Minggu, 03 April 2022

GERAKAN KONVERGENSI UMAT ISLAM DI INDONESIA

 

Sumber: Facebook Andika Saputra

Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Beberapa hari lalu sebelum memasuki bulan Ramadhan, kami sempat berkeliling kota Surakarta. Dari melihat ornamen bercitra Ramadhan di sekitar area Balaikota sampai keliling Keraton dan cangkruk di alun-alun kidul (Alkid) sekedar menikmati suasana malam sambil minum teh, kopi susu, dan kembang gula. Jam menunjukkan pukul 9 malam, kami pulang melewati Masjid Kalitan yang seketika membuat saya merasa kaget melihat luberan umat Islam masih menyaksikan kajian akbar di waktu yang terbilang malam hingga berdesak-desakan di teras, parkir, dan jalur pedestrian hingga menyebabkan lalu lintas melambat.

Yang melihat sekilas ragam model berpakaian yang ditampakkan peserta kajian akbar yang merepresentasikan ragam paham keagamaan Islam. Dari yang mengenakan jubah, celana cingkrang, kemeja modis, penutup kepala khas Afghanistan yang sering digunakan kalangan Jihadi, cadar, sampai jilbab gaul berwarna-warni. Sesampainya di rumah Bunda yang mencari informasi menyampaikan kajian akbar di Kalitan tadi menghadirkan Handy Bonny, salah satu dai yang sedang digemari begitu banyak umat Islam di lingkungan urban masa kini.

Fenomena tersebut langsung mengingatkan saya pada analisis yang disampaikan Kuntowijoyo. Pada buku berjudul Muslim Tanpa Masjid yang terbit pada tahun 2001 di masa awal orde Reformasi, Kuntowijoyo telah memprediksi keharusan dilakukannya perubahan strategi dan format dakwah dengan memperhatikan penguatan industrialisasi memasuki revolusi informasi di Indonesia di satu sisi dan kebutuhan spiritualitas yang mendesak untuk dipenuhi oleh kalangan umat Islam yang hidup di lingkungan urban di sisi yang lain.

Melihat realitas demikian Kuntowijoyo menawarkan dakwah berbasis komunitas nonformal yang digerakkan oleh mitra dakwah dengan strategi proliferasi yang hadir dan merembes ke mana-mana. Maka pada hari ini kita menyaksikan maraknya muncul komunitas dakwah bersifat nonformal, dalam artian tidak menginduk pada afiliasi organisasi maupun institusi, namun memiliki jejaring yang luas dan kuat melalui pemanfaatan teknologi informasi komunikasi. Misal saja SHIFT yang digawangi Hanan Attaki menunjukkan kesuksesan format dakwah tersebut di tengah lingkungan urban yang menyasar secara spesifik kalangan pemuda Muslim.

Strategi proliferasi melalui wadah komunitas nonformal menjadikan dakwah tidak lagi terbatas berlangsung di masjid dan institusi pendidikan. Dakwah merembes dengan sangat deras memenuhi ruang-ruang publik kota. Dari mall, hotel, apartemen, hingga jalur pedestrian dan city walk. Strategi ini terbukti berhasil menggaet dan memiliki daya tarik bagi objek dakwah dalam skala yang luas, dari kelas ekonomi atas hingga bawah, dan dari beragam profesi. Berangkat dari analisis ini menjadi tidak aneh pemandangan melubernya peserta kajian akbar yang menyimak dengan serius materi dari mitra dakwah sambil berdiri berdesakan di jalur pedestrian.

Fenomena ini dinyatakan oleh Kuntowijoyo sebagai gerakan konvergensi umat Islam yang secara spesifik dan jelas disampaikan dalam kata pengantar buku Abdul Munir Mulkhan berjudul Teologi Kiri. Kuntowijoyo menjelaskan gerakan konvergensi Islam telah mencairkan kelas dan kategori di internal umat Islam. Tidak lagi relevan kategori santri dan abangan karena realitasnya kalangan yang dahulu dicap abangan, saat ini mempelajari Islam secara langsung melalui komunitas dakwah nonformal maupun secara tidak langsung melalui teknologi informasi komunikasi. Kalangan yang sama pun kini marak shalat berjamaah di masjid, berkurban, dan menunaikan ibadah haji, apalagi umrah yang terbilang rutin setiap tahun.

Dampaknya, jarak budaya antara kelas santri dan abangan pun semakin dekat dan batasnya semakin samar. Tidak sedikit kalangan yang dahulu dicap abangan, kini ketika bekerja di institusi negeri maupun swasta mengenakan peci atau kopiah serta membawa tasbih yang dilingkarkan di pergelangan tangan dan senantiasa membawa perlengkapan shalat.

Selain itu, Kuntowijoyo juga menjelaskan, tidak lagi relevan pembedaan antara ulama dan cendikiawan. Ulama pada masa kini dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan modern dalam menjelaskan dan menyampaikan Islam. Begitu juga kalangan cendikiawan kini tidak sedikit yang memahami Islam secara mendalam sehingga mempelopori kajian ilmu pengetahuan modern yang diintegrasikan dengan Islam. Tidak hanya di kelas dan laboratorium maupun seminar dan jurnal ilmiah, kalangan cendikiawan baru ini marak pula hadir di mimbar masjid dan terlibat sebagai mitra dakwah melalui komunitas nonformal.

Gerakan konvergensi umat Islam di Indonesia merupakan peluang besar untuk mewujudkan kesatuan Ummah yang merupakan syarat bagi tercapainya kebangkitan peradaban. Kita harus optimis sambil memperhatikan hambatan untuk mengatasi dan menghindarinya. Pertama, pengerasan identitas di tengah tren sedang terjadinya pencairan identitas yang dianalogikan dengan lapisan (layer) dan aliran (flux). Kedua, perdebatan persoalan furu' dalam agama yang justru akan menyebabkan terjadinya konflik di tengah kecenderungan terjadinya kesatuan arah.

Gerakan yang oleh Kuntowijoyo dipandang telah dimulai sejak awal tahun 1990an bermula dari diresmikannya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), kini telah memasuki periode dekade ketiga. Kita semakin melihat hasilnya di depan mata. Tentu saja akan selalu hadir kalangan yang menghalangi dakwah yang menghadirkan dan memperkuat salah satu dari dua hambatan di atas. Sambil terus melakukan perlawanan, kita harus menjaga kecenderungan konvergensi ini agar tidak lama lagi kita saksikan hadirnya umat terbaik yang dilahirkan dari kalangan manusia.**

___

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang

**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis pada hari Sabtu, 2 April 2022.

Editor: Ferdi

Sebelumnya
Next Post

0 comments: