Sumber: Koleksi pribadi |
Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*
Judul tulisan ini saya ambil dari salah satu sub-bab dalam buku Sidi
Gazalba berjudul Asas Agama Islam: Pembahasan Ilmu & Filsafat tentang
Rukun Islam, Ihsan, Ikhlas, Taqwa. Buku ini diterbitkan pertama kali oleh Penerbit
Bulan Bintang pada tahun 1975. Menurut Gazalba, Islam telah mengangkat puasa ke
tingkat yang tinggi, melebihi puasa yang terdapat dalam agama-agama lainnya
(setelah beliau membandingkannya).
Sidi Gazalba (1975) mendefinisikan puasa sebagai “ibadat kepada Allah
dengan jalan menahan diri dari makan, minum, bersetubuh dan
laku-perbuatan yang dapat merugikan pendidikan kemauan dalam rangka membina
taqwa, dari fajar hingga maghrib.” (h. 140).
Berpuasa selama satu bulan merupakan proses menahan diri dari
berbagai nafsu manusia meliputi makan, minum, berhubungan suami-istri, dan
melakukan berbagai hal yang kurang/tidak bermanfaat. Nafsu-nafsu tersebut
merupakan fitrah yang ada pada tiap-tiap manusia. Puasa bukanlah untuk mematikan/melenyapkannya,
melainkan untuk mengendalikan/mengontrolnya.
Menahan diri selama bulan puasa menurut Gazalba merupakan proses pendidikan
kemauan. Kemauan yang dimaksud di sini adalah kemauan untuk tunduk pada perintah Tuhan dengan menahan diri sejak subuh sampai maghrib. Jika nafsu
belaka yang menguasai manusia, kerusakanlah yang akan terjadi. Puasa
mendisiplinkan jiwa manusia agar dapat mengendalikan nafsunya.
Proses pendidikan ini dalam rangka membina
taqwa, la’allakum tattaquun. Tattaquun dijabarkan dari kata ittaqaa
yang artinya “melindungi barang dari sesuatu, yang merusak atau merugikan,
atau melindungi diri dari sesuatu, yang dikhawatirkan berakibat merusak atau
jahat.” (h. 147).
Mengerjakan puasa berulang-ulang selama sebulan setiap tahunnya, menurut
Gazalba (1975) merupakan sistem pendidikan agar terbentuk tabiat muttaqiin,
yaitu orang yang mampu menjaga hubungan dengan Allah swt. dan terlindung dari
kejahatan (shalat menurutnya terlebih dahulu mencegah manusia dari berbuat kejahatan).
Hikmah Puasa
Hikmah puasa terdiri dari tiga dimensi, yaitu akhlak, sosial, dan
jasmani.
Puasa mendidik manusia mendisiplinkan akhlaknya untuk senantiasa menuju
amal saleh dan menjauhi amal salah, amar ma’ruf nahi munkar. Terdapat
pertarungan di dalam diri manusia antara kemauan baik dan kemauan buruk.
Sebagai lembaga pendidikan ruhani, puasa di bulan ramadhan akan memperkuat
daya kontrol nafsu. Hasilnya adalah di bulan-bulan berikutnya, di hari-hari
lainnya, kemudian selanjutnya di setiap saat, manusia mampu mengendalikan
nafsunya. Kemauan untuk senantiasa berbuat baik akan melahirkan perbuatan baik
pula, yang kemudian menjadi tabiatnya sebagai manusia. Kemauan baik mengalahkan
kemauan buruk.
Mengenai nilai sosial ibadah puasa, saya akan mengutip dua paragraf
penuh uraian Sidi Gazalba (1975),
“Dengan lapar dan haus yang dirasakan ketika puasa, sadarlah Mu’min
betapa penderitaan orang tak punya itu menderita, sekarang ia tidak hanya tahu
bahwa orang tak punya itu menderita, sekarang ia tidak hanya sekedar tahu yang
bersifat teori (hasil pemikiran rasional), tapi merasakannya sendiri, yang
bersifat praktek. Sekedar tahu hanya mampu melahirkan teori. Tetapi mengetahui
dan menghayati yang membentuk kesadaran, inilah yang akan melahirkan amal
saleh, yaitu praktek.
“Setelah sebulan Mu’min itu merasakan penderitaan orang-orang miskin,
pada akhir bulan itu diujilah dia, apakah rasa sosial itu telah tumbuh. Disuruh
ia memberikan sebagian bahan makanannya kepada orang miskin dengan zakat
fitrah. Kalau ini dikerjakannya dengan ikhlas, ditingkatkan solidaritas sosial
itu dengan menyuruhnya memberikan sebagian dari uang atau hartanya kepada orang
tak punya dengan zakat mal. Kalau ia merasa terpaksa membayarkan zakat atau
tidak mengeluarkannya sama sekali, puasanya belum lagi ihsan berlangsung, ia
belum lagi berbuahkan sosial. Tahun depan didikan itu diulang kembali,
selanjutnya diulang kembali (sesuai dengan kaidah ilmu dididik), sehingga
terujudlah nilai sosial dari puasa.” (h. 153).
Puasa minimal satu bulan dalam setahun bertujuan untuk mengistirahatkan
organ pencernaan dari tugas mengolah makanan tiada henti setiap hari.
Manusia setiap harinya beristirahat (tidur) beberapa jam untuk
memulihkan diri. Siswa yang bersekolah memerlukan libur sekali dalam satu
pekan agar otaknya tidak kepayahan dan menyebabkan kualitas belajarnya
berkurang. Pekerja membutuhkan waktu istirahat untuk menyegarkan diri dari
segala rutinitas kerja.
Istirahat dari berbagai kebiasaan (makan, minum, berhubungan, dan
perbuatan kurang/tidak bermanfaat) selama paling sedikit satu bulan dalam
setahun, manusia akan mendapatkan kesegaran kembali dan meningkatkan kualitas hidup
jasmaniahnya (tidak hanya perut).
Wallahu a’lam.
___
*Pegiat SEED Institute, Mahasiswa UMS
Uh Mantap
BalasHapus