Jumat, 01 April 2022

MEMBANGKITKAN MASSA, BAGAIMANA CARANYA?

Sumber: Twitter Mr Zhang (@zhangjoren)

Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Gambar ini disebarluaskan oleh pertemanan FB, yang kemudian saya simpan dari salah satunya. Pada gambar terlihat kalangan atas sedang berpesta pora, tanpa sedikit pun memperhatikan, walau cuma melirik, kalangan bawah yang menjadi kaki meja tempat mereka meletakkan suguhan. Eksploitasi kalangan atas terhadap kalangan bawah untuk mendapatkan hidup serba berlebih ialah pesan yang hendak disampaikan, karena pada gambar termuat tulisan "jika mereka yang menjadi kaki meja berdiri, maka berakhirlah pesta yang sedang berlangsung" (If the people stand the party is over). Dengan kata lain, eksploitasi hanya terhenti jika kalangan bawah sadar atas kondisi mereka yang senantiasa diperas untuk kepentingan kelas atas, kemudian melakukan perlawanan.

Yang menjadi pertanyaan, dan sama sekali tidak ditanyakan apalagi diulas oleh pertemanan FB yang membagikan gambar ini adalah, bagaimana cara membangunkan massa yang sedang menjadi kaki meja agar mereka sadar dan melakukan perlawanan? Lalu, perlawanan seperti apa yang harus dilakukan untuk mengakhiri pesta pora?

Jika merujuk pada Marxisme ortodoks, penyadaran dilakukan oleh partai hingga amarah massa mencapai puncak untuk dibenturkan dengan kalangan atas. Clash of class adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri eksploitasi yang ditindaklanjuti dengan merebut paksa harta kekayaan dan aset kalangan kaya. Paham ini menghendaki perubahan dalam waktu cepat melalui revolusi, walaupun untuk itu harus mengorbankan tidak sedikit jiwa manusia. Itulah harga yang pantas untuk perubahan, kira-kira begitu.

Ali Syariati pun berpandangan yang sama, revolusi adalah cara paling cepat untuk mengakhiri kekuasaan Shah yang merupakan boneka Amerika Serikat. Asghar Ali Engineer memaparkan jalan yang ditempuh Syariati tidak langsung berhadapan dengan massa untuk menggerakkan mereka, tetapi dengan menyadarkan kalangan terdidik agar terjadi gerakan perlawanan yang dipelopori kalangan cerdik pandai, sehingga kobaran api yang disulut dari kampus dapat membakar massa dengan cepat. Namun patut disayangkan, setelah memuji kiprah Ali Syariati, Asghar Ali tak menunjukkan cara membangunkan massa yang sedang lelap tertidur dalam rumusan teologi pembebasan versi Islam yang ditawarkannya.

Revolusi sudah pasti tidak akan disetujui Peter Berger, baik untuk menumbangkan Komunisme maupun Kapitalisme yang keduanya sama-sama eksploitatif terhadap kalangan bawah. Komunisme dan Kapitalisme tak beda sebab menempatkan kalangan bawah sebatas objek mati yang dapat diperlakukan sesukanya oleh kalangan atas yang ditempati pemodal dan pimpinan partai. Sehingga di bawah Kapitalisme, kalangan bawah menderita kelaparan hingga berujung kematian, sedangkan oleh Komunisme, kalangan bawah yang tidak patuh akan didor tanpa belas kasihan. Melihat realitas kehidupan di negara maju hasil sistem Kapitalisme, dan Rusia yang menganut Komunisme, Berger menghendaki perubahan dengan syarat human cost (korban manusia, red.) seminimal mungkin, bahkan kalau memungkinkan sama sekali tanpa mengorbankan satu pun jiwa manusia. Tetapi Berger dalam bukunya berjudul Pyramids of Sacrifice tidak menjelaskan lebih jauh apa yang harus dilakukan selain kebijakan politik yang melibatkan nurani dan empati serta didukung data yang mumpuni.

Paulo Freire lebih konkret dengan menggelar pendidikan untuk kaum tertindas di Brasil dengan mengajarkan baca dan tulis kepada kalangan dewasa agar dapat bersikap kritis seiring tumbuhnya kesadaran. Dengan begitu, kalangan bawah yang selama ini ditindas akan dapat terlibat dalam proses politik untuk memperjuangkan diri mereka meraih kebebasan dan kehormatannya sebagai manusia.

Terakhir, saya akan mengulas gagasan Kuntowijoyo yang juga tidak menyetujui jalan revolusi. Bagi Kunto, perubahan harus dilakukan secara evolutif, perlahan-lahan dan bersifat gradual. Hanya dengan cara tersebut human cost dapat diminimalkan, bahkan ditiadakan. Kunto mendaulat intelektual profetik, yakni kalangan cerdik pandai yang dilahirkan dari masjid kampus sebagai agen transformasi yang senantiasa berada di tengah masyarakat untuk melakukan kajian, menetapkan agenda, melakukan penyadaran, dan menggerakkan masyarakatnya untuk bergerak sebagai aktor, subyek yang hidup. Alat untuk melakukan perubahan itulah yang diberi istilah Ilmu Sosial Profetik oleh Kunto.

Berbeda dengan Marxisme, Kunto menolak clash of class untuk membubarkan pesta. The ruling class yang terdiri dari pemodal dan politisi busuk memang musuh, tetapi tidak boleh dihabisi karena bertentangan dengan nilai Islam. Kelas penindas justru harus dihadapi agar mereka bertaubat, sehingga turut terlibat dalam agenda transformasi dengan aliran deras modal dan kebijakan politik yang mendukung. Caranya adalah dengan mempersiapkan kalangan intelektual yang merembes secara vertikal untuk menguasai struktur.

Begitu pula, Kunto walaupun terpengaruh Berger, tetapi tidak sepenuhnya sepakat kalau perubahan harus dilakukan secara politis melalui pendekatan top-down (dari atas ke bawah, red.). Kunto yakin, intelektual profetik yang merembes secara horisontal, sehingga hadir di mana-mana dan selalu membersamai masyarakat, akan dapat menggulirkan perubahan dari akar rumput. Dengan kata lain, berdirinya kalangan bawah yang menjadi kaki meja tidak dapat dilepaskan dari peran intelektual profetik yang mengambil posisi sebagai pembela mereka yang tertindas, sebaimana diteladankan Nabi.

Meminjam istilah yang diperkenalkan Arnold Toynbee, intelektual profetik yang dimaksud Kunto ialah creative minority yang mempelopori transformasi dengan menghadapi berbagai hambatan yang ditakuti kalangan massa untuk bangkit dan melakukan perlawanan. Secara psikologis, massa sudah nyaman, paling tidak terpaksa merasa nyaman dengan hidupnya, walaupun senantiasa mengalami penindasan. Berger menyatakan, massa bisa menerima penindasan, walaupun bisa jadi mereka tidak menyetujuinya. Di sisi lain, perubahan bagi massa bagaikan guliran dadu yang sangat kecil peluang untuk dimenangkan.

Oleh karena itu, kelahiran intelektual profetik bermula dari umat kecil, istilah yang diberikan Kunto untuk komunitas civitas akademika yang menjadikan masjid kampus sebagai pusat gerakan. Dari ruang spiritual itulah perlawanan dari langit dan dari bumi digencarkan hingga meraih kemenangan dengan mulia atau syahid di penghujung nafas!

___

Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis pada hari Ahad, 27 Maret 2022.

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang

Editor: Ferdi

Sebelumnya
Next Post

0 comments: