Sumber: Facebook Andika Saputra |
Oleh: Andika Saputra,
S.T., M.Sc.*
Sepekan ini media sosial FB di lini masa saya
marak membincangkan dengan nada pro dan kontra terkait peristiwa pembacaan
Al-Qur'an di Malioboro, Yogyakarta, dan Shalat Tarawih yang diselenggarakan di
Times Square, New York, Amerika Serikat yang keduanya dihadiri oleh sekitar
1.000 orang umat Islam.
Kedua peristiwa tadi, walaupun terjadi di dua
tempat dan waktu yang berbeda, memiliki kesamaan. Pertama, keduanya merupakan
kegiatan yang bermuatan spiritualitas Islam dan merupakan realisasi dari
keimanan umat Islam. Kedua, dua peristiwa terjadi di ruang ekonomi yang menjadi
pusat dan ikon masing-masing wilayah. Times Square merupakan pusat perekonomian
New York sebagaimana Malioboro adalah ikon ekonomi Yogyakarta.
Dalam pandangan arus utama, modernisasi
melalui industrialisasi mensyaratkan diterapkannya paham Sekularisme dalam
kehidupan masyarakat. Dengan begitu ruang ekonomi sepenuhnya menjadi bersifat
profan, terputus hubungan dari ruang sakral, sehingga kegiatan ekonomi dapat
dilangsungkan dengan sepenuhnya bergantung pada mekanisme pasar, tanpa
keterlibatan apalagi pembatasan dan kekangan dari nilai agama yang berasal dari
Tuhan. Dari sinilah munculnya persepsi bahwasanya tabu dicampurinya urusan jual
beli yang duniawi dengan aktivitas keagamaan yang sakral. Tidak ada tempat yang
lebih pantas untuk mewadahi kegiatan keagamaan selain di ruang peribadatan,
dalam peristiwa ini ialah masjid.
Ruang ekonomi yang sepenuhnya kosong dari
spiritualitas dan otoritas agama adalah yang dimaksud sebagai ruang yang paling
dibenci oleh Tuhan dalam suatu kota, sebagaimana termuat dalam salah satu
Hadits Rasul. Sebabnya, kegiatan perekonomian yang menyangkut hajat hidup
masyarakat luas, jika dipisahkan dari ketentuan dan aturan dari Tuhan yang
termuat dalam agama akan berpotensi terjadinya eksploitasi yang merugikan salah
satu pihak, yakni pembeli atau pedagang. Lebih jauh lagi, eksploitasi merembet
hingga menyebabkan kesenjangan kelas ekonomi yang semakin jauh.
Spasialisasi agama di ruangnya sendiri sebagai akibat penerapan paham
Sekularisme dalam kehidupan, menurut Kuntowijoyo dalam bukunya berjudul Budaya
dan Masyarakat, adalah biang terjadinya dampak buruk dari proses
modernisasi yang terjadi melalui industrialisasi. Tidak saja masalah
lingkungan, tetapi juga berdampak buruk pada kehidupan manusia akibat orientasi
hidup serba ekonomi. Keberadaan ruang ibadah di dekat, sebelah, bahkan di dalam
ruang ekonomi pun tidak otomatis menyelesaikan masalah karena justru akan
menyebabkan subordinasi masjid di bawah otoritas pasar dengan hanya menjadi
salah satu fungsi pendukung bagi kegiatan ekonomi yang merupakan aktivitas
utama.
Muncullah masalah lain yang oleh Kuntowijoyo
diberinya istilah masjid stanplat bus untuk menggambarkan kondisi masjid yang
ramai, tetapi setelah shalat selesai diselenggarakan, semua jamaah bubar begitu
saja, persis layaknya halte bus. Sehingga keberadaan masjid dan melubernya
jamaah shalat tidak mampu mempengaruhi pasar dan kegiatan perekonomian. Sebab
kedudukannya sebagai fasilitas pendukung justru menjadikan masjid sebatas
sebagai ruang rehat sejenak bagi umat Islam di sela kegiatan ekonomi yang
menjadi prioritasnya dalam kehidupan sehari-hari.
Kuntowijoyo menghendaki pasar di bawah
otoritas masjid yang merupakan pusat spiritualitas Islam. Dengan kata lain pasar
dan kegiatan perekonomian yang berlangsung di dalamnya harus terintegrasi dan
lekat dengan ruang yang paling dicintai oleh Tuhan. Lebih jauh memang tidak
diulas oleh Kuntowijoyo perihal strategi dan cara untuk merealisasikan gagasan
tersebut. Saya mengira-ngira, strategi rembesan struktural dan kultural dapat
dieksperimentasikan untuk mewujudkan gagasan tadi.
Strategi struktural berupaya menempatkan pasar
secara manajerial di bawah otoritas masjid. Dengan kata lain, sumber
spiritualitas sekaligus berperan sebagai sumber penggerak perekonomian. Tidak
usah jauh-jauh mencari contoh, artikel berjudul Masjid dan Potensi Wisata Religi yang ditulis oleh ustadz Arif Sulfiantono memotret geliat pasar
rakyat yang dimotori Masjid Jogokariyan Yogyajarta maupun pasar di area Masjid Pemuda Surabaya yang digawangi ustadz Ibra Maulan Tigotsulatsi, dan pasar yang rutin diselenggarakan di depan area Masjid Baitul Makmur Denpasar.
Memang penerapan strategi struktural
berpotensi besar menimbulkan konflik sosial karena berorientasi pada penguasaan
ruang pasar, apalagi jika intervensi dilakukan pada pasar yang telah eksis dan
besar, seperti Times Square dan Malioboro. Dari sinilah penolakan terhadap
aktivitas membaca Al-Quran yang secara masif dilakukan di Malioboro dengan argumentasi
ketiadaan izin dari pihak otoritas. Sedangkan terkait aspek yang sama pada
peristiwa Shalat Tarawih di Times Square, New York, sebagaimana informasi yang
disampaikan ustadz Shamsi Ali merupakan realisasi dari religious freedom
di Amerika Serikat sekaligus sebagai ekspresi umat Islam di tengah masyarakat
yang plural.
Sementara itu strategi kultural berupaya
mempengaruhi kegiatan dan orientasi aktivitas ekonomi di pasar melalui
keterlibatan pelaku yang memiliki ikatan spiritualitas dengan masjid. Dua peristiwa
yang saya kutip dalam tulisan ini lebih tepat dipandang sebagai strategi kultural melalui intervensi
kegiatan jual beli di pasar dengan melangsungkan kegiatan membaca Al-Quran dan
Shalat Tarawih. Tetapi saya menduga, dua kegiatan ini lebih bersifat
seremonial, hanya dilangsungkan sekali atau beberapa kali dalam rangka
menyambut Ramadhan, sehingga hampir-hampir tidak akan menyisakan dampak bagi
kegiatan ekonomi.
Kembali merujuk kepada Kuntowijoyo yang
merumuskan etika profetik berdasar perenungannya terhadap Surah Ali-Imran: 110, strategi
struktural berasaskan Liberasi untuk membebaskan manusia dari segala struktur
yang merusak kemanusiaan dan kehidupannya, sedangkan strategi kultural
dilandasi Transendensi untuk menciptakan kehidupan dan cara hidup yang lekat
dengan spiritualitas Islam. Untuk yang terakhir secara spesifik Kuntowijoyo
menyebutnya dengan spiritualisasi kebudayaan.
Dua strategi untuk menempatkan masjid sebagai
otoritas bagi ruang pasar adalah keniscayaan jika merujuk pada konsep masjid
sebagai tempat sujud yang berdimensi lahir dan batin, sehingga mewadahi
kegiatan ibadah mahdhah yang berorientasi vertikal dan akhirat dan
ibadah ghairu mahdhah yang berorientasi horisontal dan keduniaan.
Dengan kata lain, orientasi hidup umat Islam mencakup akhirat sekaligus dunia,
begitu pula dengan masjid yang menjadi pusat bagi masyarakat Islam pun
menyandang tujuan akhirat dan dunia sekaligus. Karenanya masjid pun memiliki
peran di bidang ekonomi untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan.
Dari penjelasan paragraf di atas, peristiwa
Shalat Tarawih di Times Square seharusnya berawal dari 300 masjid yang tersebar
di seluruh New York, dan pembacaan Al-Quran di sepanjang jalan Malioboro
didukung masjid-masjid di seputar wilayah tersebut. Terlepas dari itu, dua
peristiwa di Times Square dan Malioboro dapat dipandang sebagai luberan
spiritualitas Islam dari masjid memenuhi ruang ekonomi yang profan. Memang saat
ini masih seremonial, tetapi paling tidak peristiwa tersebut menjadi kritik dan
penyeimbang kehidupan perkotaan modern yang materialistik, bahkan ateistik.
Oleh karenanya agenda liberasi dan transendensi mutlak direalisasikan terhadap
ruang ekonomi!**
___
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang
**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis (Andika Saputra) pada hari Senin, 4 April 2022.
Editor: Ferdi
0 comments: