Sumber: Twitter Mr Zhang (@zhangjoren) |
Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*
Gambar ini disebarluaskan oleh
pertemanan FB, yang kemudian saya simpan dari salah satunya. Pada gambar
terlihat kalangan atas sedang berpesta pora, tanpa sedikit pun memperhatikan,
walau cuma melirik, kalangan bawah yang menjadi kaki meja tempat mereka meletakkan
suguhan. Eksploitasi kalangan atas terhadap kalangan bawah untuk mendapatkan
hidup serba berlebih ialah pesan yang hendak disampaikan, karena pada gambar
termuat tulisan "jika mereka yang menjadi kaki meja berdiri, maka
berakhirlah pesta yang sedang berlangsung" (If the people stand the party is over). Dengan kata lain, eksploitasi
hanya terhenti jika kalangan bawah sadar atas kondisi mereka yang senantiasa
diperas untuk kepentingan kelas atas, kemudian melakukan perlawanan.
Yang menjadi pertanyaan, dan sama
sekali tidak ditanyakan apalagi diulas oleh pertemanan FB yang membagikan
gambar ini adalah, bagaimana cara membangunkan massa yang sedang menjadi kaki
meja agar mereka sadar dan melakukan perlawanan? Lalu, perlawanan seperti apa
yang harus dilakukan untuk mengakhiri pesta pora?
Jika merujuk pada Marxisme ortodoks,
penyadaran dilakukan oleh partai hingga amarah massa mencapai puncak untuk
dibenturkan dengan kalangan atas. Clash of class adalah satu-satunya jalan
untuk mengakhiri eksploitasi yang ditindaklanjuti dengan merebut paksa harta
kekayaan dan aset kalangan kaya. Paham ini menghendaki perubahan dalam waktu
cepat melalui revolusi, walaupun untuk itu harus mengorbankan tidak sedikit
jiwa manusia. Itulah harga yang pantas untuk perubahan, kira-kira begitu.
Ali Syariati pun berpandangan yang
sama, revolusi adalah cara paling cepat untuk mengakhiri kekuasaan Shah yang
merupakan boneka Amerika Serikat. Asghar Ali Engineer memaparkan jalan yang
ditempuh Syariati tidak langsung berhadapan dengan massa untuk menggerakkan
mereka, tetapi dengan menyadarkan kalangan terdidik agar terjadi gerakan
perlawanan yang dipelopori kalangan cerdik pandai, sehingga kobaran api yang
disulut dari kampus dapat membakar massa dengan cepat. Namun patut disayangkan,
setelah memuji kiprah Ali Syariati, Asghar Ali tak menunjukkan cara
membangunkan massa yang sedang lelap tertidur dalam rumusan teologi pembebasan
versi Islam yang ditawarkannya.
Revolusi sudah pasti tidak akan
disetujui Peter Berger, baik untuk menumbangkan Komunisme maupun Kapitalisme
yang keduanya sama-sama eksploitatif terhadap kalangan bawah. Komunisme dan
Kapitalisme tak beda sebab menempatkan kalangan bawah sebatas objek mati yang
dapat diperlakukan sesukanya oleh kalangan atas yang ditempati pemodal dan
pimpinan partai. Sehingga di bawah Kapitalisme, kalangan bawah menderita
kelaparan hingga berujung kematian, sedangkan oleh Komunisme, kalangan bawah
yang tidak patuh akan didor tanpa belas kasihan. Melihat realitas kehidupan di
negara maju hasil sistem Kapitalisme, dan Rusia yang menganut Komunisme, Berger
menghendaki perubahan dengan syarat human cost (korban manusia, red.) seminimal mungkin, bahkan kalau
memungkinkan sama sekali tanpa mengorbankan satu pun jiwa manusia. Tetapi
Berger dalam bukunya berjudul Pyramids of Sacrifice tidak menjelaskan lebih
jauh apa yang harus dilakukan selain kebijakan politik yang melibatkan nurani
dan empati serta didukung data yang mumpuni.
Paulo Freire lebih konkret dengan
menggelar pendidikan untuk kaum tertindas di Brasil dengan mengajarkan baca dan
tulis kepada kalangan dewasa agar dapat bersikap kritis seiring tumbuhnya
kesadaran. Dengan begitu, kalangan bawah yang selama ini ditindas akan dapat
terlibat dalam proses politik untuk memperjuangkan diri mereka meraih kebebasan
dan kehormatannya sebagai manusia.
Terakhir, saya akan mengulas gagasan
Kuntowijoyo yang juga tidak menyetujui jalan revolusi. Bagi Kunto, perubahan
harus dilakukan secara evolutif, perlahan-lahan dan bersifat gradual. Hanya
dengan cara tersebut human cost dapat diminimalkan, bahkan ditiadakan. Kunto
mendaulat intelektual profetik, yakni kalangan cerdik pandai yang dilahirkan
dari masjid kampus sebagai agen transformasi yang senantiasa berada di tengah
masyarakat untuk melakukan kajian, menetapkan agenda, melakukan penyadaran, dan
menggerakkan masyarakatnya untuk bergerak sebagai aktor, subyek yang hidup.
Alat untuk melakukan perubahan itulah yang diberi istilah Ilmu Sosial Profetik
oleh Kunto.
Berbeda dengan Marxisme, Kunto
menolak clash of class untuk membubarkan pesta. The ruling class yang terdiri
dari pemodal dan politisi busuk memang musuh, tetapi tidak boleh dihabisi
karena bertentangan dengan nilai Islam. Kelas penindas justru harus dihadapi
agar mereka bertaubat, sehingga turut terlibat dalam agenda transformasi dengan
aliran deras modal dan kebijakan politik yang mendukung. Caranya adalah dengan
mempersiapkan kalangan intelektual yang merembes secara vertikal untuk menguasai
struktur.
Begitu pula, Kunto walaupun
terpengaruh Berger, tetapi tidak sepenuhnya sepakat kalau perubahan harus
dilakukan secara politis melalui pendekatan top-down (dari atas ke bawah, red.). Kunto yakin, intelektual
profetik yang merembes secara horisontal, sehingga hadir di mana-mana dan
selalu membersamai masyarakat, akan dapat menggulirkan perubahan dari akar
rumput. Dengan kata lain, berdirinya kalangan bawah yang menjadi kaki meja
tidak dapat dilepaskan dari peran intelektual profetik yang mengambil posisi
sebagai pembela mereka yang tertindas, sebaimana diteladankan Nabi.
Meminjam istilah yang diperkenalkan
Arnold Toynbee, intelektual profetik yang dimaksud Kunto ialah creative
minority yang mempelopori transformasi dengan menghadapi berbagai hambatan yang
ditakuti kalangan massa untuk bangkit dan melakukan perlawanan. Secara
psikologis, massa sudah nyaman, paling tidak terpaksa merasa nyaman dengan
hidupnya, walaupun senantiasa mengalami penindasan. Berger menyatakan, massa
bisa menerima penindasan, walaupun bisa jadi mereka tidak menyetujuinya. Di
sisi lain, perubahan bagi massa bagaikan guliran dadu yang sangat kecil peluang
untuk dimenangkan.
Oleh karena itu, kelahiran
intelektual profetik bermula dari umat kecil, istilah yang diberikan Kunto
untuk komunitas civitas akademika yang menjadikan masjid kampus sebagai pusat
gerakan. Dari ruang spiritual itulah perlawanan dari langit dan dari bumi
digencarkan hingga meraih kemenangan dengan mulia atau syahid di penghujung
nafas!
___
Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis pada hari Ahad, 27 Maret 2022.
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang
Editor: Ferdi
0 comments: