Pernahkah
kita mengamati fenomena seperti ini: sebuah wacana X sedang ramai
diperbincangkan di jagat media sosial. Berbagai workshop dan training tentang
wacana X tersebut dilaksanakan. Konten-konten Instagram pun banjir dengan wacana X. Kalangan awam mulai membaca
buku non-fiksi tentang wacana X – bahkan mereka yang biasanya jarang membaca
buku. Singkat cerita, “demam” wacana X merajalela.
Belum
genap sebulan menjadi trending topic,
para akun dan influencer dakwah – atau
setidaknya yang mencitrakan diri sebagai persona Islami – mulai terjun ke dalam
perbincangan. Bermodalkan nukilan beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits, mereka
melakukan rebranding wacana X dengan
nama ‘X Islami’, ‘titik temu Islam dan X’, dsb. Dengan piawai mereka menemukan ‘keselarasan’
antara wacana X dengan Islam untuk dijadikan konten media sosial. “Jadi, X ini sangat Islami dan ternyata sudah
dipraktikkan oleh Rasulullah saw. sejak dulu” dan ujaran sejenis mewarnai perbincangan
versi ‘Islami’ dari wacana X. Kita
bisa mengganti ‘X’ dengan berbagai wacana, dari mulai yang praktis seperti stoikisme dan mindfulness hingga yang ideologis seperti sosialisme dan feminisme.
Tinggal tambahkan kata ‘Islami’ dan kutip ayat Al-Qur’an dan hadits sebagai
justifikasi, jadilah produk baru.
Kita tentu paham maksud baiknya. Wacana
tersebut keberterimaannya positif dan kebetulan sedang populer. Jika kita
menunjukkan relevansi Islam terhadapnya, ini dianggap sebagai metode dakwah
yang efektif. Namun, sayangnya niat baik meskipun harus diapresiasi tidaklah
cukup. Tulisan ini akan mencoba menjelaskan mengapa penyematan sifat ‘Islami’
pada konsep asing bisa berbahaya jika dilakukan secara serampangan.
II
Ambil contoh kasus stoikisme. Dalam sebuah podcast yang mengangkat tema “berbeda
tapi bersama”, salah seorang narasumbernya mengklaim bahwa stoikisme tidak
bertentangan dengan agama apapun dan bahkan induk pikirannya selaras dengan apa
yang ia pelajari di agama Islam. Ia menjelaskan bahwa
stoikisme pada intinya adalah ilmu pengendalian diri dan fokus terhadap hal
yang bisa ia kendalikan. Lalu ia mengaitkan bagaimana konsep-konsep dalam Islam
seperti kecukupan, qanaah, dan tawakal selaras
dengan stoikisme.
Dalam
kesempatan lain, giliran mindfulness yang
disejajarkan dengan Islam. Dalam video singkat berjudul “Mindfulness dalam Islam”, sang narator menjelaskan bagaimana mindfulness adalah mindset kita dalam menghadapi masalah agar pikiran kita lebih baik.
Mindfulness adalah self-awareness: kesadaran utuh dan
kehadiran penuh terhadap apa yang kita pikirkan. Lalu narator mensejajarkan
bahwa dalam Islam kita diajarkan untuk mengenal diri sendiri dalam rangka
mengingat Allah swt., bahkan menyetarakan meditasi dan shalat & dzikir
dalam rangka latihan menjadi orang yang mindful.
Masih
banyak lagi wacana-wacana yang disejajarkan dengan Islam, dari mulai Ikigai,
minimalisme, sosialisme, feminisme, dan berbagai isme lainnya. Khusus yang terakhir, bahkan ada yang tidak ragu-ragu
memberi Rasulullah saw. predikat “feminis pertama dalam Islam”!
III
‘Keselarasan’ ajaran Islam dengan berbagai
wacana tersebut memberikan kesan bahwa Islam selalu relevan dengan semangat
zaman. Dari manapun sumbernya, asal dia sejalan dengan Islam, maka ambillah! Dikutiplah
hadits “Hikmah itu adalah barang yang
hilang milik orang yang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah”
untuk menjustifikasi. Logika persamaan dihadirkan di sini.
Namun sebagaimana dua sisi koin, ‘logika
persamaan’ mengisyaratkan adanya juga ‘logika perbedaan’. Kita tidak memungkiri
adanya irisan – yang banyak diantaranya bersifat superfisial – antara Islam
dengan wacana-wacana tersebut. Namun awam terhadap atau bahkan menutup-nutupi
bab perbedaan akan menyebabkan kita tidak melihat perkara secara utuh.
Mari
kembali ke contoh kasus stoikisme. Dari pemaparan sebelumnya, dicitrakan bahwa
stoikisme hanya sekadar prinsip hidup “fokus ke hal yang bisa kita kendalikan”.
Padahal, stoikisme tidak
sesederhana itu. Ia merupakan tradisi filsafat tersendiri. Dalam bukunya How to Be a Stoic (2017), Massimo
Pigliucci menjelaskan bahwa “The original
stoicism…was a comprehensive philosophy that included not only ethics but also
a metaphysics, a natural science, and specific approaches to logic and
epistemology….” Stoikisme meyakini bahwa segala yang terjadi di dunia
mengikuti prinsip kausalitas dan – meminjam bahasa Pigliucci – “there is no room for spooky transcendental
stuff”. Bahkan, Pigliucci juga berargumen bahwa Epictetus (salah seorang
tokoh filsafat stoikisme) menganut paham pantheisme: paham yang menganggap
bahwa alam semesta adalah jelmaan Tuhan itu sendiri.
Mindfulness
pun bukannya tanpa masalah.
Tidak banyak yang menyadari bahwa mindfulness
berasal dari filsafat Zen Buddha. Dalam artikel berjudul The Problem of Mindfulness, Sahanika Ratnayake menyatakan bahwa “mindfulness is in fact ‘metaphysically loaded’”. Ia lanjut
menjelaskan:
In particular, mindfulness is
grounded in the Buddhist doctrine of anattā, or the ‘no-self’. Anattā is a
metaphysical denial of the self, defending the idea that there is nothing like
a soul, spirit or any ongoing individual basis for identity. This view denies
that each of us is an underlying subject of our own experience. By contrast,
Western metaphysics typically holds that – in addition to the existence of any
thoughts, emotions and physical sensations – there is some entity to whom all
these experiences are happening, and that it makes sense to refer to this
entity as ‘I’ or ‘me’. However, according to Buddhist philosophy, there is no
‘self’ or ‘me’ to which such phenomena belong.
Dengan kata lain, doktrin anattā meminggirkan (jika tidak menolak sepenuhnya) konsep jiwa
sebagai individu yang diciptakan dengan potensi yang berbeda-beda sesuai
kadarnya.
IV
Dua contoh di atas hanya sebagian kecil
bagaimana bahkan sebuah wacana yang kelihatan selaras dengan Islam di permukaan
ternyata memiliki perbedaan filosofis yang fundamental setelah diinvestigasi
lebih lanjut. Stoikisme mengajarkan kecukupan diri yang
disamakan dengan konsep qanaah dalam Islam. Tapi di saat bersamaan stoikisme
menolak konsep Tuhan yang berbeda dengan makhluk (baca: alam) dan menolak
kemungkinan intervensi Tuhan terhadap alam semesta. Mindfulness mengajarkan self-awareness
yang disamakan dengan muhasabah diri, tapi di sisi lain ia menolak konsep
personalitas (yang membuat muhasabah justru menjadi tidak mungkin karena tidak
ada konsep ‘individu’).
Dan
masih banyak lagi masalah yang akan muncul ketika kita dengan gebyah-uyah mensejajarkan Islam dengan
berbagai wacana dan isme asing. Di
satu kesempatan Rasulullah saw. diklaim sebagai feminis, tetapi di lain
kesempatan poligami juga diantagonisasi atas nama feminisme. Paginya berujar
“Islam 100% sejalan dengan demokrasi”, sorenya usulan perda syariah ditolak
dengan alasan agama tidak boleh masuk ke ruang publik yang demokratis. Tarik-ulur terus terjadi, karena logika persamaan tidak dibarengi
dengan logika perbedaan.
V
Setidaknya,
fenomena penerimaan – bahkan klaim kepemilikan – wacana asing tanpa dibarengi
sikap kritis ini mengajari kita tiga hal. Pertama, ia mencerminkan inferiority
complex yang dialami umat Islam yang silau terhadap apa-apa yang berasal
dari luar. Kedua, ia mencerminkan hilangnya tradisi kesarjanaan yang ketat,
hati-hati, dan kritis dalam mengapropriasi konsep-konsep asing ke dalam
khazanah keilmuan Islam. Ketiga, ia juga mencerminkan terputusnya kita dengan
14 abad tradisi keilmuan Islam sehingga gamang dan kebingungan dalam menghadapi
zaman.
Situasi ini digambarkan secara apik oleh Syed
Muhammad Naquib Al-Attas dalam buku Islam
and Secularism (1978). Beliau menggambarkan tren umat Islam yang cenderung
menerima segala sesuatu dari Barat tanpa kritis, sembari memberi contoh tentang
‘sosialisme Islami’:
Orang Islām yang mengikuti arus tersebut bermaksud baik namun keliru dalam usaha
untuk meningkatkan pemikiran umat Islām ke taraf
pencapaian-pencapaian modern dalam bidang ilmu dan teknologi serta ilmu
kemanusiaan dan realitas sosio-ekonomi – mereka membicarakan hal-hal yang tidak
bermakna seperti misalnya ‘Sosialisme-Islami’ dan ‘Sosialisme dalam Islām’. Mereka mengacaukan pengertian
Islām dan sosialisme, maka mereka bertanggungjawab atas kekeliruan umat Islām dan membawa mereka
menyimpang dari jalan yang benar serta menimbulkan konflik yang tidak perlu di
kalangan umat Islām. Sosialisme adalah ideologi sekular
yang terpisah dari Islām, dan tidak akan pernah ada realitas seperti ‘Sosialisme Islami’ atau
‘Sosialisme dalam Islām’. Jika mereka ingin dan bermaksud membawa ide bahwa ada bagian-bagian
penting tertentu dalam dimensi-dimensi sosialisme yang sejajar atau serupa
dengan beberapa dimensi dari Islām, maka seharusnya mereka menyatakan ide itu dengan cara lain yang tidak
mudah ditafsirkan secara kabur, misalnya ‘dimensi sosial, politik dan ekonomi
dari Islām’ – atau beberapa pernyataan lain semacam itu, yang dengan sedikit
usaha intelektual dapat dengan mudah difahami dan diterima sebagai tafsiran
yang sah dari pandangan alam (worldview)
Islām. Namun kegagalan mereka untuk memahami hal ini dan keinginan keras
mereka untuk menulis sebagaimana yang telah mereka lakukan, menyingkapkan
dengan jelas akan lemahnya mereka dalam kefahaman dan ilmu yang mendalam baik
mengenai kebudayaan dan peradaban Islām maupun Barat. (Al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. 2010, hlm. 55)
Situasi ini seakan semakin menguatkan tesis
beliau tentang loss of adab yang
melanda dunia Islam saat ini. Ketika kita kehilangan adab, kita tidak mampu
menempatkan sebuah produk pemikiran pada tempatnya. Dalam
kasus ini, kita silau dengan logika persamaan sehingga lupa dengan logika
perbedaan. Akhirnya, yang terjadi adalah logika ikut-ikutan!
Dalam
hal ini, ada baiknya kita belajar dari ketelitian Imam Al-Ghazali dalam
menerima ide-ide dari filsafat Yunani. Pertama, beliau tentu memiliki dasar
ilmu keislaman yang sangat kokoh sehingga memiliki kacamata yang sangat jeli.
Kedua, sebelum beliau mengkritik beberapa perkara filsafat Yunani yang
menurutnya dapat menyebabkan bid’ah dan kekufuran, beliau terlebih dahulu
mengarang kitab Maqāṣid al-falāsifa
yang berisi penjelasan terhadap konsep inti filsafat
Yunani. Barulah setelah menjelaskan konsep intinya, beliau melakukan kritik
terhadap 20 perkara filsafat Yunani yang dianggapnya bermasalah – 17 dianggap
bid’ah dan 3 dianggap kufur – dalam kitab Tahāfut al-falāsifa. Jelas terlihat kejelian beliau di sini.
Terakhir,
ada baiknya kita tidak minder dengan pencapaian kita sendiri dan mencari
‘validasi’ dari luar. Tentu bukan berarti tidak boleh belajar segala yang
berasal dari luar Islam. Belajar dan membandingkan silahkan, namun ada baiknya
diiringi dengan disiplin pemikiran yang tinggi agar hasilnya tidak serampangan.
Hargai tradisi, teliti sebelum
“membeli”.
Wallāhu
a‘lam.
___
*Penulis saat ini menempuh studi doktoral di Belanda dalam bidang Electrical Engineering.
Editor: Ferdi