Picture by : IDEApers
Oleh : Andika Saputra, S.T., M.Sc*
Pada tulisan yang dimuat di website seedinstitute.net sebelumnya, saya menyoroti peran kalangan awam sebagai subjek aktif yang memiliki hak dengan peran mengawasi perkembangan sains dan kajian keagamaan serta gerakan dakwah agama agar relevan dengan kebutuhan masyarakat luas dan tanggap dengan tantangan kehidupan.
Saya hendak menggarisbawahi, peran kalangan awam berikut dengan hak yang dapat dituntutnya dari kalangan ahli, tidak menjadi kalangan awam dapat keluar dari lingkup keawamannya. Islam memiliki pandangan alam terhadap realitas yang bersifat hirarkis, sehingga tidaklah sama atau sederajat kedudukan antara kalangan ahli dan awam. Keduanya memiliki tempat dan posisi yang berbeda dalam struktur sosial masyarakat Islam dengan batas-batas hirarkis yang jelas antara keduanya. Dengan kata lain, area kalangan ahli secara konseptual terpisah dari kalangan awam, begitu pun sebaliknya, kalangan awam tidak dibenarkan memasuki area kalangan ahli.
Kalangan awam melangsungkan perannya terkait kerja keilmuan para ilmuwan maupun agamawan dari wilayahnya, tanpa memasuki area kalangan ahli. Penjagaan terhadap batas-batas ini harus dilakukan untuk menghindari terjadinya kematian kepakaran sebagaimana diulas dengan apik oleh Tom Nichols dalam bukunya yang populer berjudul the Death of Expertise. Kematian kepakaran yang juga berarti kematian bagi para pakar, dalam analisa Tom Nichols salah satunya, selain merebaknya pseudosains, ialah disebabkan oleh kalangan awam yang berlagak layaknya seorang ahli dengan modal keterbukaan informasi.
Di sisi lain, menambahkan analisis Nichols, kematian para pakar juga tidak dapat dilepaskan dari perilaku kalangan ahli sendiri yang secara sosiologis dan kultural mengambil jarak dari masyarakat luas. Jarak antara kedua kalangan semakin menganga lebar disebabkan tidak terjalinnya komunikasi dua arah. Para ahli di bidang sains maupun keagamaan sibuk berkomunikasi di antara internal kalangannya melalui media jurnal, seminar, konferensi, majelis, dan semisalnya, tanpa sama sekali menjalin komunikasi sains populer dengan berbagai media dan bahasa sehari-hari yang dapat diakses oleh masyarakat luas.
Namun demikian, dalam perspektif Islam, kalangan awam tidak selamanya berstatus awam hingga akhir hayatnya. Islam membuka pintu yang lebar untuk melakukan mobilisasi vertikal kelas intelektual dalam struktur sosial masyarakat Islam dengan menjadi kalangan ahli melalui proses pendidikan, meskipun berasal dari kalangan ekonomi lemah yang dalam masyarakat Islam tetap dapat melakukan mobilisasi vertikal dengan berbagai sokongan institusi sosial ekonomi, diantaranya zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf.
Yang perlu dicatat, inklusivitas struktur sosial masyarakat Islam tidak hanya berlaku bagi kalangan muda dan pria. Bagi kalangan wanita dan manula pun memiliki kesempatan yang sama sebab seluruh umat Islam yang telah akil baligh, tanpa memandang jenis kelamin, ras, maupun etniknya, memiliki tanggungjawab untuk menuntut ilmu hingga tubuhnya tak lagi bernafas dan dikuburkan di liang lahad. Karena itu tidak sedikit kita mengenal para ahli dari kalangan wanita sejak awal sejarah masyarakat Islam hingga pada masa dunia kontemporer.
Selain itu, inklusivitas struktur sosial masyarakat Islam merupakan keniscayaan dari peran kalangan ahli yang menempati kelas teratas untuk meningkatkan kesadaran beragama kalangan awam, sehingga dapat menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan keseharian. Dengan demikian, kalangan awam dalam Islam bukanlah kalangan yang benar-benar kosong, tanpa pemahaman, dan sama sekali tidak memahami ilmu. Paling tidak terdapat dua ilmu yang harus dikuasai kalangan awam dari umat Islam. Yang pertama ialah ilmu untuk mengetahui siapa kalangan ahli dan siapa yang bukan, sehingga dengan ilmu ini kalangan awam dapat mengikuti pendapat dan belajar dari para ahli. kedua adalah ilmu fardhu ain yang wajib dikuasai oleh setiap diri Muslim, termasuk kalangan awam, yang tidak dapat diwakilkan kepada pihak lain, semisal ilmu berkaitan dengan aqidah dan ibadah mahdhah.
Peran kalangan ahli dan kalangan awam yang ditopang dengan karakter struktur sosial yang inklusif, menjadikan masyarakat Islam bersifat stabil, dalam arti memiliki mekanisme untuk menghindari terjadinya matinya kepakaran, yakni dengan konsep adil yang menuntut setiap Muslim menginsafi kedudukan dirinya dalam masyarakat Islam dengan benar dan tepat. Dengan begitu sikap tahu diri menjadi kunci yang dimiliki umat Islam untuk menjaga keberlangsungan masyarakatnya yang dikenal dengan karakter masyarakat ilmu. Tanpa keinsafan ini, runtuhlah masyarakat sebagaimana saat ini sedang dialami berbagai komunitas manusia!
----
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang
Editor : Alfrisa Ica
0 comments: