Sabtu, 09 April 2022

RAMADHAN, HARUSKAH BERBEDA?





Oleh : Sandya Mahendra*

Ramadhan merupakan bulan suci bagi seluruh umat Islam yang di dalamnya terdapat kemulian-kemulian yang tidak dapat dijumpai di bulan lain. Setiap muslim berlomba-lomba dalam kebaikan untuk mencapai makrifat tertinggi dari Tuhan. Dibalik kemuliaan beserta amalan-amalan yang ada dalam bulan Ramadhan, terdapat hal unik yang sering terjadi di Indonesia ketika tiba pada akhir bulan Sya’ban, yakni mengenai penentuan awal Ramadhan. Setelah lima tahun kompak berpuasa di hari yang sama, tahun ini cukup berbeda karena Kementrian Agama dan Muhammadiyah menentukan 1 Ramadhan di hari yang berbeda dalam hitungan tahun masehi. Hal ini disebabkan karena perbedaan metode dalam penentuan awal Ramadhan. Kementerian Agama menggunakan metode rukyatul hilal sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode hisab. Ramadhan kali ini adalah Ramadhan yang berbeda bagi saya, karena tahun ini saya berpuasa mengikuti panduan metode hisab sebagai penentuan awal puasa, yang sebelumnya saya biasanya hanya mengikuti arahan dari Kementrian Agama.

Metode rukyatul hilal menurut Muhyidin Khazin bahwa rukyat al-hilal merupakan suatu kegiatan atau usaha melihat hilal atau Bulan sabit di langit (ufuk) sebelah Barat sesaat setelah Matahari terbenam menjelang awal bulan baru khususnya menjelang bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah untuk menentukan kapan bulan baru itu dimulai. Metode ini sering digunakan sebagai rujukan Nahdlatul Ulama dan Kementerian Agama. Sedangkan metode hisab menurut Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtima, ijtima itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk.

Masyarakat memberikan respon yang beragam mengenai perbedaan awal hari puasa, baik yang menjunjung tinggi perbedaan hingga menolak adanya perbedaan karena berpotensi menimbulkan polarisasi. mengganggu ukhuwah Islamiyah, dan tidak taat pada pemerintah. Perbedaan ini menjadi wajar karena Indonesia secara sistem tidak memberlakukan satu mazhab tertentu sebagai mazhab resmi negara. Maka dari itu, Indonesia secara tidak langsung memberikan ruang untuk pemahaman-pemahaman keagamaan untuk berekspresi di tengah-tengah masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan lahirnya berbagai ormas keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, MTA, LDII, Persis, dan lain sebagainya. Masing-masing memiliki identitas tersendiri dalam setiap gerakannya.

Mengutip pada sebuah jurnal yang ditulis oleh Muammar Bakry, bahwa Yusuf al-Qardhawi menyebutkan etika dalam menyikapi perbedaan fiqih diantaranya seseorang tidak mengingkari secara mutlak atau final terhadap masalah-masalah ijtihadiyah yang masih debatable, begitu pula tidak meyakini dan mendukung secara mutlak. Hal ini sesuai dengan kaidah yang mengatakan: “ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad yang lain."Selain itu, hendaknya seseorang fokus pada hal-hal yang muhkamat atau jelas penafsirannya, dan menghindari perdebatan seputar hal yang mutasyabihat (masih samar).“ 

Berangkat dari pernyataan di atas, maka Malik bin Anas sebagai pendiri mazhab Malikiyah dan termasuk salah satu ulama klasik yang mengusung semangat bertoleransi mengatakan bahwa “kebebasan berpendapat dan perbedaan harus dihargai dan tidak boleh diberangus dengan upaya penyeragaman melalui kebijakan penguasa“ Ucapan Imam Malik ini berangkat dari inisiatif Khalifah Harun al-Rasyid untuk menggantungkan kitab al-muwatta’ karya Imam Malik bin Anas di atas Ka’bah. Dengan tujuan agar semua orang mengikuti atau merujuk pada kitab tersebut. Imam Malik menolak dan berkata “wahai pemimpin kaum mukminin, janganlah anda menggantung kitab itu di atas Ka’bah, sebab para sahabat Rasulullah pun telah berbeda pendapat.“ Sikap Imam Malik tersebut, jelas menghindari pembenaran mutlak dari karyanya sehingga menghilangkan rahmat perbedaan pendapat sebagai bentuk khazanah kekayaan umat Islam. Inilah salah satu bentuk olah pikir dalam menerima sikap keterbukaan pemikiran terhadap ikhtilaf.

Perbedaan ini mengingatkan saya di lingkungan tempat saya tinggal memang beragam, terhitung satu kompleks RT terdapat tiga masjid yang memiliki cirinya masing-masing, namun semua kompak dalam urusan yang berkaitan dengan masalah-masalah yang ada di masyarakat. Sudah sepatutnya kita bersyukur di Indonesia, di mana mimbar-mimbar keagamaan berbagai madzhab yang diberi ruang untuk mengekspresikannya di khalayak umum. 

Perbedaan seharusnya dimaknai sebagai sebuah fitrah dalam sebuah masyarakat, terutama ini adalah momentum Ramadhan yang seharusnya setiap elemen umat Islam saling berpegang teguh pada tali-tali persaudaraan. Seperti firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 103 yang artinya “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahilia) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.”

 ----

*Mahasiswa Fakultas Hukum UMS, Pegiat SEED Institute

 Editor : Alfrisa Ica

Sebelumnya
Next Post

0 comments: