Rabu, 06 April 2022

LUBERAN SPIRITUALITAS DI RUANG PROFAN

Sumber: Facebook Andika Saputra


Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Sepekan ini media sosial FB di lini masa saya marak membincangkan dengan nada pro dan kontra terkait peristiwa pembacaan Al-Qur'an di Malioboro, Yogyakarta, dan Shalat Tarawih yang diselenggarakan di Times Square, New York, Amerika Serikat yang keduanya dihadiri oleh sekitar 1.000 orang umat Islam.

Kedua peristiwa tadi, walaupun terjadi di dua tempat dan waktu yang berbeda, memiliki kesamaan. Pertama, keduanya merupakan kegiatan yang bermuatan spiritualitas Islam dan merupakan realisasi dari keimanan umat Islam. Kedua, dua peristiwa terjadi di ruang ekonomi yang menjadi pusat dan ikon masing-masing wilayah. Times Square merupakan pusat perekonomian New York sebagaimana Malioboro adalah ikon ekonomi Yogyakarta.

Dalam pandangan arus utama, modernisasi melalui industrialisasi mensyaratkan diterapkannya paham Sekularisme dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu ruang ekonomi sepenuhnya menjadi bersifat profan, terputus hubungan dari ruang sakral, sehingga kegiatan ekonomi dapat dilangsungkan dengan sepenuhnya bergantung pada mekanisme pasar, tanpa keterlibatan apalagi pembatasan dan kekangan dari nilai agama yang berasal dari Tuhan. Dari sinilah munculnya persepsi bahwasanya tabu dicampurinya urusan jual beli yang duniawi dengan aktivitas keagamaan yang sakral. Tidak ada tempat yang lebih pantas untuk mewadahi kegiatan keagamaan selain di ruang peribadatan, dalam peristiwa ini ialah masjid.

Ruang ekonomi yang sepenuhnya kosong dari spiritualitas dan otoritas agama adalah yang dimaksud sebagai ruang yang paling dibenci oleh Tuhan dalam suatu kota, sebagaimana termuat dalam salah satu Hadits Rasul. Sebabnya, kegiatan perekonomian yang menyangkut hajat hidup masyarakat luas, jika dipisahkan dari ketentuan dan aturan dari Tuhan yang termuat dalam agama akan berpotensi terjadinya eksploitasi yang merugikan salah satu pihak, yakni pembeli atau pedagang. Lebih jauh lagi, eksploitasi merembet hingga menyebabkan kesenjangan kelas ekonomi yang semakin jauh.

Spasialisasi agama di ruangnya sendiri sebagai akibat penerapan paham Sekularisme dalam kehidupan, menurut Kuntowijoyo dalam bukunya berjudul Budaya dan Masyarakat, adalah biang terjadinya dampak buruk dari proses modernisasi yang terjadi melalui industrialisasi. Tidak saja masalah lingkungan, tetapi juga berdampak buruk pada kehidupan manusia akibat orientasi hidup serba ekonomi. Keberadaan ruang ibadah di dekat, sebelah, bahkan di dalam ruang ekonomi pun tidak otomatis menyelesaikan masalah karena justru akan menyebabkan subordinasi masjid di bawah otoritas pasar dengan hanya menjadi salah satu fungsi pendukung bagi kegiatan ekonomi yang merupakan aktivitas utama.

Muncullah masalah lain yang oleh Kuntowijoyo diberinya istilah masjid stanplat bus untuk menggambarkan kondisi masjid yang ramai, tetapi setelah shalat selesai diselenggarakan, semua jamaah bubar begitu saja, persis layaknya halte bus. Sehingga keberadaan masjid dan melubernya jamaah shalat tidak mampu mempengaruhi pasar dan kegiatan perekonomian. Sebab kedudukannya sebagai fasilitas pendukung justru menjadikan masjid sebatas sebagai ruang rehat sejenak bagi umat Islam di sela kegiatan ekonomi yang menjadi prioritasnya dalam kehidupan sehari-hari.

Kuntowijoyo menghendaki pasar di bawah otoritas masjid yang merupakan pusat spiritualitas Islam. Dengan kata lain pasar dan kegiatan perekonomian yang berlangsung di dalamnya harus terintegrasi dan lekat dengan ruang yang paling dicintai oleh Tuhan. Lebih jauh memang tidak diulas oleh Kuntowijoyo perihal strategi dan cara untuk merealisasikan gagasan tersebut. Saya mengira-ngira, strategi rembesan struktural dan kultural dapat dieksperimentasikan untuk mewujudkan gagasan tadi.

Strategi struktural berupaya menempatkan pasar secara manajerial di bawah otoritas masjid. Dengan kata lain, sumber spiritualitas sekaligus berperan sebagai sumber penggerak perekonomian. Tidak usah jauh-jauh mencari contoh, artikel berjudul Masjid dan Potensi Wisata Religi yang ditulis oleh ustadz Arif Sulfiantono memotret geliat pasar rakyat yang dimotori Masjid Jogokariyan Yogyajarta maupun pasar di area Masjid Pemuda Surabaya yang digawangi ustadz Ibra Maulan Tigotsulatsi, dan pasar yang rutin diselenggarakan di depan area Masjid Baitul Makmur Denpasar.

Memang penerapan strategi struktural berpotensi besar menimbulkan konflik sosial karena berorientasi pada penguasaan ruang pasar, apalagi jika intervensi dilakukan pada pasar yang telah eksis dan besar, seperti Times Square dan Malioboro. Dari sinilah penolakan terhadap aktivitas membaca Al-Quran yang secara masif dilakukan di Malioboro dengan argumentasi ketiadaan izin dari pihak otoritas. Sedangkan terkait aspek yang sama pada peristiwa Shalat Tarawih di Times Square, New York, sebagaimana informasi yang disampaikan ustadz Shamsi Ali merupakan realisasi dari religious freedom di Amerika Serikat sekaligus sebagai ekspresi umat Islam di tengah masyarakat yang plural.

Sementara itu strategi kultural berupaya mempengaruhi kegiatan dan orientasi aktivitas ekonomi di pasar melalui keterlibatan pelaku yang memiliki ikatan spiritualitas dengan masjid. Dua peristiwa yang saya kutip dalam tulisan ini lebih tepat dipandang sebagai strategi kultural melalui intervensi kegiatan jual beli di pasar dengan melangsungkan kegiatan membaca Al-Quran dan Shalat Tarawih. Tetapi saya menduga, dua kegiatan ini lebih bersifat seremonial, hanya dilangsungkan sekali atau beberapa kali dalam rangka menyambut Ramadhan, sehingga hampir-hampir tidak akan menyisakan dampak bagi kegiatan ekonomi.

Kembali merujuk kepada Kuntowijoyo yang merumuskan etika profetik berdasar perenungannya terhadap Surah Ali-Imran: 110, strategi struktural berasaskan Liberasi untuk membebaskan manusia dari segala struktur yang merusak kemanusiaan dan kehidupannya, sedangkan strategi kultural dilandasi Transendensi untuk menciptakan kehidupan dan cara hidup yang lekat dengan spiritualitas Islam. Untuk yang terakhir secara spesifik Kuntowijoyo menyebutnya dengan spiritualisasi kebudayaan.

Dua strategi untuk menempatkan masjid sebagai otoritas bagi ruang pasar adalah keniscayaan jika merujuk pada konsep masjid sebagai tempat sujud yang berdimensi lahir dan batin, sehingga mewadahi kegiatan ibadah mahdhah yang berorientasi vertikal dan akhirat dan ibadah ghairu mahdhah yang berorientasi horisontal dan keduniaan. Dengan kata lain, orientasi hidup umat Islam mencakup akhirat sekaligus dunia, begitu pula dengan masjid yang menjadi pusat bagi masyarakat Islam pun menyandang tujuan akhirat dan dunia sekaligus. Karenanya masjid pun memiliki peran di bidang ekonomi untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan.

Dari penjelasan paragraf di atas, peristiwa Shalat Tarawih di Times Square seharusnya berawal dari 300 masjid yang tersebar di seluruh New York, dan pembacaan Al-Quran di sepanjang jalan Malioboro didukung masjid-masjid di seputar wilayah tersebut. Terlepas dari itu, dua peristiwa di Times Square dan Malioboro dapat dipandang sebagai luberan spiritualitas Islam dari masjid memenuhi ruang ekonomi yang profan. Memang saat ini masih seremonial, tetapi paling tidak peristiwa tersebut menjadi kritik dan penyeimbang kehidupan perkotaan modern yang materialistik, bahkan ateistik. Oleh karenanya agenda liberasi dan transendensi mutlak direalisasikan terhadap ruang ekonomi!**

___

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang

**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis (Andika Saputra) pada hari Senin, 4 April 2022. 

Editor: Ferdi

Sebelumnya
Next Post

0 comments: