Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*
Bisa dibilang tulisan sederhana ini adalah usaha semampunya untuk
menjelaskan kembali apa saja yang saya dapatkan setelah membaca buku Kemelut
Pandemi: Narasi Sains Islam, Dakwah, dan Masjid karya Pak Andika Saputra, guru
kami di komunitas SEED Institute. Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Bentala
Tamaddun Nusantara dengan jumlah 195 (xxxvi + 159) halaman.
Buku ini terdiri dari tiga narasi, yaitu narasi sains Islam (sub-bagian
1-4), dakwah (sub-bagian 5), dan masjid (sub-bagian 6-10). Buku ini disusun
dari 10 tulisan yang telah terbit di berbagai media cetak dan elektronik, serta beberapa tulisan yang hanya dimuat dalam buku ini.
Pada bagian awal buku ini, penulis mencoba untuk meluruskan berbagai
kesalahpahaman umat Islam mengenai persepsinya terhadap Sains. Penulis menegaskan bahwa untuk menjalankan tugas penciptaannya di muka bumi ini, baik
sebagai hamba maupun khalifah, umat Islam mutlak membutuhkan Sains Islam yang
berasaskan Tauhid (h. 22-30). Adanya berbagai sikap umat Islam yang memisahkan
keduanya (Sains dan Islam), atau bahkan meniadakan salah satunya (Sains atau
Islam) (h. 1-7), merupakan sikap yang bertentangan dengan ajaran Islam itu
sendiri. Karena Tuhan telah memberikan amanah kepada manusia untuk mengurus
keberlangsungan hidupnya di bumi dengan memanfaatkan sumber daya alam yang
telah disediakan oleh-Nya untuk memenuhi amanah tersebut (h. 24-25).
Karena itulah umat Islam perlu untuk mencapai tingkat kesadaran Ilmu.
Tingkat kesadaran Ilmu yang dimaksud oleh penulis buku ialah sebagaimana
disampaikan oleh Kuntowijoyo yang menangkap adanya tiga tingkat kesadaran umat
Islam di Indonesia: (1) Islam sebagai mistis, (2) Islam sebagai ideologi, dan
(3) Islam sebagai Ilmu. Meskipun secara sekilas mirip dengan klasifikasi tingkat
kesadaran atau pemikiran menurut Auguste Comte (tahap teologis, tahap
metafisik, dan tahap positif), apa yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo merupakan
elaborasi sekaligus kritik terhadap pemikiran tersebut.
Hal ini bisa dilihat dari bagaimana Kuntowijoyo menempatkan agama
(Islam) sebagai pondasi berbagai kesadaran masyarakat (muslim) di Indonesia,
berbeda dengan Comte yang melakukan peminggiran dan penolakan terhadapnya
ketika manusia mencapai tingkat pemikiran yang lebih tinggi. Comte menyatakan
bahwa pemikiran manusia meningkat secara evolutif (bersifat hierarkis) dan
bersifat universal. Akan tetapi yang terjadi tidaklah demikian. Menurut
Kuntowijoyo, tingkat kesadaran itu bersifat tumpang tindih dan berbeda di
masing-masing individu maupun kelompok. Bisa saja dalam diri seseorang terdapat
2 atau 3 kesadaran sekaligus, di berbagai wilayah geografis yang berbeda, dalam
waktu yang bersamaan (h. 55). Hal ini dapat ditemukan dalam buku ini ketika
penulis mencoba mengadakan klasifikasi respon umat Islam terhadap pandemi
Covid-19 (h. 31-36).
Pada bagian kedua buku ini, penulis membahas pentingnya peran masjid di
kala umat Islam menghadapi krisis pandemi Covid-19. Mengangkat pemikiran Sidi
Gazalba, penulis menegaskan adanya dua dimensi yang meliputi pengertian masjid
sebagai tempat sujud, yaitu dimensi ukhrawi (sujud lahir) dan dimensi duniawi
(sujud batin). Dimensi ukhrawi ini meliputi kegiatan ibadah mahdhah yang
merupakan salah satu rukun Islam, yakni shalat. Sedangkan dimensi duniawi
meluputi segala kegiatan umat Islam yang pada hakikatnya diniatkan sebagai ibadah
kepada Allah swt. (h. 87).
Kedua dimensi ini adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kedua
dimensi sama pentingnya dan tidak ada yang harus direndahkan dari yang lain.
Oleh karena itu terdapat dua keseimbangan yang harus dipenuhi, yakni (1)
keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan (hablum minallah) dan antara
manusia dengan sesamanya (hablum minannas), dan (2) keseimbangan dalam memenuhi
kebutuhan dunia dan akhirat (h. 89-90). Kedua keseimbangan ini dapat terpenuhi
jika masjid mampu menjalankan tiga fungsinya secara memadai, yakni fungsi
ijtimaiyah (pembentukan ikatan antar masyarakat dengan mengadakan shalat
berjamaah), risalah (pengadaan dakwah dan pendidikan dalam berbagai jenjang),
dan khidmat (terlibatnya masjid dalam berbagai dimensi kehidupan jamaahnya
meliputi dimensi sosial, ekonomi, dan kultural) (h. 109-110). Penerapan ketiga
fungsi ini misalnya dapat dilihat dari berbagai upaya yang dilakukan oleh
beberapa masjid ketika menghadapi krisis pandemi Covid-19 dalam meringankan beban
jamaahnya (h. 101 dan 132).
Upaya untuk mengangkat kembali pemikiran Sidi Gazalba dan
dikontekstualisasikan dengan kondisi umat Islam hari ini menjadi salah satu
perhatian utama penulis (sebagaimana disampaikan oleh penulis dalam berbagai forum diskusi,
seminar, kuliah, dan berbagai tulisan cetak maupun elektronik). Apalagi fungsi masjid di kala pandemi beberapa waktu lalu sampai hari ini mengalami kemandekan.
Hal ini terlihat misalnya dalam banyaknya masjid yang ditutup dan berhenti beroperasi
di kala pandemi. Fenomena ini menurut penulis menandakan ketidakutuhan umat
Islam dalam memahami definisi dan fungsi masjid yang sebenarnya, karena masjid
hanya dianggap sebagai tempat shalat (h. 106-107). Dan kalau tidak segera
ditanggulangi, maka akan berdampak kepada penyempitan ruang masjid hanya
diperuntukkan sebagai ruang shalat (h. 139), serta terputusnya ikatan
psikologis, sosiologis, dan intelektuil masyarakat dengan masjid (h. 136-138).
Oleh karena itu, dakwah menjadi sangat penting untuk dilakukan oleh
berbagai kalangan dalam meluruskan dua kesalahpahaman besar yang dipaparkan
oleh penulis dalam buku ini, yaitu (1) kesalahpahaman dalam memahami hubungan
antara Sains dan agama (Islam) dan (2) kesalahpahaman mengenai definisi, fungsi
dan peran masjid bagi kehidupan umat Islam. Komunikasi antara kalangan
ahli/otoritas di berbagai bidang keagamaan yang terdiri dari Kyai, guru, dan
mitra dakwah (h. 71), serta ahli/otoritas di berbagai bidang kehidupan patut
digalakkan. Sehingga agenda transformasi umat Islam untuk mencapai kesadaran
Islam sebagai ilmu (h. 74) dan emansipasi yang berpihak pada kalangan lemah (h.
76-77) dapat terwujud.
Sebagai penutup, saya mengucapkan selamat kepada Pak Andika Saputra atas terbitnya buku Kemelut Pandemi dan semoga rencana untuk menerbitkan seri kedua buku ini dapat segera terwujud. Semoga buku ini menjadi amal jariyah di sisi Allah swt. sebagai salah satu upaya (dakwah dan pendidikan) yang dilakukan untuk kemaslahatan umat Islam secara khusus, dan masyarakat luas secara umum. Wallahu a'lam.
Identitas buku:
Penulis: Andika Saputra, S.T., M.Sc.
Penerbit: Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara
Tahun terbit: 2022
Halaman: xxxvi + 159
___
*Pegiat SEED Institute, Marbot Masjid Baitul Atiiq Kartasura.
Editor: Ferdi
0 comments: