Jumat, 01 April 2022

MEMBANGUNKAN KAKI MEJA DI TENGAH GELARAN PESTA PORA

Sumber: Facebook Andika Saputra

Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Pada tulisan sebelumnya saya sudah mengulas bagaimana cara membangunkan massa yang menjadi kaki meja dalam pesta pora yang digelar dan dinikmati kelas atas dari kalangan pemodal, politisi, maupun pimpinan partai. Baik jalan revolusi maupun evolusi, para pemikir dan cendikiawan sepakat upaya membangunkan kaki meja merupakan peran kelas intelektual dengan berbagai konsepnya, meliputi rausyan fikr, intelektual profetik, intelektual organik, creative minority, umat kecil, dan lain sebagainya.

Peran tersebut baru dapat direalisasikan kalangan intelektual dengan syarat dimilikinya kebebasan dan kemerdekaan. Tidak mungkin membangunkan massa dilakukan oleh intelektual yang juga menjadi bagian dari kaki meja. Dalam kalimat yang lebih kasar budak tidak bisa dibebaskan oleh sesama budak. Dengan kata lain, seseorang yang menjadikan intelektual sebagai profesi untuk mendapatkan pendapatan ekonomi, di antaranya intelektual proyekan dan pekerja intelektual, tidak akan mampu menjadi pembebas kalangan bawah, kecuali ia mampu melawan atasan dan pemberi dana, serta berjuang dalam sistem yang menindas kebebasan dan kemerdekaannya.

Ron Eyerman dalam bukunya yang telah diterjemah dalam bahasa Indonesia berjudul Cendikiawan: Antara Politik dan Kebudayaan menyoroti genealogi tumbuhnya kelas intelektual di Dunia Barat yang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan penguasa politik maupun pemodal. Fenomena terkini yang diberinya istilah cendikiawan kritis pun tidak bisa lepas dari konteks tersebut yang memaksa kalangan ini berdiri di dua kaki yang berbeda. Untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, ia terpaksa bekerja pada suatu institusi sebagai dosen, peneliti, maupun profesional. Di kaki yang lain, ia bergabung pada komunitas nonformal atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) untuk menyampaikan pandangan dan sikap kritisnya sebagai intelektual yang bebas dan merdeka. Kita tidak tahu, apa kelompok ini akan mampu membangkitkan massa karena kemungkinan besar akan mengalami benturan kepentingan antara pendapatan ekonomi dan perjuangannya sebagai intelektual.

Lalu apa gagasan yang kita miliki untuk menjadikan intelektual sebagai kelas yang bebas sehingga mampu merealisasikan perannya membangunkan kaki meja? Apa yang dimiliki Islam terkait hal tersebut?

Pertama, merujuk pada kedudukan ilmu dan ahli ilmu dalam perspektif Islam, sehingga menjadikan budaya ilmu sebagai ciri khas kehidupan umat Islam, sudah seharusnya para ilmuwan, saintis, agamawan, maupun ulama secara umum ditetapkan sebagai kelas sosial yang menempati kedudukan paling mulia dalam struktur sosial masyarakat Islam, bukan sebagai kategori profesi yang menjadikan peran tersebut sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Dengan begitulah maka seorang ilmuwan sebagai peran sosial bisa saja berprofesi sebagai pengusaha, ini contoh saja sebagaimana dilakukan para ulama terdahulu.

Kedua, agar kelas intelektual dapat bebas dan merdeka, sehingga mampu merealisasikan perannya tanpa beban yang memberatkan, maka ia harus terpenuhi kebutuhan ekonominya. Dalam konteks tersebut Syaikh Yusuf Qaradhawi menyatakan seorang ahli ilmu dan penuntut ilmu memiliki hak atas zakat, infak, maupun sedekah. Dengan kata lain, sebagai kelas sosial tertinggi, segala kebutuhan hidup kalangan intelektual ditanggung dan dipenuhi oleh masyarakatnya. Pandangan itu tentu saja relevan untuk Indonesia dengan jumlah umat Islam terbanyak di dunia sehingga memiliki potensi ZIS yang sangat besar untuk membebaskan dan memerdekakan kalangan ini.

Dari sini saya hendak bergerak lebih jauh lagi dengan bertanya, apa dimungkinkan mendirikan sebuah perusahaan dengan modal yang berstatus wakaf? Jika bisa, apakah perusahaan tersebut juga berstatus wakaf? Kalau dimungkinkan dalam perspektif Islam dan dimilikinya kecukupan sumber daya untuk merealisasikannya, maka umat Islam memiliki jalan untuk membebaskan kelas intelektual dari struktur yang memperbudaknya menjadi kaki meja. Konsekuensi lebih jauh lagi, gagasan ini akan menempatkan modal di bawah otoritas kelas intelektual, tidak di bawah otoritas kelas pemodal sebagaimana Kapitalisme maupun di bawah kuasa negara melalui biro partai sebagaimana Komunisme.

Dengan gagasan ini pula, sekali lagi jika sesuai dengan ajaran Islam dan mampu direalisasikan, umat Islam berpeluang memenangkan percaturan di tengah zaman industri di mana kekuasaan korporasi jauh mengangkangi negara. Merujuk kepada Dawam Rahardjo, dibutuhkan modal finansial, intelektual, dan pasar untuk menjadi pemain industri. Dengan modal wakaf dan kelas intelektual yang bebas, dua syarat telah terpenuhi. Sedangkan syarat terakhir sangat bergantung dari kemampuan mengelola jumlah besar umat Islam di Indonesia untuk menciptakan pasar mandiri.

Saya membayangkan terpenuhinya tiga syarat tadi di bawah otoritas kelas intelektual akan mampu memberangus Kapitalisme yang berarti pula membebaskan kalangan bawah menjadi kaki meja. Dengan kata lain, berakhirlah pesta pora kalangan penindas!

___

Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis pada hari Kamis, 31 Maret 2022.

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang

Editor: Ferdi

Sebelumnya
Next Post

0 comments: