli dan penjual? Tentu saja tidak.
Konsumsi jajanan secara rutin tentu saja tidak baik untuk kesehatan, terutama anak-anak. Dilansir oleh situs halodoc.com, beberapa dampak konsumsi jajanan bagi anak-anak seperti keracunan makanan, diare, tipes, kerusakan hati, hingga dapat memicu kanker karena pewarna, pemanis, dan pengawet buatan yang dikonsumsi terus menerus. Selain itu kekurangan gizi juga bisa terjadi karena bahan baku yang digunakan tidak segar dan pengolaannya tidak memperhatikan kualitas gizinya. Bahaya ini belum termasuk bahaya mengkonsumsi makanan cepat saji (junk food) yang sangat mudah diperoleh di lingkungan perkotaan.
Dalam kondisi inilah manusia hidup. Di satu waktu masalah Konsumerisme semakin hari semakin luas (terutama mahasiswa sebagai objek potensial untuk perluasan pasar) dan masalah kesehatan yang senantiasa mengintai kehidupan modern. Meskipun dikatakan kalau ilmu kedokteran yang semakin canggih turut meningkatkan angka harapan hidup manusia, akan tetapi ancaman akan kesehatan hidupnya juga semakin kompleks. Berbagai gangguan kesehatan semakin dekat dengan kita semua. Maka untuk menanggulangi hal tersebut, perhatian terhadap gaya hidup sehat dan wajar menjadi penting. Mengatur pola makan dengan gizi seimbang, memenuhi kebutuhan air putih, serta berolah raga secara rutin adalah upaya yang harus dilakukan secara rutin.
Beberapa upaya di atas dapat kita lakukan secara mandiri untuk menjaga pola hidup sehat. Pemahaman yang baik tentang hirarki prioritas kebutuhan hidup juga sangat penting, agar kita tidak terjebak pada tren populer saja. Untuk itu upaya yang lebih serius, terstruktur dan berkesinambungan perlu dilakukan, salah satunya adalah dengan merumuskan ilmu kesehatan yang bernafaskan Islam tadi: bagaimana pola olah raga, pola makan dan minum, pola istirahat dan sebagainya sesuai dengan ajaran Islam (bersifat universal dan melampaui zaman) dan ibrah dari kehidupan Rasulullah saw. (memiliki keterbatasan konteks masyarakat Arab 14 abad lalu tapi dapat menjadi inspirasi kehidupan hari ini). Wallahu a'lam.**
Penyunting: Ferdi