Sumber: Facebook Andika Saputra |
Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*
Beberapa hari lalu sebelum memasuki bulan
Ramadhan, kami sempat berkeliling kota Surakarta. Dari melihat ornamen bercitra
Ramadhan di sekitar area Balaikota sampai keliling Keraton dan cangkruk di
alun-alun kidul (Alkid) sekedar menikmati suasana malam sambil minum teh, kopi
susu, dan kembang gula. Jam menunjukkan pukul 9 malam, kami pulang melewati
Masjid Kalitan yang seketika membuat saya merasa kaget melihat luberan umat
Islam masih menyaksikan kajian akbar di waktu yang terbilang malam hingga
berdesak-desakan di teras, parkir, dan jalur pedestrian hingga menyebabkan lalu
lintas melambat.
Yang melihat sekilas ragam model berpakaian
yang ditampakkan peserta kajian akbar yang merepresentasikan ragam paham
keagamaan Islam. Dari yang mengenakan jubah, celana cingkrang, kemeja modis,
penutup kepala khas Afghanistan yang sering digunakan kalangan Jihadi, cadar,
sampai jilbab gaul berwarna-warni. Sesampainya di rumah Bunda yang mencari
informasi menyampaikan kajian akbar di Kalitan tadi menghadirkan Handy Bonny, salah
satu dai yang sedang digemari begitu banyak umat Islam di lingkungan urban masa
kini.
Fenomena tersebut langsung mengingatkan saya
pada analisis yang disampaikan Kuntowijoyo. Pada buku berjudul Muslim Tanpa
Masjid yang terbit pada tahun 2001 di masa awal orde Reformasi, Kuntowijoyo
telah memprediksi keharusan dilakukannya perubahan strategi dan format dakwah
dengan memperhatikan penguatan industrialisasi memasuki revolusi informasi di
Indonesia di satu sisi dan kebutuhan spiritualitas yang mendesak untuk dipenuhi
oleh kalangan umat Islam yang hidup di lingkungan urban di sisi yang lain.
Melihat realitas demikian Kuntowijoyo
menawarkan dakwah berbasis komunitas nonformal yang digerakkan oleh mitra
dakwah dengan strategi proliferasi yang hadir dan merembes ke mana-mana. Maka
pada hari ini kita menyaksikan maraknya muncul komunitas dakwah bersifat
nonformal, dalam artian tidak menginduk pada afiliasi organisasi maupun
institusi, namun memiliki jejaring yang luas dan kuat melalui pemanfaatan
teknologi informasi komunikasi. Misal saja SHIFT yang digawangi Hanan Attaki
menunjukkan kesuksesan format dakwah tersebut di tengah lingkungan urban yang menyasar secara spesifik
kalangan pemuda Muslim.
Strategi proliferasi melalui wadah komunitas
nonformal menjadikan dakwah tidak lagi terbatas berlangsung di masjid dan
institusi pendidikan. Dakwah merembes dengan sangat deras memenuhi ruang-ruang
publik kota. Dari mall, hotel, apartemen, hingga jalur pedestrian dan city
walk. Strategi ini terbukti berhasil menggaet dan memiliki daya tarik bagi
objek dakwah dalam skala yang luas, dari kelas ekonomi atas hingga bawah, dan
dari beragam profesi. Berangkat dari analisis ini menjadi tidak aneh
pemandangan melubernya peserta kajian akbar yang menyimak dengan serius materi
dari mitra dakwah sambil berdiri berdesakan di jalur pedestrian.
Fenomena ini dinyatakan oleh Kuntowijoyo
sebagai gerakan konvergensi umat Islam yang secara spesifik dan jelas
disampaikan dalam kata pengantar buku Abdul Munir Mulkhan berjudul Teologi
Kiri. Kuntowijoyo menjelaskan gerakan konvergensi Islam telah mencairkan kelas
dan kategori di internal umat Islam. Tidak lagi relevan kategori santri dan
abangan karena realitasnya kalangan yang dahulu dicap abangan, saat ini
mempelajari Islam secara langsung melalui komunitas dakwah nonformal maupun
secara tidak langsung melalui teknologi informasi komunikasi. Kalangan yang
sama pun kini marak shalat berjamaah di masjid, berkurban, dan menunaikan
ibadah haji, apalagi umrah yang terbilang rutin setiap tahun.
Dampaknya, jarak budaya antara kelas santri
dan abangan pun semakin dekat dan batasnya semakin samar. Tidak sedikit
kalangan yang dahulu dicap abangan, kini ketika bekerja di institusi negeri
maupun swasta mengenakan peci atau kopiah serta membawa tasbih yang dilingkarkan
di pergelangan tangan dan senantiasa membawa perlengkapan shalat.
Selain itu, Kuntowijoyo juga menjelaskan,
tidak lagi relevan pembedaan antara ulama dan cendikiawan. Ulama pada masa kini
dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan modern dalam menjelaskan dan
menyampaikan Islam. Begitu juga kalangan cendikiawan kini tidak sedikit yang
memahami Islam secara mendalam sehingga mempelopori kajian ilmu pengetahuan
modern yang diintegrasikan dengan Islam. Tidak hanya di kelas dan laboratorium
maupun seminar dan jurnal ilmiah, kalangan cendikiawan baru ini marak pula
hadir di mimbar masjid dan terlibat sebagai mitra dakwah melalui komunitas
nonformal.
Gerakan konvergensi umat Islam di Indonesia
merupakan peluang besar untuk mewujudkan kesatuan Ummah yang merupakan syarat
bagi tercapainya kebangkitan peradaban. Kita harus optimis sambil memperhatikan
hambatan untuk mengatasi dan menghindarinya. Pertama, pengerasan identitas di
tengah tren sedang terjadinya pencairan identitas yang dianalogikan dengan lapisan
(layer) dan aliran (flux). Kedua, perdebatan persoalan furu'
dalam agama yang justru akan menyebabkan terjadinya konflik di tengah
kecenderungan terjadinya kesatuan arah.
Gerakan yang oleh Kuntowijoyo dipandang telah
dimulai sejak awal tahun 1990an bermula dari diresmikannya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), kini telah memasuki periode dekade ketiga. Kita semakin melihat
hasilnya di depan mata. Tentu saja akan selalu hadir kalangan yang menghalangi
dakwah yang menghadirkan dan memperkuat salah satu dari dua hambatan di atas.
Sambil terus melakukan perlawanan, kita harus menjaga kecenderungan konvergensi
ini agar tidak lama lagi kita saksikan hadirnya umat terbaik yang dilahirkan
dari kalangan manusia.**
___
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang
**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis pada hari Sabtu, 2 April 2022.
Editor: Ferdi
0 comments: