Rabu, 13 April 2022

ANAK-ANAK DI MASJID, HARUS DILARANG?

Sumber: alhuda.or.id

Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Kembali saya akan menanggapi persoalan yang sedang menjadi perbincangan di lini masa FB dari perspektif bidang yang saya geluti, yakni larangan membawa anak-anak ke masjid jika menyebabkan keributan karena akan menganggu kekhusyukan jamaah shalat. Karenanya wajib bagi orang tua yang membawa anak ke masjid untuk mendidik dan mendampingi anaknya agar tidak membuat keributan. Selain itu, lebih baik anak yang belum akil balig tidak diajak ke masjid karena pada usia tersebut anak belum bisa dikondisikan. Begitu deretan tanggapan dari para ahli agama yang saya jumpai di lini masa mengenai permasalahan tadi.

Tentu saja saya tidak akan membahas dari perspektif agama, dalam hal ini adalah fikih. Saya akan mengulasnya dari bagian ilmu agama yang lain, yakni Arsitektur Islam. Pertama-tama kita harus pahami terlebih dahulu tata ruang masjid merujuk pada Masjid Nabawi pada masa awal yang tidak saja terdiri dari ruang shalat yang disebut haram atau zulla, tetapi juga memiliki ruang serambi dan halaman terbuka. Tiga ruang ini merupakan cetak dasar tata ruang masjid di mana pun masjid didirikan, termasuk di Nusantara.

Masalah kekinian terkait aspek tata ruang masjid adalah hanya menyisakan ruang shalat, dengan luasan ruang serambi yang minim, dan hilangnya halaman terbuka. Salah satu penyebabnya dikarenakan harga tanah yang mahal di lingkungan perkotaan, sehingga tidak dibiarkan sejengkal pun petak tanah tidak terbangun yang dilegitimasi dengan ajaran agama sebagai upaya menghindari sikap mubazir. Akibatnya, dalam konteks bahasan tulisan ini, anak-anak yang dibawa ke masjid hanya memiliki ruang shalat untuk tempatnya berkegiatan. Sudah bisa ditebak, potensi mengganggu jamaah lain pun semakin meningkat.

Saya akan langsung pada contoh saja. Masjid di permukiman kami memiliki ruang serambi dan halaman terbuka yang terbilang luas. Di dua ruang itulah anak-anak bermain saat orang tuanya melaksanakan ibadah shalat. Di serambi yang terbuka tanpa dinding, anak-anak bisa berkumpul dengan sebayanya. Agar semakin betah, sekaligus lebih mudah dikontrol, sebagian koleksi Rumah Baca Esa kami pindahkan ke serambi masjid untuk dibaca oleh anak-anak secara individual maupun kelompok.

Selain itu, anak-anak juga biasa bermain di halaman terbuka yang dilengkapi dengan dua buah ayunan dan dua buah gawang untuk bermain futsal. Lari-lari hingga glesotan dan hujan-hujanan dapat dilakukan di ruang ini. Dengan begitu, keberadaan anak di masjid tidak akan mengganggu aktivitas ibadah orang tua di ruang utama masjid pada waktu-waktu anak sedang tidak mau mengikuti ibadah.

Saat ini anak-anak dari usia TK kecil yang sering bermain di masjid permukiman kami, sedang senang-senangnya bermain di area kolam ikan yang memisahkan bangunan utama untuk shalat dengan bangunan toilet dan wudhu. Fasilitas seperti ini ternyata juga bisa digunakan untuk mengontrol kegiatan anak-anak di masjid, sehingga tidak berlarian dan membuat keributan di ruang shalat. Untuk keamanan anak-anak saat orang tua melaksanakan ibadah shalat, pintu pagar masjid kami tutup agar mereka tidak berlarian ke arah jalan atau untuk mencegah tindakan kriminal lainnya, selain penjagaan dari beberapa ibu yang datang ke masjid dalam kondisi tidak shalat hanya untuk menemani dan mengawasi anak-anak.

Dengan kondisi masjid yang ramah bagi anak dari aspek spasial maupun sosial, kami memberanikan diri mengajak Esa dan Nalar berkegiatan di masjid sejak usianya menginjak 1 tahun beberapa bulan, padahal saat itu kami terhitung warga baru di lingkungan permukiman. Sempat pada masa awal diajak ke masjid, saat itu bulan Ramadhan, Esa memukul kaca jendela yang memisahkan antara ruang shalat dan serambi. Atas perbuatan itu saya meminta maaf kepada ketua takmir karena dikhawatirkan mengganggu jamaah yang lain. Tetapi beliau justru memaklumi, begitu pula seluruh jamaah.

Lambat laun saya memahami mekanisme sosial yang berlangsung di masjid. Kami mengetahui anak siapa saja yang berkegiatan di masjid, dan kami turut mengawasi serta mengontrol perilaku mereka. Kehadiran anak-anak di masjid bukan saja tanggung jawab orang tua untuk mendampingi, tetapi juga peran seluruh jamaah karena bagaimana pun anak-anak juga merupakan bagian dari masyarakat Islam yang berpusat di masjid. Mereka juga berhak mendapatkan pendidikan dan perlindungan dari lingkungan sosialnya.

Satu kasus saja. Suatu hari Nalar tiba-tiba menangis saat Shalat Tarawih berlangsung karena melihat seorang bude yang berada di belakang shaf Bunda. Karena tidak bisa dikondisikan lagi, maka Bunda mengajak Nalar pulang. Inilah kelebihan masjid permukiman yang tidak membutuhkan mobilisasi spasial dalam jarak yang jauh dari rumah. Keesokan harinya, bude tersebut memilih shaf yang berjauhan dari Bunda agar Nalar tidak takut.

Pada kasus yang lain, saat ngaji Surah Al-Kahfi rutin malam Jumat, baru saja membaca basmalah, anak-anak pria langsung grudukan ke luar ruang shalat untuk bermain bola sampai waktu makan bersama tiba selepas ngaji. Pekan depannya saya tantang mereka, kalau ikut ngaji sampai 10 ayat saja akan mendapatkan jatah makanan berlipat, tetapi kalau tidak bisa, mereka harus membantu bersih-bersih setelah makan bersama.

Demikian upaya kami memperkenalkan masjid kepada anak-anak sejak dini dan menghadirkan masjid yang ramah bagi mereka untuk bertumbuh dan menjadi bagian dari masyarakat Islam. Tidak saja memenuhi kebutuhan ruang untuk mereka berkegiatan di masjid agar meminimalkan gangguan terhadap berlangsungnya aktivitas ibadah, tetapi juga menyediakan lingkungan sosial yang terbuka, melindungi, mendidik, dan mengayomi mereka. Inilah ciri khas Arsitektur Islam yang selalu mengkaitkan ruang dengan kehadiran manusia yang berkesadaran Islam.

Sebagai penutup saya akan menyampaikan pesan bapak ketua takmir masjid kami yang saat ini menjadi penasihat takmir. Anak-anak kita tidak akan selamanya kecil. Sebentar saja mereka akan menjadi bagian dari remaja masjid, kemudian menjadi takmir masjid. Jangan sampai mereka jauh dari masjid karena masa depan masjid ini dan jamaah ada pada generasi mereka. Jadi, hilangnya anak-anak dari masjid adalah ancaman bagi keberlanjutan pengelolaan masjid pada masa depan, yang berarti ancaman pula bagi keberlangsungan masyarakat Islam masa mendatang!**

___

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang

**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis (Andika Saputra) pada hari Kamis, 7 April 2022. 

Editor: Ferdi

Sebelumnya
Next Post

0 comments: