Senin, 04 April 2022

RAMADHAN DAN GAGASAN EKONOMI CUKUP

Sumber: jogjaaja.com


Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Hari pertama Ramadhan terlewati tanpa drama karena sepanjang hari aktivitas dominan di rumah saja. Keluar rumah hanya ke warung Bu Slamet dan ke masjid di belakang rumah yang jaraknya tidak sampai 50 meter. Perdana Ramadhan kami berbuka di rumah, karena masjid di permukiman baru akan menyelenggarakan buka bersama hari ini. Segelas teh hangat, 2 butir kurma, dan sepiring kecil nasi dengan lauk tahu tempe berteman sambal andalan Bunda, sudah dapat menuntaskan lapar dan dahaga hingga selesainya ibadah shalat Tarawih, bahkan menjelang tidur malam rasa kenyang masih bertahan.

Dipikir-pikir, ukuran lambung dan tenggorokan manusia memang kecil. Apalagi jika mengikuti teladan Rasul, sepertiga isi perut diperuntukkan untuk makanan, sepertiga lagi untuk minuman, dan sepertiga sisanya dikosongkan untuk bernafas, sehingga porsi untuk makan dan minum menjadi semakin sedikit. Hawa nafsulah yang menjadikan manusia senantiasa merasa tidak puas dan hendak menguasai segala sumber daya seakan-akan lambung dan tenggorokannya tak pernah merasa penuh.

Perenungan selepas waktu berbuka tadi langsung membawa saya pada gagasan ekonomi cukup yang disampaikan oleh Radhar Panca Dahana. Dalam buku yang diberinya judul serupa, Radhar menyampaikan sebuah kisah yang mencerminkan realisasi gagasannya tersebut. Seorang penjual nasi uduk di sebuah pasar tradisional di Jakarta yang telah berjualan barang dagangan yang sama di tempat yang sama berpuluh tahun, sebelum shubuh telah bersiap, sampai waktu dhuha dagangan digelar. Saat adzan dzuhur berkumandang, lelaki itu telah di rumah untuk beristirahat dan beribadah, menikmati sisa hari dengan tenang.

Tawaran untuk membuka cabang selalu ditolaknya, pun begitu dengan permintaan untuk memperpanjang jam buka warung. Untuk apa, kata pria itu. Toh sekitar jam 10 pagi dagangan saya sudah habis dan hasilnya sudah cukup untuk menghidupi keluarga, begitu kilahnya. Seluruh anaknya telah selesai kuliah dan ia bersama istri telah menunaikan ibadah haji. Tak ada lagi yang perlu dicari. Hidupnya telah lengkap dan cukup.

Sosok yang disampaikan Radhar mengingatkan saya kepada seorang bapak yang membantu pengendara kendaraan bermotor berputar arah di salah satu daerah di Kartasura. Saat membagikan nasi berkat, salah satu yang saya datangi adalah bapak tersebut yang menolak halus pemberian kami dengan alasan sudah makan pagi tadi dan penghasilannya dalam sehari sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Radhar menjelaskan gagasan ekonomi cukup berangkat dari asumsi kerja yang dilakukan sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup, bukan menuruti keinginan. Begitu kebutuhan terpenuhi, maka kerja yang dilakukan dinilai cukup, tak perlu menambah beban dan jam kerja. Dengan gagasan ini Radhar menyakini Kapitalisme akan runtuh dengan sendirinya karena sebagaimana disampaikan Berger, Kapitalisme berangkat dari nafsu ketamakan manusia yang tidak pernah puas. Kerja terus menerus dilakukan untuk memperturutkan hawa nafsu menumpuk kekayaan yang berdampak pada eksploitasi terhadap sesama manusia dan lingkungan.

Kembali merujuk kepada Peter Berger, tumbuhnya Kapitalisme digawangi golongan borjuis dengan gaya hidup yang asketis, dengan asumsi akumulasi modal hanya dapat dilakukan jika manusia memiliki sistem nilai untuk hidup hemat. Pendapatannya diprioritaskan untuk ditabung, dan sebagiannya lagi digunakan untuk menambah modal. Dengan demikian, kegiatan konsumsi harus sedapat mungkin ditekan sampai batas minimal. Di sinilah peran sistem nilai agama Protestan sebagai pembentuk gaya hidup borjuis, sebagaimana dinyatakan Max Weber. Berger tidak sepenuhnya sependapat dengan Weber karena secara historis, kemunculan Protestan di Jerman maupun Calvinisme di Inggris tidak bisa dilepaskan dari campur tangan golongan borjuis yang sejak awal berhadapan dengan kalangan aristokrat untuk memperebutkan posisi tertinggi dalam struktur sosial masyarakat. Dengan kata lain Berger hendak mengatakan asketisme Protestan maupun Calvin tidak dapat dielakkan merupakan tuntutan golongan borjuis sebagai patron baru.

Berbeda dengan asketisme borjuis, Ramadhan yang mengajarkan manusia untuk mendidik dirinya mengekang daya hewani untuk memperturutkan daya akali, akan bermuara pada realisasi gagasan ekonomi cukup. Bekerja untuk pemenuhan kebutuhan yang didorong kewajiban spiritual mencari rizki yang halal serta berkah. Tidak saja kebutuhan diri dan keluarga, tetapi juga kebutuhan kalangan lemah yang Tuhan titipkan kepada sebagian dari kita sebagai ujian iman sekaligus jalan menuju tempat kembali yang baik.

Jika asketisme borjuis membawa pada sikap tamak, maka Ramadhan mengajarkan manusia untuk merasa cukup, sebagaimana penjual nasi uduk yang diceritakan Radhar dan bapak yang meniup peluit tanpa mengenal cuaca untuk membantu pengendara berputar arah. Di dalam diri mereka, Kapitalisme sama sekali tak mendapatkan ruang tumbuh. Maka, mari kita jadikan momentum Ramadhan untuk mencapai kesempurnaan diri sebagai hamba yang qanaah, wara, zuhud dan selalu bersyukur sebagai langkah awal mewujudkan kehidupan yang dipenuhi rahmat Tuhan. Hidup yang bebas dari segala penindasan!**

___

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang

**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis (Andika Saputra) pada hari Ahad, 3 April 2022. 

Editor: Ferdi

Sebelumnya
Next Post

0 comments: