Jumat, 01 April 2022

ISLAM SEBAGAI ILMU

Sumber: Koleksi pribadi

Oleh: Defi Maryastuti*

Pada bagian awal buku ini menjelaskan mengenai latar belakang kemunculan Pengilmuan Islam. Konsep pengilmuan Islam yang dicetuskan oleh Kuntowijoyo bermula dari kritik beliau terhadap Islamisasi Ilmu yang digagas oleh Prof. Ismail Raji Al-Faruqi. Namun, pada faktanya konsep atau gagasan Islamisasi Ilmu sebenarnya dicetuskan pertama kali oleh Prof. Syed Muhammad Naquib Al Attas yang lantas kemudian dicaplok dan diakui tanpa izin.

Maka di awal tulisan saya ini bermaksud untuk meluruskan kekeliruan yang telah disalahfahami bahkan oleh Kuntwijoyo sendiri. Bahwa konsep Islamisasi Ilmu yang dikenal oleh Kuntowijoyo kala itu sudah tidak sesuai dengan muatan asli dari penemunya. Sebab telah diubah isinya semaunya dan diplagiasi oleh pihak terkait.

Pengilmuan Islam itu sendiri adalah perlunya teks Al-Quran dan Sunnah untuk dihadapkan pada realitas atau dari teks ke konteks (Demistifikasi Islam). Sedangkan kebalikannya, Islamisasi Pengetahuan berjalan dari konteks ke teks atau realitas dikembalikan pada teks wahyu.

Dari kebenaran wahyu yang bersifat postulat atau tidak diragukan lagi, menjadi teori yang dapat dimodifikasi sesuai konteks. Sehingga yang perlu dilakukan adalah meninggalkan Islamisasi Pengetahuan secara istilah. Adapun secara metode, Kuntowijoyo ingin melampauinya dengan menciptakan teori baru yaitu Pengilmuan Islam. Dalam hal ini dibutuhkan juga Paradigma Al-Quran, yakni cara pandang Al-Quran dalam memahami konteks atau realita.

Pengilmuan Islam secara metodologi terdiri dari integralisasi dan objektifikasi. Istilah Integralisasi di sini ialah penyatuan keilmuan yang dimiliki seluruh manusia dengan wahyu atau petunjuk Al-Quran dan Sunnah. Adapun objektifikasi adalah menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat bagi semua orang (bukan cuma Muslim). Munculnya dua metode di atas tidak lain karena berbagai ideologi yang berseberangan dengan nilai-nilai Islam, seperti Marxisme, Sekularisme, Kapitalisme, dan lain- lain. Ketiadaan integralisasi berakibat pada kehancuran, karena manusia mulai kehilangan jati dirinya. Serta terbelenggu oleh dirinya sendiri, inilah problem masyarakat modern saat ini.

Juga Sekulerisme yang sudah merajalela sekarang ini berusaha untuk memisahkan agama dalam kehidupan sehari-hari manusia. Menurut Kuntowijoyo, sebagaimana Marxisme menjadi senjata bagi kaum proletar melawan borjuis, maka sudah sewajarnya jika umat islam memiliki integralisasi sebagai senjata intelektual orang beriman dalam melawan faham-faham ideologi yang disebutkan di atas.

Objektifikasi merupakan penggunaan istilah umum dalam merumuskan teori dari wahyu. Tujuannya agar semua kalangan dapat merasakan manfaat Islam, tanpa harus mengetahui sumbernya (Islam itu sendiri). Contoh dari objektifikasi adalah Ilmu Sosial Profetik.

Ilmu Sosial Profetik atau disingkat Isoprof ini merupakan teori sosial yang memuat QS. Ali-Imran ayat 110 sebagai cita-cita transformasi masyarakat: “Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan), dan beriman kepada Allah.

Didasari oleh pengalaman Kuntowijoyo dalam suatu perdebatan teologi antara kalangan tradisionalis dengan kalangan yang terlatih berfikir ala Barat. Kalangan tradisionalis menganggap pembaharuan teologi berujung pada pembaharuan kalam. Sedangkan kalangan akademisi lulusan Barat menangkapnya sebagai reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual maupun kolektif dalam menghadapi perkembangan zaman. Untuk menghindari perdebatan yang tidak produktif itu maka diciptakan teori Ilmu Sosial Profetik.

Kuntowijoyo menggunakan konsep Strukturalisme Transendental, untuk menerapkan teks wahyu yang merujuk pada gejala sosial 15 abad yang lalu pada konteks sosial masa kini dan di sini (Indonesia). Maka lahirlah Paradigma Al-Quran sebagai suatu metode untuk melahirkan Isoprof (yang berangkat dari QS. Ali-Imran ayat 110 agar kontekstual dengan masyarakat Indonesia).

Di dalam QS. Ali-Imran ayat 110 terdapat cita-cita profetik: humanisasi, liberasi dan transendensi. Humanisasi artinya memanusiakan manusia. Liberasi artinya membebaskan manusia dari kebodohan, kejahatan, dan lain sebagainya. Transendensi artinya memasukkan unsur ketuhanan dalam kebudayaan. Juga dalam artian mengangkat kebudayaan atau masyarakat agar sesuai dengan keinginan Tuhan. Unsur transendensi menjadi ruh bagi humanisasi dan liberasi dalam mewujudkan misi profetik.

Ilmu Sosial Profetik bukanlah sekedar teori kritik sosial melainkan ilmu terapan yang bersifat transformatif dan dapat dimodifikasi sesuai dengan role model masyarakatnya. Penggunaan istilah profetik di dalam Ilmu Sosial Profetik ini terinspirasi dari tulisan Muhammad Iqbal mengenai peristiwa Isra Miraj. Ketika itu Nabi Muhammad saw. mencapai puncak tertinggi pengalaman keagamaan karena bertemu dengan Allah swt. Namun beliau tidak memilih untuk tetap tinggal di atas melainkan ingin turun dan membenahi masyarakatnya (di bawah). Selain itu istilah profetik adalah hasil objektifikasi Kuntowijoyo agar teori tersebut tidak hanya berbatas di umat Islam saja, melainkan diterima oleh seluruh masyarakat.

 

Identitas Buku     :

Judul                  : Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika

Penulis                : Kuntowijoyo

Penerbit              : Tiara Wacana

Tahun terbit        : 2006

Jumlah halaman  : 136

___

*Pegiat SEED Institute, Mahasiswi UIN Raden Mas Said Surakarta

Sebelumnya
Next Post

0 comments: