Sumber: unplash.com |
Oleh: Muhammad Ibnu Masngud*
Sebuah Realitas
Saat libur akhir
semester gasal tanpa sengaja saya bertemu dengan ibu dari kakak kelas saya saat
sekolah menengah pertama, kebetulan dia baru saja mendapatkan gelar sarjananya.
“Fulan (nama samaran) di rumah nggak Bu?” tanya saya sekedar basa-basi. Setelah
menjawab pertanyaan saya, diluar dugaan beliau menceritakan bahwa anaknya lulus
menggunakan jasa joki skripsi. Namun nampaknya sama sekali tidak ada ekspresi
yang menunjukan rasa prihatin, ataupun semacamnya dari raut muka beliau.
Tak lama sebelum
itu, saya mendapatkan cerita dari kawan. Dia menyebutnya sebagai “Tragedi
Intelektual massal”. Di mana teman-temannya mengerjakan soal UAS (Ujian Akhir
Semester) berjamaah. “Masih mending kalo sambil diskusi”, ujarnya kesal.
Ternyata salah seorang temannya yang paling pandai mengirimkan seluruh jawaban
ujian ke grup kelasnya setelah selesai mengerjakan dan mendapat nilai sempurna.
Pada era
pembelajaran online, numpang nama saat kuliah, ganti nama tugas teman, dan dua
cerita di atas lumrah terjadi, sudah menjadi “rahasia umum”. Secara normatif
hal-hal di atas merupakan penyimpangan bagi seorang anggota civitas academica
(baca: masyarakat akademik) khususnya mahasiswa. Lalu apa penyebabnya? Dan
harus bagaimana?
Persoalan di atas
hanyalah secuil dari seluruh problematika pendidikan hari ini. Empat puluh
empat tahun yang lalu Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Konferensi
Internasional Pendidikan Islam yang pertama di Mekkah menyampaikan bahwa
problematika umat Islam adalah hilang adab (loss of adab). Jika kita mengamati realitas pendidikan
sekarang ternyata apa yang disampaikan beliau saat itu masih relevan sampai
hari ini.
Menurut hemat saya,
faktor utama dalam permasalahan ini adalah worldview (pandangan alam) seorang
anggota civitas academica terhadap hakikat pendidikan. Prof. Hamid Fahmy
Zarkasyi dalam bukunya Minhaj menyampaikan, “Tujuan pendidikan Islam adalah
untuk mencetak manusia seutuhnya (Insan Kamil). Artinya manusia yang memiliki
keseimbangan antara kedewasaan intelektual, spiritual dan moral.” Sayangnya
masih banyak mahasiswa muslim yang orientasi belajarnya hanya sebatas bagaimana
dia bisa mendapat pekerjaan yang layak.
Cara Pandang yang
Seharusnya
Di suatu sore
setelah lelah dengan aktivitas harian, saya menghampiri seorang teman yang
sedang sibuk dengan buku lamanya.
Setelah sedikit cerita tetang bukunya dan ngobrol ngalor ngidul, saya
memberitahunya bahwa saya baru membeli buku yang dulu pernah saya pinjam
darinya. Saya jelaskan bahwa cara pandang saya terhadap proses belajar berubah,
“Ternyata kalo mau punya ilmunya, harus punya bukunya juga karena membaca nggak
cukup sekali.”
Saya pikir dia
tidak akan banyak menanggapi, tapi dia justru berkata “Bagi yang memahami
worldview Islam cara pandangmu masih belum komprehensif.” Dia menjelaskan bahwa
seharusnya saya tidak memandang membeli buku hanya terbatas dengan pandangan
empiris semata, tapi harus melibatkan dimensi metafisik -dalam hal ini wahyu
sumbernya- dan empris secara integral. Sederhananya ketika kita mengeluarkan
biaya untuk membeli buku, selain kita lebih mudah mengaksesnya, juga akan
mendatangkan keberkahan dan kemudahan dari Allah karena menuntut ilmu adalah
jihad fi sabilillah.
Memang seharusnya
begitu cara pandang kita terhadap realitas, melibatkan dimensi empiris dan
metafisik. Dan inilah ciri utama yang membedakan antara filsafat ilmu Islam dan
filsafat ilmu Barat. Dalam epistemologi, filsafat Barat hanya menerima yang
empiris dan rasional. Sedangkan epistemologi filsafat ilmu dalam Islam
sumbernya tidak hanya yang empiris dan rasional saja, namun juga khabar shadiq
-dalam konteks ini adalah wahyu- dan intuisi.
Untuk memudahkan
kita memahami worldview Islam, Prof. Hamid memberikan contoh sederhana, “Ketika
seorang mukmin melihat daging dia tidak akan melihat kualitas daging atau
proses pengolahannya saja, namun dia akan melihat bagaimana kehalalannya dan
keberkahannya.” Jika kita kontekstualisasikan ke problematika di awal maka kita
akan temukan jawabannya, bahwa banyak mahasiswa yang memandang proses belajar
dari dimensi empiris semata sehingga menghasilkan pikiran yang materialistik.
Bahkan mungkin lebih buruk dari itu, cara pandang yang sangat pragmatis.
Dari penjelasan di
atas maka kita dapat kategorikan cara pandang pelajar terhadap hakikat
pendidikan menjadi tiga: pragmatis, kognitif, dan komprehensif (melibatkan
dimensi empiris dan metafisik). Dari ketiga kelompok itu, yang paling buruk
adalah yang pragmatis, dan yang paling baik adalah yang memandang hakikat
pendidikan secara komprehensif.
Untuk kelompok yang
pertama, jangankan berfikir tentang keberkahan, memikirkan dampak bagi kualitas
keilmuan mereka saja mungkin tidak. Mahasiswa yang pragmatis hanya memikirkan
bagaimana cara agar mereka medapat nilai tinggi dan lulus kuliah. Kelompok
kedua masih memliki kesadaran bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah untuk
meningkatkan kecerdasan kognitif. Sehingga mereka mungkin akan berpikir dua
kali untuk melakukan kecurangan, karena mereka sadar akan berdampak buruk bagi
kualitas keilmuan mereka.
Sedangkan kelempok ketiga adalah mereka yang
paham tentang hakikat dirinya sendiri dan hakikat pendidikan. Mereka sadar
bahwa dirinya adalah makhluk paripurna yang memiliki akal untuk berfikir, hati
untuk merasa dan raga untuk beramal. Dan semua itu memiliki kebutuhan: akal
perlu ilmu, hati perlu iman dan raga perlu perawatan. Mereka berusaha untuk
memenuhi seluruh kebutuhannya.
Ketika ujian, mahasiswa yang pragmatis akan
mengalalkan segala cara asal mereka mendapat IPK tinggi. Sedangkan kelompok
mahasiswa yang kedua mereka akan belajar dengan sungguh-sungguh karena sadar
bahwa ujian adalah evaluasi bagi pembelajaran mereka selama kuliah. Dan
mahasiswa yang memiliki cara pandang komprehensif paham bahwa dalam ujian tidak
sebatas tentang penguasaan materi semata, namun ada aspek yang sangat kompleks.
Meskipun ujiannya matematika, sadar atau tidak
di situ juga ada ujian iman dan akhlak. Tingkat muraqabah (merasa diawasi
Allah) diuji saat itu, seberapa jujur dan seberapa kuat kita menahan godaan
untuk berbuat curang. Bukankah kita sering mendengar ungkapan “Indonesia tidak
kekurangan orang cerdas, namun kekurangan orang jujur”, bisa jadi inilah akar
permasalahannya.
Mungkin ada yang berkilah, “Ini kan cuma
kebohongan kecil.” Pribahasa kuno Tiongkok mengatakan “Perjalanan seribu mil
itu diawali dengan langkah pertama.” Jika kita mau merenung, bukankah samudera
pasifik hanyalah kumpulan tetesan air dan sahara hanyalah kumpulan butiran
pasir? Artinya kebohongan kecil yang dilakukan terus menerus akan menjadi
kebohongan besar, dan menjadikan kita sebagai pembohong. “Engkau adalah apa
yang kau lakukan berulang-ulang”, kata Aristoteles.
Menjadi idealis di tengah realitas seperti ini
memang berat. Bisa jadi hidup kita menjadi sedikit rumit atau bahkan dibenci
oleh sebagian orang yang pragmatis, tapi itulah yang akan membentuk diri kita
menjadi pribadi yang tangguh. Dan mungkin ini maksud dari perkataan Imam
Syafi’i “Siapa yang tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu
menahan perihnya kebodohan.”
Kesimpulan
Worldview adalah faktor yang memiliki
implikasi besar terhadap sikap, keputusan, dan tindakan seseorang dalam
kehidupan termasuk pendidikan. Worldview yang salah akan menghasilkan tindakan
yang salah, jadi dapat kita pahami penyebab dari permasalahan di atas adalah
cara pandang yang keliru terhadap pendidikan. Agar worldview kita sesuai dengan
panduan Islam maka kita memerlukan ilmu dan iman dalam memandang realitas
kehidupan yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk amal-amal kebajikan.
Semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi refleksi bagi kita semua agar dapat
menjalani proses pendidikan dengan lebih baik.
La haula wala quwwata illa billah. Wallahu
a’lam bishawab.
Referensi
Hamid Fahmy Zarkasyi. 2021. Minhaj: berislam dari
ritual hingga intelektual. Jakarta: INSISTS.
Adian Husaini. 2018. Pendidikan Islam: Mewujudkan Generasi
Gemilang menuju Negara Adidaya 2045. Depok: Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa.
___
*Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UMS, Kader PK IMM Shabran 2021
Woah ngerih kali inih, bnr" Pukulan telak
BalasHapusPukulan apa Vid?😂
HapusSudah biasa kuliah zoom tapi off cam terus ya pid
Hapus