Sumber: kompasiana.com |
Sebelum
marak penggunaan istilah Revolusi Industri 4.0 dan Metaverse, istilah Disrupsi
lebih dulu menjadi perbincangan, terutama setelah terbitnya buku Rhenald Kasali
berjudul Disruption. Pada saat itu pun berbagai kuliah umum, seminar, hingga
makalah jurnal dihiasi penggunaan istilah disrupsi untuk menunjukkan kebaharuan
(novelty), selain tentu saja untuk memberikan kesan kemajuan.
Disrupsi
merupakan perubahan kehidupan manusia secara fundamental dan menyeluruh akibat
penggunaan teknologi baru. Fenomena ini oleh Toffler dianalogikan dengan
gelombang (wave) yang menyapu bersih kehidupan sebelumnya untuk berganti dengan
yang baru. Toffler dikenal luas setelah memperkenalkan frasa gelombang ketiga
(the third wave) yang menandakan telah terjadi tiga kali gelombang besar atau
disrupsi sepanjang sejarah manusia yang diidentifikasi olehnya.
Gelombang
pertama terjadi pada masa revolusi pertanian ketika manusia hidup menetap
dengan membuat permukiman untuk mengakhiri masa hidup berpindah-pindah atau
nomaden. Setelah itu kehidupan manusia cenderung stabil, hanya pengembangan
yang berpijak dari gelombang pertama, sampai datang gelombang kedua pada
revolusi industri pertama yang dimulai pertengahan abad ke-17 di Inggris dan
kemudian menjalar ke wilayah Eropa lainnya hingga Amerika Utara. Di tempat
terakhir inilah terjadi hentakan gelombang ketiga pada tahun 1970an yang
menandai awal revolusi industri informasi.
Pertanyaannya,
dari mana datangnya disrupsi? Sebagaimana telah saya kutip pada paragraf kedua
di atas, disrupsi terjadi sebab penerapan teknologi baru dalam kehidupan
manusia. Di sini relevansi pembedaan antara penemuan (invention) dan inovasi
(innovation) yang dilakukan Joseph Schumpeter. Penciptaan teknologi yang merupakan
aktivitas penemuan tidak serta merta akan mengubah cara hidup manusia sampai
digunakan yang merupakan aktivitas inovasi.
Pandangan
Schumpeter memiliki keselarasan dengan pernyataan Jacques Attali, seorang kolega Alvin Toffler yang menjelaskan peran teknologi untuk mempertahankan penguasaan
terhadap pasar. Ketika pasar lesu ditandai dengan pendapatan yang terus
menurun, maka teknologi baru harus dicipta untuk menggairahkan
kembali pasar, sehingga pendapatan dapat kembali tumbuh. Dengan kata lain
Attali hendak menyampaikan revolusi industri dengan perangkat teknologi baru
yang terus dicipta dan diterapkan dalam kehidupan manusia memiliki orientasi
ekonomi yang berasaskan paham Kapitalisme, tidak terkecuali Metaverse yang kini
sedang gandrung dirapal sebagai teknologi khas 4.0.
Progresivitas
teknologi yang menjadi pusat gelombang disrupsi merupakan pandangan khas
Modernisme yang mengandaikan sejarah melaju dalam garis linier ke arah depan
dengan meninggalkan masa silam. Teknologi baru dicipta dan diterapkan untuk
menggantikan yang telah usang. Barang siapa menolak gelombang besar ini, maka ia
akan hanyut tergulung ombak. Anthony Giddens memiliki perumpamaan yang menarik
untuk menggantikan gelombang. Disrupsi layaknya Juggernaut yang siap melindas
siapa pun jika tak turut ikut dalam gerak kemajuan.
Sebab
itu, disrupsi bukanlah fenomena Posmodernisme yang mengandaikan sejarah
bagaikan patahan yang tak bermula dan tak memiliki tujuan. Sejarah adalah hari
ini tanpa kepastian datangnya masa depan dan raibnya masa lalu ditelan
perubahan. Dengan pandangan demikian, Posmodernisme yang berorientasi pada
pelepasan hasrat mendapatkan legitimasinya untuk menikmati hidup saat ini dan
di sini, sekarang juga tanpa menunggu esok hari. Dalam konteks inilah kita
dapat memahami tudingan Jurgen Habermas yang menyatakan Posmodern hanya
akal-akalan untuk mendulang keuntungan dengan memanfaatkan capaian Pencerahan.
Teknologi
di tangan Modernisme yang ditujukan untuk penguasaan ekonomi, oleh
Posmodernisme digunakan untuk pelepasan hasrat. Tinggal menunggu waktu saja persoalan
hawa nafsu akan merambah Metaverse yang berjalin kelindan dengan kepentingan
ekonomi. Tepatlah analisis Yasraf Amir Piliang yang mengungkap kemenangan
Modernisme atas Posmodernisme, sebab Kapitalisme yang lahir dari rahim
Modernisme telah mampu memperalat musuh bebuyutannya untuk meraup akumulasi
modal berlipat.
Memperhatikan
kajian yang dilakukan Attali, kita patut waspada disrupsi akan kembali terjadi
berkali-kali semasih industrialisasi yang digawangi manusia tamak terus
bergulir. Kita patut waspada terhadap penciptaan teknologi baru, sebab jika
diterapkan bisa jadi akan menggulirkan gelombang keempat, kelima, bahkan
seterusnya. Dalam kondisi percepatan aliran gelombang ini, patutlah kita
merenungi apa yang bisa kita lakukan dengan Islam yang kita yakini untuk
menghadapi zaman yang terus berganti. Jangan sekali-kali agama samawi dari
penutup para Nabi hanya dijadikan penghibur hati, bahwa semua kekalahan ini ialah
takdir Ilahi. Jika begitu sikap kita, habislah umat ini! Lalu kita harus
bagaimana?!
___
Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis pada hari Rabu, 30 Maret 2022.
Editor: Ferdi
0 comments: