Sumber: alhuda.or.id
Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*
Kembali saya akan menanggapi persoalan yang sedang
menjadi perbincangan di lini masa FB dari perspektif bidang yang saya geluti,
yakni larangan membawa anak-anak ke masjid jika menyebabkan keributan karena
akan menganggu kekhusyukan jamaah shalat. Karenanya wajib bagi orang tua yang
membawa anak ke masjid untuk mendidik dan mendampingi anaknya agar tidak
membuat keributan. Selain itu, lebih baik anak yang belum akil balig tidak
diajak ke masjid karena pada usia tersebut anak belum bisa dikondisikan. Begitu
deretan tanggapan dari para ahli agama yang saya jumpai di lini masa mengenai
permasalahan tadi.
Tentu saja saya tidak akan membahas dari perspektif
agama, dalam hal ini adalah fikih. Saya akan mengulasnya dari bagian ilmu agama
yang lain, yakni Arsitektur Islam. Pertama-tama kita harus pahami terlebih
dahulu tata ruang masjid merujuk pada Masjid Nabawi pada masa awal yang tidak
saja terdiri dari ruang shalat yang disebut haram atau zulla, tetapi juga memiliki ruang
serambi dan halaman terbuka. Tiga ruang ini merupakan cetak dasar tata ruang
masjid di mana pun masjid didirikan, termasuk di Nusantara.
Masalah kekinian terkait aspek tata ruang masjid
adalah hanya menyisakan ruang shalat, dengan luasan ruang serambi yang minim,
dan hilangnya halaman terbuka. Salah satu penyebabnya dikarenakan harga tanah
yang mahal di lingkungan perkotaan, sehingga tidak dibiarkan sejengkal pun
petak tanah tidak terbangun yang dilegitimasi dengan ajaran agama sebagai upaya
menghindari sikap mubazir. Akibatnya, dalam konteks bahasan tulisan ini, anak-anak yang dibawa ke
masjid hanya memiliki ruang shalat untuk tempatnya berkegiatan. Sudah bisa
ditebak, potensi mengganggu jamaah lain pun semakin meningkat.
Saya akan langsung pada contoh saja. Masjid di
permukiman kami memiliki ruang serambi dan halaman terbuka yang terbilang luas.
Di dua ruang itulah anak-anak bermain saat orang tuanya melaksanakan ibadah
shalat. Di serambi yang terbuka tanpa dinding, anak-anak bisa berkumpul dengan
sebayanya. Agar semakin betah, sekaligus lebih mudah dikontrol, sebagian
koleksi Rumah Baca Esa kami pindahkan ke serambi masjid untuk dibaca oleh
anak-anak secara individual maupun kelompok.
Selain itu, anak-anak juga biasa bermain di halaman
terbuka yang dilengkapi dengan dua buah ayunan dan dua buah gawang untuk bermain
futsal. Lari-lari hingga glesotan dan hujan-hujanan dapat dilakukan di
ruang ini. Dengan begitu, keberadaan anak di masjid tidak akan mengganggu
aktivitas ibadah orang tua di ruang utama masjid pada waktu-waktu anak sedang
tidak mau mengikuti ibadah.
Saat ini anak-anak dari usia TK kecil yang sering
bermain di masjid permukiman kami, sedang senang-senangnya bermain di area
kolam ikan yang memisahkan bangunan utama untuk shalat dengan bangunan toilet
dan wudhu. Fasilitas seperti ini ternyata juga bisa digunakan untuk mengontrol
kegiatan anak-anak di masjid, sehingga tidak berlarian dan membuat keributan di
ruang shalat. Untuk keamanan anak-anak saat orang tua melaksanakan ibadah
shalat, pintu pagar masjid kami tutup agar mereka tidak berlarian ke arah jalan
atau untuk mencegah tindakan kriminal lainnya, selain penjagaan dari beberapa
ibu yang datang ke masjid dalam kondisi tidak shalat hanya untuk menemani dan
mengawasi anak-anak.
Dengan kondisi masjid yang ramah bagi anak dari aspek
spasial maupun sosial, kami memberanikan diri mengajak Esa dan Nalar
berkegiatan di masjid sejak usianya menginjak 1 tahun beberapa bulan, padahal
saat itu kami terhitung warga baru di lingkungan permukiman. Sempat pada masa
awal diajak ke masjid, saat itu bulan Ramadhan, Esa memukul kaca jendela yang
memisahkan antara ruang shalat dan serambi. Atas perbuatan itu saya meminta
maaf kepada ketua takmir karena dikhawatirkan mengganggu jamaah yang lain.
Tetapi beliau justru memaklumi, begitu pula seluruh jamaah.
Lambat laun saya memahami mekanisme sosial yang
berlangsung di masjid. Kami mengetahui anak siapa saja yang berkegiatan di
masjid, dan kami turut mengawasi serta mengontrol perilaku mereka. Kehadiran
anak-anak di masjid bukan saja tanggung jawab orang tua untuk mendampingi, tetapi
juga peran seluruh jamaah karena bagaimana pun anak-anak juga merupakan bagian dari
masyarakat Islam yang berpusat di masjid. Mereka juga berhak mendapatkan
pendidikan dan perlindungan dari lingkungan sosialnya.
Satu kasus saja. Suatu hari Nalar tiba-tiba menangis
saat Shalat Tarawih berlangsung karena melihat seorang bude yang berada
di belakang shaf Bunda. Karena tidak bisa dikondisikan lagi, maka Bunda mengajak
Nalar pulang. Inilah kelebihan masjid permukiman yang tidak membutuhkan mobilisasi
spasial dalam jarak yang jauh dari rumah. Keesokan harinya, bude
tersebut memilih shaf yang berjauhan dari Bunda agar Nalar tidak takut.
Pada kasus yang lain, saat ngaji Surah Al-Kahfi rutin
malam Jumat, baru saja membaca basmalah, anak-anak pria langsung grudukan
ke luar ruang shalat untuk bermain bola sampai waktu makan bersama tiba selepas
ngaji. Pekan depannya saya tantang mereka, kalau ikut ngaji sampai 10
ayat saja akan mendapatkan jatah makanan berlipat, tetapi kalau tidak bisa,
mereka harus membantu bersih-bersih setelah makan bersama.
Demikian upaya kami memperkenalkan masjid kepada
anak-anak sejak dini dan menghadirkan masjid yang ramah bagi mereka untuk
bertumbuh dan menjadi bagian dari masyarakat Islam. Tidak saja memenuhi
kebutuhan ruang untuk mereka berkegiatan di masjid agar meminimalkan gangguan
terhadap berlangsungnya aktivitas ibadah, tetapi juga menyediakan lingkungan
sosial yang terbuka, melindungi, mendidik, dan mengayomi mereka. Inilah ciri
khas Arsitektur Islam yang selalu mengkaitkan ruang dengan kehadiran manusia
yang berkesadaran Islam.
Sebagai penutup saya akan menyampaikan pesan bapak
ketua takmir masjid kami yang saat ini menjadi penasihat takmir. Anak-anak kita
tidak akan selamanya kecil. Sebentar saja mereka akan menjadi bagian dari
remaja masjid, kemudian menjadi takmir masjid. Jangan sampai mereka jauh dari
masjid karena masa depan masjid ini dan jamaah ada pada generasi mereka. Jadi,
hilangnya anak-anak dari masjid adalah ancaman bagi keberlanjutan pengelolaan
masjid pada masa depan, yang berarti ancaman pula bagi keberlangsungan
masyarakat Islam masa mendatang!**
___
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang
**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis (Andika Saputra) pada hari Kamis, 7 April 2022.
Editor: Ferdi
0 comments: