Sumber: Instagram Yogi Theo (@yogitheo) |
Oleh: Yogi Theo Rinaldi, M.Phil.*
Dalam definisi yang umum
diketahui, fakir (faqīr, jamak: fuqarā') adalah satu kategori asnaf
mustahiqq zakat yang tidak memiliki harta dan mata pencaharian. Mereka tidak dapat mencukupi keperluan mereka pada hari ini, apatah lagi
hari esok. Berbeda dengan kategori miskin, orang miskin adalah mereka yang memiliki harta dan mata
pencaharian tetapi tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok mereka sehari-hari. Orang-orang fakir, jelaslah, lebih lemah
dibanding orang-orang miskin. Mereka sangat memerlukan bantuan para dermawan (agniyā').
Dalam ayat di atas, Allah secara
tersurat menyebut perkataan an-nās (seluruh manusia tanpa terkecuali).
Ini bermakna di dalamnya termasuk juga para agniyā' (orang-orang kaya) dalam definisi fikih zakat.
Pertanyaannya,
mengapa Allah menyeru seluruh manusia itu dengan sifat faqir? Rasanya jika
dilihat dari sudut pandang harta benda,
ini tidak sesuai sebab akan
bertentangan dengan fakta adanya orang kaya. Ayat selanjutnya
memberi isyarat yang lebih jelas bahwa ini berkenaan dengan penciptaan (khalq),
ontologis bukan fiqh.
Dalam Akidah Ahlussunnah Wal
Jama'ah (Asy'ariyyah), segala sesuatu selain Allah (yakni alam) adalah muhdats (baru/diciptakan). Ini tidak semestinya dimaknai bahwa penciptaannya hanya berlaku
pada permulaan kelahiran (konteks
manusia) melainkan segala sesuatu pada setiap waktu selalu dalam keadaan baqā (kekal)
dan fanā (binasa) atau khalq
jadīd (diciptakan dalam forma yang baru tetapi menyerupai yang asal dengan hakikat yang tsabitah/tetap).
Prinsip
kosmologi Asy'ariyyah: atom (jawhar) lā yabqa zamānain (alias
tidak dapat sustain in two moments of time) dan shu'ūn Allah (kesibukan/pekerjaan
Allah) yang senantiasa menciptakan (Qs. ar-Rahman, 55:29 kulla yawmin
huwa fi sha'n).
Jadi
wujud kita amat bergantung kepada kehendak dan kemurahan Allah. Sebab kita fakir akan wujud. Kewujudan ini
sama sekali bukan milik kita. Kita bahkan
tidak tahu nasib wujud kita beberapa waktu akan datang dan hari esok. Kelekatan kita kepada kehidupan dunia, yang menandai
keterpisahan awal (al-farq al-awwal) pada derajat jiwa yang rendah, membuat kita tidak
dapat merasakan momen kefanaan dan penciptaan baru tersebut. Layaknya lingkaran
api yang kita
lihat sempurna tersambung padahal sebenarnya ia putus-putus pada setiap
momennya.**
___
*Penulis adalah pendiri Toko Buku Lubukata; Alumnus RZS-CASIS,
Universiti Teknologi Malaysia (UTM)
**Tulisan ini diunggah pertama kali di Instagram penulis (@yogitheo)
pada hari Senin, 4 April 2022. Lihat di sini.
Editor: Ferdi
0 comments: