Sumber: jogjaaja.com |
Oleh: Andika Saputra,
S.T., M.Sc.*
Hari pertama Ramadhan terlewati tanpa drama
karena sepanjang hari aktivitas dominan di rumah saja. Keluar rumah hanya ke
warung Bu Slamet dan ke masjid di belakang rumah yang jaraknya tidak sampai 50
meter. Perdana Ramadhan kami berbuka di rumah, karena masjid di permukiman baru
akan menyelenggarakan buka bersama hari ini. Segelas teh hangat, 2 butir kurma,
dan sepiring kecil nasi dengan lauk tahu tempe berteman sambal andalan Bunda,
sudah dapat menuntaskan lapar dan dahaga hingga selesainya ibadah shalat Tarawih,
bahkan menjelang tidur malam rasa kenyang masih bertahan.
Dipikir-pikir, ukuran lambung dan tenggorokan
manusia memang kecil. Apalagi jika mengikuti teladan Rasul, sepertiga isi perut
diperuntukkan untuk makanan, sepertiga lagi untuk minuman, dan sepertiga
sisanya dikosongkan untuk bernafas, sehingga porsi untuk makan dan minum
menjadi semakin sedikit. Hawa nafsulah yang menjadikan manusia senantiasa
merasa tidak puas dan hendak menguasai segala sumber daya seakan-akan lambung
dan tenggorokannya tak pernah merasa penuh.
Perenungan selepas waktu berbuka tadi langsung
membawa saya pada gagasan ekonomi cukup yang disampaikan oleh Radhar Panca
Dahana. Dalam buku yang diberinya judul serupa, Radhar menyampaikan sebuah
kisah yang mencerminkan realisasi gagasannya tersebut. Seorang penjual nasi
uduk di sebuah pasar tradisional di Jakarta yang telah berjualan barang
dagangan yang sama di tempat yang sama berpuluh tahun, sebelum shubuh telah
bersiap, sampai waktu dhuha dagangan digelar. Saat adzan dzuhur berkumandang,
lelaki itu telah di rumah untuk beristirahat dan beribadah, menikmati sisa hari
dengan tenang.
Tawaran untuk membuka cabang selalu
ditolaknya, pun begitu dengan permintaan untuk memperpanjang jam buka warung.
Untuk apa, kata pria itu. Toh sekitar jam 10 pagi dagangan saya sudah habis dan
hasilnya sudah cukup untuk menghidupi keluarga, begitu kilahnya. Seluruh
anaknya telah selesai kuliah dan ia bersama istri telah menunaikan ibadah haji.
Tak ada lagi yang perlu dicari. Hidupnya telah lengkap dan cukup.
Sosok yang disampaikan Radhar mengingatkan
saya kepada seorang bapak yang membantu pengendara kendaraan bermotor berputar
arah di salah satu daerah di Kartasura. Saat membagikan nasi berkat, salah satu
yang saya datangi adalah bapak tersebut yang menolak halus pemberian kami
dengan alasan sudah makan pagi tadi dan penghasilannya dalam sehari sudah cukup
untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Radhar menjelaskan gagasan ekonomi cukup
berangkat dari asumsi kerja yang dilakukan sebatas untuk memenuhi kebutuhan
hidup, bukan menuruti keinginan. Begitu kebutuhan terpenuhi, maka kerja yang
dilakukan dinilai cukup, tak perlu menambah beban dan jam kerja. Dengan gagasan
ini Radhar menyakini Kapitalisme akan runtuh dengan sendirinya karena
sebagaimana disampaikan Berger, Kapitalisme berangkat dari nafsu ketamakan
manusia yang tidak pernah puas. Kerja terus menerus dilakukan untuk
memperturutkan hawa nafsu menumpuk kekayaan yang berdampak pada eksploitasi
terhadap sesama manusia dan lingkungan.
Kembali merujuk kepada Peter Berger, tumbuhnya
Kapitalisme digawangi golongan borjuis dengan gaya hidup yang asketis, dengan
asumsi akumulasi modal hanya dapat dilakukan jika manusia memiliki sistem nilai
untuk hidup hemat. Pendapatannya diprioritaskan untuk ditabung, dan sebagiannya
lagi digunakan untuk menambah modal. Dengan demikian, kegiatan konsumsi harus
sedapat mungkin ditekan sampai batas minimal. Di sinilah peran sistem nilai
agama Protestan sebagai pembentuk gaya hidup borjuis, sebagaimana dinyatakan
Max Weber. Berger tidak sepenuhnya sependapat dengan Weber karena secara
historis, kemunculan Protestan di Jerman maupun Calvinisme di Inggris tidak
bisa dilepaskan dari campur tangan golongan borjuis yang sejak awal berhadapan
dengan kalangan aristokrat untuk memperebutkan posisi tertinggi dalam struktur
sosial masyarakat. Dengan kata lain Berger hendak mengatakan asketisme
Protestan maupun Calvin tidak dapat dielakkan merupakan tuntutan golongan
borjuis sebagai patron baru.
Berbeda dengan asketisme borjuis, Ramadhan
yang mengajarkan manusia untuk mendidik dirinya mengekang daya hewani untuk
memperturutkan daya akali, akan bermuara pada realisasi gagasan ekonomi cukup.
Bekerja untuk pemenuhan kebutuhan yang didorong kewajiban spiritual mencari
rizki yang halal serta berkah. Tidak saja kebutuhan diri dan keluarga, tetapi
juga kebutuhan kalangan lemah yang Tuhan titipkan kepada sebagian dari kita
sebagai ujian iman sekaligus jalan menuju tempat kembali yang baik.
Jika asketisme borjuis membawa pada sikap
tamak, maka Ramadhan mengajarkan manusia untuk merasa cukup, sebagaimana
penjual nasi uduk yang diceritakan Radhar dan bapak yang meniup peluit tanpa
mengenal cuaca untuk membantu pengendara berputar arah. Di dalam diri mereka,
Kapitalisme sama sekali tak mendapatkan ruang tumbuh. Maka, mari kita jadikan
momentum Ramadhan untuk mencapai kesempurnaan diri sebagai hamba yang qanaah,
wara, zuhud dan selalu bersyukur sebagai langkah awal mewujudkan kehidupan yang
dipenuhi rahmat Tuhan. Hidup yang bebas dari segala penindasan!**
___
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang
**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis (Andika Saputra) pada hari Ahad, 3 April 2022.
Editor: Ferdi
0 comments: