Sumber: Koleksi pribadi |
Oleh: Defi Maryastuti*
Pada bagian awal buku ini menjelaskan mengenai latar belakang kemunculan Pengilmuan
Islam.
Konsep pengilmuan Islam yang dicetuskan oleh Kuntowijoyo bermula dari kritik
beliau terhadap Islamisasi Ilmu yang digagas oleh Prof. Ismail Raji Al-Faruqi. Namun, pada faktanya konsep
atau gagasan Islamisasi Ilmu sebenarnya dicetuskan pertama kali oleh Prof. Syed Muhammad Naquib Al Attas yang lantas kemudian dicaplok dan diakui tanpa izin.
Maka di awal tulisan saya ini bermaksud untuk meluruskan kekeliruan yang telah
disalahfahami bahkan oleh Kuntwijoyo sendiri. Bahwa konsep Islamisasi
Ilmu yang
dikenal oleh Kuntowijoyo kala itu sudah tidak sesuai dengan muatan asli dari
penemunya. Sebab telah diubah isinya semaunya dan diplagiasi oleh pihak
terkait.
Pengilmuan Islam
itu sendiri adalah perlunya teks Al-Quran dan Sunnah untuk dihadapkan pada
realitas atau dari teks ke konteks (Demistifikasi Islam).
Sedangkan kebalikannya, Islamisasi Pengetahuan berjalan dari konteks ke teks atau realitas dikembalikan
pada teks wahyu.
Dari kebenaran wahyu yang bersifat
postulat atau tidak diragukan lagi, menjadi teori yang dapat dimodifikasi
sesuai konteks. Sehingga yang perlu dilakukan adalah meninggalkan Islamisasi
Pengetahuan
secara istilah. Adapun secara metode, Kuntowijoyo ingin melampauinya dengan
menciptakan teori baru yaitu Pengilmuan Islam.
Dalam hal ini dibutuhkan juga Paradigma Al-Quran, yakni cara
pandang Al-Quran dalam memahami konteks atau realita.
Pengilmuan Islam
secara metodologi terdiri dari integralisasi dan objektifikasi. Istilah
Integralisasi di sini ialah penyatuan keilmuan yang dimiliki seluruh manusia dengan
wahyu atau petunjuk Al-Quran dan Sunnah. Adapun objektifikasi adalah menjadikan
pengilmuan Islam sebagai rahmat bagi semua orang (bukan cuma Muslim). Munculnya dua metode di atas tidak lain karena berbagai
ideologi yang berseberangan dengan nilai-nilai Islam, seperti Marxisme,
Sekularisme,
Kapitalisme,
dan lain- lain. Ketiadaan integralisasi berakibat pada kehancuran, karena
manusia mulai kehilangan jati dirinya. Serta terbelenggu oleh dirinya sendiri,
inilah problem masyarakat modern saat ini.
Juga Sekulerisme yang sudah merajalela sekarang ini berusaha untuk
memisahkan agama dalam kehidupan sehari-hari manusia. Menurut Kuntowijoyo, sebagaimana Marxisme menjadi senjata bagi kaum proletar melawan borjuis, maka
sudah sewajarnya jika umat islam memiliki integralisasi sebagai senjata
intelektual orang beriman dalam melawan faham-faham ideologi yang disebutkan di atas.
Objektifikasi merupakan penggunaan istilah umum dalam merumuskan teori dari wahyu. Tujuannya
agar semua kalangan dapat merasakan manfaat Islam, tanpa harus mengetahui sumbernya (Islam itu sendiri). Contoh dari objektifikasi adalah Ilmu Sosial Profetik.
Ilmu Sosial Profetik atau disingkat
Isoprof ini merupakan teori sosial yang memuat QS. Ali-Imran
ayat 110 sebagai cita-cita transformasi masyarakat: “Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran
(kejahatan), dan beriman kepada Allah.”
Didasari oleh pengalaman Kuntowijoyo dalam suatu perdebatan teologi antara kalangan tradisionalis dengan
kalangan yang terlatih berfikir ala Barat. Kalangan tradisionalis
menganggap pembaharuan teologi berujung pada pembaharuan kalam.
Sedangkan kalangan akademisi lulusan
Barat menangkapnya
sebagai reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual
maupun kolektif dalam
menghadapi perkembangan zaman. Untuk
menghindari perdebatan yang tidak produktif itu maka diciptakan teori Ilmu Sosial
Profetik.
Kuntowijoyo
menggunakan konsep Strukturalisme
Transendental,
untuk menerapkan teks wahyu yang merujuk pada gejala sosial 15 abad yang lalu pada konteks
sosial masa kini dan di sini (Indonesia). Maka
lahirlah Paradigma Al-Quran sebagai suatu metode untuk melahirkan Isoprof (yang
berangkat dari QS. Ali-Imran ayat 110 agar kontekstual dengan masyarakat Indonesia).
Di dalam QS.
Ali-Imran ayat 110 terdapat cita-cita profetik: humanisasi, liberasi dan transendensi. Humanisasi artinya memanusiakan manusia. Liberasi
artinya membebaskan manusia dari kebodohan, kejahatan, dan lain
sebagainya. Transendensi artinya memasukkan unsur ketuhanan dalam kebudayaan. Juga dalam artian
mengangkat kebudayaan atau masyarakat agar sesuai dengan keinginan Tuhan. Unsur
transendensi menjadi ruh bagi humanisasi dan liberasi dalam mewujudkan misi
profetik.
Ilmu Sosial Profetik
bukanlah sekedar teori kritik sosial melainkan ilmu terapan yang bersifat
transformatif dan dapat dimodifikasi sesuai dengan role model
masyarakatnya. Penggunaan istilah profetik di dalam Ilmu Sosial Profetik ini terinspirasi dari tulisan Muhammad Iqbal
mengenai peristiwa Isra’ Mi’raj. Ketika itu Nabi Muhammad saw. mencapai puncak tertinggi pengalaman keagamaan karena bertemu
dengan Allah swt. Namun beliau tidak memilih untuk tetap tinggal di atas
melainkan ingin turun dan membenahi masyarakatnya (di bawah). Selain itu istilah
profetik adalah hasil objektifikasi Kuntowijoyo agar teori tersebut tidak hanya berbatas
di umat Islam
saja, melainkan diterima oleh seluruh
masyarakat.
Identitas Buku :
Judul : Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika
Penulis : Kuntowijoyo
Penerbit : Tiara Wacana
Tahun terbit : 2006
Jumlah halaman : 136
___
*Pegiat SEED Institute, Mahasiswi UIN Raden Mas Said Surakarta
0 comments: