Sumber: Facebook Andika Saputra |
Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*
Pada tulisan sebelumnya saya
sudah mengulas bagaimana cara membangunkan massa yang menjadi kaki meja dalam
pesta pora yang digelar dan dinikmati kelas atas dari kalangan pemodal,
politisi, maupun pimpinan partai. Baik jalan revolusi maupun evolusi, para
pemikir dan cendikiawan sepakat upaya membangunkan kaki meja merupakan peran
kelas intelektual dengan berbagai konsepnya, meliputi rausyan fikr,
intelektual profetik, intelektual organik, creative minority, umat kecil, dan
lain sebagainya.
Peran tersebut baru dapat
direalisasikan kalangan intelektual dengan syarat dimilikinya kebebasan dan
kemerdekaan. Tidak mungkin membangunkan massa dilakukan oleh intelektual yang
juga menjadi bagian dari kaki meja. Dalam kalimat yang lebih kasar budak tidak
bisa dibebaskan oleh sesama budak. Dengan kata lain, seseorang yang menjadikan
intelektual sebagai profesi untuk mendapatkan pendapatan ekonomi, di antaranya
intelektual proyekan dan pekerja intelektual, tidak akan mampu menjadi pembebas
kalangan bawah, kecuali ia mampu melawan atasan dan pemberi dana, serta
berjuang dalam sistem yang menindas kebebasan dan kemerdekaannya.
Ron Eyerman dalam bukunya yang telah
diterjemah dalam bahasa Indonesia berjudul Cendikiawan: Antara Politik dan
Kebudayaan menyoroti genealogi tumbuhnya kelas intelektual di Dunia Barat yang
tidak bisa dilepaskan dari kepentingan penguasa politik maupun pemodal.
Fenomena terkini yang diberinya istilah cendikiawan kritis pun tidak bisa lepas
dari konteks tersebut yang memaksa kalangan ini berdiri di dua kaki yang
berbeda. Untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, ia terpaksa bekerja pada suatu
institusi sebagai dosen, peneliti, maupun profesional. Di kaki yang lain, ia
bergabung pada komunitas nonformal atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) untuk menyampaikan pandangan dan
sikap kritisnya sebagai intelektual yang bebas dan merdeka. Kita tidak tahu,
apa kelompok ini akan mampu membangkitkan massa karena kemungkinan besar akan
mengalami benturan kepentingan antara pendapatan ekonomi dan perjuangannya
sebagai intelektual.
Lalu apa gagasan yang kita miliki
untuk menjadikan intelektual sebagai kelas yang bebas sehingga mampu
merealisasikan perannya membangunkan kaki meja? Apa yang dimiliki Islam terkait
hal tersebut?
Pertama, merujuk pada kedudukan ilmu
dan ahli ilmu dalam perspektif Islam, sehingga menjadikan budaya ilmu sebagai
ciri khas kehidupan umat Islam, sudah seharusnya para ilmuwan, saintis,
agamawan, maupun ulama secara umum ditetapkan sebagai kelas sosial yang
menempati kedudukan paling mulia dalam struktur sosial masyarakat Islam, bukan
sebagai kategori profesi yang menjadikan peran tersebut sebagai cara untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi. Dengan begitulah maka seorang ilmuwan sebagai peran
sosial bisa saja berprofesi sebagai pengusaha, ini contoh saja sebagaimana
dilakukan para ulama terdahulu.
Kedua, agar kelas intelektual dapat
bebas dan merdeka, sehingga mampu merealisasikan perannya tanpa beban yang
memberatkan, maka ia harus terpenuhi kebutuhan ekonominya. Dalam konteks
tersebut Syaikh Yusuf Qaradhawi menyatakan seorang ahli ilmu dan penuntut ilmu
memiliki hak atas zakat, infak, maupun sedekah. Dengan kata lain, sebagai
kelas sosial tertinggi, segala kebutuhan hidup kalangan intelektual ditanggung
dan dipenuhi oleh masyarakatnya. Pandangan itu tentu saja relevan untuk
Indonesia dengan jumlah umat Islam terbanyak di dunia sehingga memiliki potensi
ZIS yang sangat besar untuk membebaskan dan memerdekakan kalangan ini.
Dari sini saya hendak bergerak lebih
jauh lagi dengan bertanya, apa dimungkinkan mendirikan sebuah perusahaan dengan
modal yang berstatus wakaf? Jika bisa, apakah perusahaan tersebut juga
berstatus wakaf? Kalau dimungkinkan dalam perspektif Islam dan dimilikinya
kecukupan sumber daya untuk merealisasikannya, maka umat Islam memiliki jalan
untuk membebaskan kelas intelektual dari struktur yang memperbudaknya menjadi
kaki meja. Konsekuensi lebih jauh lagi, gagasan ini akan menempatkan modal di
bawah otoritas kelas intelektual, tidak di bawah otoritas kelas pemodal
sebagaimana Kapitalisme maupun di bawah kuasa negara melalui biro partai
sebagaimana Komunisme.
Dengan gagasan ini pula, sekali lagi
jika sesuai dengan ajaran Islam dan mampu direalisasikan, umat Islam berpeluang
memenangkan percaturan di tengah zaman industri di mana kekuasaan korporasi
jauh mengangkangi negara. Merujuk kepada Dawam Rahardjo, dibutuhkan modal
finansial, intelektual, dan pasar untuk menjadi pemain industri. Dengan modal
wakaf dan kelas intelektual yang bebas, dua syarat telah terpenuhi. Sedangkan
syarat terakhir sangat bergantung dari kemampuan mengelola jumlah besar umat
Islam di Indonesia untuk menciptakan pasar mandiri.
Saya membayangkan terpenuhinya tiga
syarat tadi di bawah otoritas kelas intelektual akan mampu memberangus
Kapitalisme yang berarti pula membebaskan kalangan bawah menjadi kaki meja.
Dengan kata lain, berakhirlah pesta pora kalangan penindas!
___
Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis pada hari Kamis, 31 Maret 2022.
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang
Editor: Ferdi
0 comments: