Senin, 04 April 2022

KEFAKIRAN ONTOLOGIS

Sumber: Instagram Yogi Theo (@yogitheo)


Oleh: Yogi Theo Rinaldi, M.Phil.*

Dalam definisi yang umum diketahui, fakir (faqīr, jamak: fuqarā') adalah satu kategori asnaf mustahiqq zakat yang tidak memiliki harta dan mata pencaharian. Mereka tidak dapat mencukupi keperluan mereka pada hari ini, apatah lagi hari esok. Berbeda dengan kategori miskin, orang miskin adalah mereka yang memiliki harta dan mata pencaharian tetapi tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok mereka sehari-hari. Orang-orang fakir, jelaslah, lebih lemah dibanding orang-orang miskin. Mereka sangat memerlukan bantuan para dermawan (agniyā').

Dalam ayat di atas, Allah secara tersurat menyebut perkataan an-nās (seluruh manusia tanpa terkecuali). Ini bermakna di dalamnya termasuk juga para agniyā' (orang-orang kaya) dalam definisi fikih zakat.

Pertanyaannya, mengapa Allah menyeru seluruh manusia itu dengan sifat faqir? Rasanya jika dilihat dari sudut pandang harta benda, ini tidak sesuai sebab akan bertentangan dengan fakta adanya orang kaya. Ayat selanjutnya memberi isyarat yang lebih jelas bahwa ini berkenaan dengan penciptaan (khalq), ontologis bukan fiqh.

Dalam Akidah Ahlussunnah Wal Jama'ah (Asy'ariyyah), segala sesuatu selain Allah (yakni alam) adalah muhdats (baru/diciptakan). Ini tidak semestinya dimaknai bahwa penciptaannya hanya berlaku pada permulaan kelahiran (konteks manusia) melainkan segala sesuatu pada setiap waktu selalu dalam keadaan baqā (kekal) dan fanā (binasa) atau khalq jadīd (diciptakan dalam forma yang baru tetapi menyerupai yang asal dengan hakikat yang tsabitah/tetap).

Prinsip kosmologi Asy'ariyyah: atom (jawhar) lā yabqa zamānain (alias tidak dapat sustain in two moments of time) dan shu'ūn Allah (kesibukan/pekerjaan Allah) yang senantiasa menciptakan (Qs. ar-Rahman, 55:29 kulla yawmin huwa fi sha'n).

Jadi wujud kita amat bergantung kepada kehendak dan kemurahan Allah. Sebab kita fakir akan wujud. Kewujudan ini sama sekali bukan milik kita. Kita bahkan tidak tahu nasib wujud kita beberapa waktu akan datang dan hari esok. Kelekatan kita kepada kehidupan dunia, yang menandai keterpisahan awal (al-farq al-awwal) pada derajat jiwa yang rendah, membuat kita tidak dapat merasakan momen kefanaan dan penciptaan baru tersebut. Layaknya lingkaran api yang kita lihat sempurna tersambung padahal sebenarnya ia putus-putus pada setiap momennya.**

___

*Penulis adalah pendiri Toko Buku Lubukata; Alumnus RZS-CASIS, Universiti Teknologi Malaysia (UTM)

**Tulisan ini diunggah pertama kali di Instagram penulis (@yogitheo) pada hari Senin, 4 April 2022. Lihat di sini.

Editor: Ferdi

Sebelumnya
Next Post

0 comments: