Rabu, 06 April 2022

WORLDVIEW PELAJAR TERHADAP PENDIDIKAN DAN IMPLIKASINYA

Sumber: unplash.com

Oleh: Muhammad Ibnu Masngud*

Sebuah Realitas

Saat libur akhir semester gasal tanpa sengaja saya bertemu dengan ibu dari kakak kelas saya saat sekolah menengah pertama, kebetulan dia baru saja mendapatkan gelar sarjananya. “Fulan (nama samaran) di rumah nggak Bu?” tanya saya sekedar basa-basi. Setelah menjawab pertanyaan saya, diluar dugaan beliau menceritakan bahwa anaknya lulus menggunakan jasa joki skripsi. Namun nampaknya sama sekali tidak ada ekspresi yang menunjukan rasa prihatin, ataupun semacamnya dari raut muka beliau.

Tak lama sebelum itu, saya mendapatkan cerita dari kawan. Dia menyebutnya sebagai “Tragedi Intelektual massal”. Di mana teman-temannya mengerjakan soal UAS (Ujian Akhir Semester) berjamaah. “Masih mending kalo sambil diskusi”, ujarnya kesal. Ternyata salah seorang temannya yang paling pandai mengirimkan seluruh jawaban ujian ke grup kelasnya setelah selesai mengerjakan dan mendapat nilai sempurna.

Pada era pembelajaran online, numpang nama saat kuliah, ganti nama tugas teman, dan dua cerita di atas lumrah terjadi, sudah menjadi “rahasia umum”. Secara normatif hal-hal di atas merupakan penyimpangan bagi seorang anggota civitas academica (baca: masyarakat akademik) khususnya mahasiswa. Lalu apa penyebabnya? Dan harus bagaimana?

Persoalan di atas hanyalah secuil dari seluruh problematika pendidikan hari ini. Empat puluh empat tahun yang lalu Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Konferensi Internasional Pendidikan Islam yang pertama di Mekkah menyampaikan bahwa problematika umat Islam adalah hilang adab (loss of adab).  Jika kita mengamati realitas pendidikan sekarang ternyata apa yang disampaikan beliau saat itu masih relevan sampai hari ini.

Menurut hemat saya, faktor utama dalam permasalahan ini adalah worldview (pandangan alam) seorang anggota civitas academica terhadap hakikat pendidikan. Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam bukunya Minhaj menyampaikan, “Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencetak manusia seutuhnya (Insan Kamil). Artinya manusia yang memiliki keseimbangan antara kedewasaan intelektual, spiritual dan moral.” Sayangnya masih banyak mahasiswa muslim yang orientasi belajarnya hanya sebatas bagaimana dia bisa mendapat pekerjaan yang layak.

Cara Pandang yang Seharusnya

Di suatu sore setelah lelah dengan aktivitas harian, saya menghampiri seorang teman yang sedang sibuk dengan buku lamanya.  Setelah sedikit cerita tetang bukunya dan ngobrol ngalor ngidul, saya memberitahunya bahwa saya baru membeli buku yang dulu pernah saya pinjam darinya. Saya jelaskan bahwa cara pandang saya terhadap proses belajar berubah, “Ternyata kalo mau punya ilmunya, harus punya bukunya juga karena membaca nggak cukup sekali.

Saya pikir dia tidak akan banyak menanggapi, tapi dia justru berkata “Bagi yang memahami worldview Islam cara pandangmu masih belum komprehensif.” Dia menjelaskan bahwa seharusnya saya tidak memandang membeli buku hanya terbatas dengan pandangan empiris semata, tapi harus melibatkan dimensi metafisik -dalam hal ini wahyu sumbernya- dan empris secara integral. Sederhananya ketika kita mengeluarkan biaya untuk membeli buku, selain kita lebih mudah mengaksesnya, juga akan mendatangkan keberkahan dan kemudahan dari Allah karena menuntut ilmu adalah jihad fi sabilillah.

Memang seharusnya begitu cara pandang kita terhadap realitas, melibatkan dimensi empiris dan metafisik. Dan inilah ciri utama yang membedakan antara filsafat ilmu Islam dan filsafat ilmu Barat. Dalam epistemologi, filsafat Barat hanya menerima yang empiris dan rasional. Sedangkan epistemologi filsafat ilmu dalam Islam sumbernya tidak hanya yang empiris dan rasional saja, namun juga khabar shadiq -dalam konteks ini adalah wahyu- dan intuisi.

Untuk memudahkan kita memahami worldview Islam, Prof. Hamid memberikan contoh sederhana, “Ketika seorang mukmin melihat daging dia tidak akan melihat kualitas daging atau proses pengolahannya saja, namun dia akan melihat bagaimana kehalalannya dan keberkahannya.” Jika kita kontekstualisasikan ke problematika di awal maka kita akan temukan jawabannya, bahwa banyak mahasiswa yang memandang proses belajar dari dimensi empiris semata sehingga menghasilkan pikiran yang materialistik. Bahkan mungkin lebih buruk dari itu, cara pandang yang sangat pragmatis.

Dari penjelasan di atas maka kita dapat kategorikan cara pandang pelajar terhadap hakikat pendidikan menjadi tiga: pragmatis, kognitif, dan komprehensif (melibatkan dimensi empiris dan metafisik). Dari ketiga kelompok itu, yang paling buruk adalah yang pragmatis, dan yang paling baik adalah yang memandang hakikat pendidikan secara komprehensif.

Untuk kelompok yang pertama, jangankan berfikir tentang keberkahan, memikirkan dampak bagi kualitas keilmuan mereka saja mungkin tidak. Mahasiswa yang pragmatis hanya memikirkan bagaimana cara agar mereka medapat nilai tinggi dan lulus kuliah. Kelompok kedua masih memliki kesadaran bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan kecerdasan kognitif. Sehingga mereka mungkin akan berpikir dua kali untuk melakukan kecurangan, karena mereka sadar akan berdampak buruk bagi kualitas keilmuan mereka.

Sedangkan kelempok ketiga adalah mereka yang paham tentang hakikat dirinya sendiri dan hakikat pendidikan. Mereka sadar bahwa dirinya adalah makhluk paripurna yang memiliki akal untuk berfikir, hati untuk merasa dan raga untuk beramal. Dan semua itu memiliki kebutuhan: akal perlu ilmu, hati perlu iman dan raga perlu perawatan. Mereka berusaha untuk memenuhi seluruh kebutuhannya.

Ketika ujian, mahasiswa yang pragmatis akan mengalalkan segala cara asal mereka mendapat IPK tinggi. Sedangkan kelompok mahasiswa yang kedua mereka akan belajar dengan sungguh-sungguh karena sadar bahwa ujian adalah evaluasi bagi pembelajaran mereka selama kuliah. Dan mahasiswa yang memiliki cara pandang komprehensif paham bahwa dalam ujian tidak sebatas tentang penguasaan materi semata, namun ada aspek yang sangat kompleks.

Meskipun ujiannya matematika, sadar atau tidak di situ juga ada ujian iman dan akhlak. Tingkat muraqabah (merasa diawasi Allah) diuji saat itu, seberapa jujur dan seberapa kuat kita menahan godaan untuk berbuat curang. Bukankah kita sering mendengar ungkapan “Indonesia tidak kekurangan orang cerdas, namun kekurangan orang jujur”, bisa jadi inilah akar permasalahannya.

Mungkin ada yang berkilah, “Ini kan cuma kebohongan kecil.” Pribahasa kuno Tiongkok mengatakan “Perjalanan seribu mil itu diawali dengan langkah pertama.” Jika kita mau merenung, bukankah samudera pasifik hanyalah kumpulan tetesan air dan sahara hanyalah kumpulan butiran pasir? Artinya kebohongan kecil yang dilakukan terus menerus akan menjadi kebohongan besar, dan menjadikan kita sebagai pembohong. “Engkau adalah apa yang kau lakukan berulang-ulang”, kata Aristoteles.

Menjadi idealis di tengah realitas seperti ini memang berat. Bisa jadi hidup kita menjadi sedikit rumit atau bahkan dibenci oleh sebagian orang yang pragmatis, tapi itulah yang akan membentuk diri kita menjadi pribadi yang tangguh. Dan mungkin ini maksud dari perkataan Imam Syafi’i “Siapa yang tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan.

Kesimpulan

Worldview adalah faktor yang memiliki implikasi besar terhadap sikap, keputusan, dan tindakan seseorang dalam kehidupan termasuk pendidikan. Worldview yang salah akan menghasilkan tindakan yang salah, jadi dapat kita pahami penyebab dari permasalahan di atas adalah cara pandang yang keliru terhadap pendidikan. Agar worldview kita sesuai dengan panduan Islam maka kita memerlukan ilmu dan iman dalam memandang realitas kehidupan yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk amal-amal kebajikan. Semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi refleksi bagi kita semua agar dapat menjalani proses pendidikan dengan lebih baik.

La haula wala quwwata illa billah. Wallahu a’lam bishawab.

Referensi

Hamid Fahmy Zarkasyi. 2021. Minhaj: berislam dari ritual hingga intelektual. Jakarta: INSISTS.

Adian Husaini. 2018. Pendidikan Islam: Mewujudkan Generasi Gemilang menuju Negara Adidaya 2045. Depok: Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa.

___

*Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UMS, Kader PK IMM Shabran 2021

Sebelumnya
Next Post

3 komentar: