----
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang
Editor : Alfrisa Ica
Menyuburkan Kesadaran Ilmu
----
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang
Editor : Alfrisa Ica
Sumber: alhuda.or.id
Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*
Kembali saya akan menanggapi persoalan yang sedang
menjadi perbincangan di lini masa FB dari perspektif bidang yang saya geluti,
yakni larangan membawa anak-anak ke masjid jika menyebabkan keributan karena
akan menganggu kekhusyukan jamaah shalat. Karenanya wajib bagi orang tua yang
membawa anak ke masjid untuk mendidik dan mendampingi anaknya agar tidak
membuat keributan. Selain itu, lebih baik anak yang belum akil balig tidak
diajak ke masjid karena pada usia tersebut anak belum bisa dikondisikan. Begitu
deretan tanggapan dari para ahli agama yang saya jumpai di lini masa mengenai
permasalahan tadi.
Tentu saja saya tidak akan membahas dari perspektif
agama, dalam hal ini adalah fikih. Saya akan mengulasnya dari bagian ilmu agama
yang lain, yakni Arsitektur Islam. Pertama-tama kita harus pahami terlebih
dahulu tata ruang masjid merujuk pada Masjid Nabawi pada masa awal yang tidak
saja terdiri dari ruang shalat yang disebut haram atau zulla, tetapi juga memiliki ruang
serambi dan halaman terbuka. Tiga ruang ini merupakan cetak dasar tata ruang
masjid di mana pun masjid didirikan, termasuk di Nusantara.
Masalah kekinian terkait aspek tata ruang masjid
adalah hanya menyisakan ruang shalat, dengan luasan ruang serambi yang minim,
dan hilangnya halaman terbuka. Salah satu penyebabnya dikarenakan harga tanah
yang mahal di lingkungan perkotaan, sehingga tidak dibiarkan sejengkal pun
petak tanah tidak terbangun yang dilegitimasi dengan ajaran agama sebagai upaya
menghindari sikap mubazir. Akibatnya, dalam konteks bahasan tulisan ini, anak-anak yang dibawa ke
masjid hanya memiliki ruang shalat untuk tempatnya berkegiatan. Sudah bisa
ditebak, potensi mengganggu jamaah lain pun semakin meningkat.
Saya akan langsung pada contoh saja. Masjid di
permukiman kami memiliki ruang serambi dan halaman terbuka yang terbilang luas.
Di dua ruang itulah anak-anak bermain saat orang tuanya melaksanakan ibadah
shalat. Di serambi yang terbuka tanpa dinding, anak-anak bisa berkumpul dengan
sebayanya. Agar semakin betah, sekaligus lebih mudah dikontrol, sebagian
koleksi Rumah Baca Esa kami pindahkan ke serambi masjid untuk dibaca oleh
anak-anak secara individual maupun kelompok.
Selain itu, anak-anak juga biasa bermain di halaman
terbuka yang dilengkapi dengan dua buah ayunan dan dua buah gawang untuk bermain
futsal. Lari-lari hingga glesotan dan hujan-hujanan dapat dilakukan di
ruang ini. Dengan begitu, keberadaan anak di masjid tidak akan mengganggu
aktivitas ibadah orang tua di ruang utama masjid pada waktu-waktu anak sedang
tidak mau mengikuti ibadah.
Saat ini anak-anak dari usia TK kecil yang sering
bermain di masjid permukiman kami, sedang senang-senangnya bermain di area
kolam ikan yang memisahkan bangunan utama untuk shalat dengan bangunan toilet
dan wudhu. Fasilitas seperti ini ternyata juga bisa digunakan untuk mengontrol
kegiatan anak-anak di masjid, sehingga tidak berlarian dan membuat keributan di
ruang shalat. Untuk keamanan anak-anak saat orang tua melaksanakan ibadah
shalat, pintu pagar masjid kami tutup agar mereka tidak berlarian ke arah jalan
atau untuk mencegah tindakan kriminal lainnya, selain penjagaan dari beberapa
ibu yang datang ke masjid dalam kondisi tidak shalat hanya untuk menemani dan
mengawasi anak-anak.
Dengan kondisi masjid yang ramah bagi anak dari aspek
spasial maupun sosial, kami memberanikan diri mengajak Esa dan Nalar
berkegiatan di masjid sejak usianya menginjak 1 tahun beberapa bulan, padahal
saat itu kami terhitung warga baru di lingkungan permukiman. Sempat pada masa
awal diajak ke masjid, saat itu bulan Ramadhan, Esa memukul kaca jendela yang
memisahkan antara ruang shalat dan serambi. Atas perbuatan itu saya meminta
maaf kepada ketua takmir karena dikhawatirkan mengganggu jamaah yang lain.
Tetapi beliau justru memaklumi, begitu pula seluruh jamaah.
Lambat laun saya memahami mekanisme sosial yang
berlangsung di masjid. Kami mengetahui anak siapa saja yang berkegiatan di
masjid, dan kami turut mengawasi serta mengontrol perilaku mereka. Kehadiran
anak-anak di masjid bukan saja tanggung jawab orang tua untuk mendampingi, tetapi
juga peran seluruh jamaah karena bagaimana pun anak-anak juga merupakan bagian dari
masyarakat Islam yang berpusat di masjid. Mereka juga berhak mendapatkan
pendidikan dan perlindungan dari lingkungan sosialnya.
Satu kasus saja. Suatu hari Nalar tiba-tiba menangis
saat Shalat Tarawih berlangsung karena melihat seorang bude yang berada
di belakang shaf Bunda. Karena tidak bisa dikondisikan lagi, maka Bunda mengajak
Nalar pulang. Inilah kelebihan masjid permukiman yang tidak membutuhkan mobilisasi
spasial dalam jarak yang jauh dari rumah. Keesokan harinya, bude
tersebut memilih shaf yang berjauhan dari Bunda agar Nalar tidak takut.
Pada kasus yang lain, saat ngaji Surah Al-Kahfi rutin
malam Jumat, baru saja membaca basmalah, anak-anak pria langsung grudukan
ke luar ruang shalat untuk bermain bola sampai waktu makan bersama tiba selepas
ngaji. Pekan depannya saya tantang mereka, kalau ikut ngaji sampai 10
ayat saja akan mendapatkan jatah makanan berlipat, tetapi kalau tidak bisa,
mereka harus membantu bersih-bersih setelah makan bersama.
Demikian upaya kami memperkenalkan masjid kepada
anak-anak sejak dini dan menghadirkan masjid yang ramah bagi mereka untuk
bertumbuh dan menjadi bagian dari masyarakat Islam. Tidak saja memenuhi
kebutuhan ruang untuk mereka berkegiatan di masjid agar meminimalkan gangguan
terhadap berlangsungnya aktivitas ibadah, tetapi juga menyediakan lingkungan
sosial yang terbuka, melindungi, mendidik, dan mengayomi mereka. Inilah ciri
khas Arsitektur Islam yang selalu mengkaitkan ruang dengan kehadiran manusia
yang berkesadaran Islam.
Sebagai penutup saya akan menyampaikan pesan bapak
ketua takmir masjid kami yang saat ini menjadi penasihat takmir. Anak-anak kita
tidak akan selamanya kecil. Sebentar saja mereka akan menjadi bagian dari
remaja masjid, kemudian menjadi takmir masjid. Jangan sampai mereka jauh dari
masjid karena masa depan masjid ini dan jamaah ada pada generasi mereka. Jadi,
hilangnya anak-anak dari masjid adalah ancaman bagi keberlanjutan pengelolaan
masjid pada masa depan, yang berarti ancaman pula bagi keberlangsungan
masyarakat Islam masa mendatang!**
___
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang
**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis (Andika Saputra) pada hari Kamis, 7 April 2022.
Editor: Ferdi
----
*Mahasiswa Fakultas Hukum UMS, Pegiat SEED Institute
Editor : Alfrisa Ica
Sumber: Facebook Andika Saputra |
Oleh: Andika Saputra,
S.T., M.Sc.*
Sepekan ini media sosial FB di lini masa saya
marak membincangkan dengan nada pro dan kontra terkait peristiwa pembacaan
Al-Qur'an di Malioboro, Yogyakarta, dan Shalat Tarawih yang diselenggarakan di
Times Square, New York, Amerika Serikat yang keduanya dihadiri oleh sekitar
1.000 orang umat Islam.
Kedua peristiwa tadi, walaupun terjadi di dua
tempat dan waktu yang berbeda, memiliki kesamaan. Pertama, keduanya merupakan
kegiatan yang bermuatan spiritualitas Islam dan merupakan realisasi dari
keimanan umat Islam. Kedua, dua peristiwa terjadi di ruang ekonomi yang menjadi
pusat dan ikon masing-masing wilayah. Times Square merupakan pusat perekonomian
New York sebagaimana Malioboro adalah ikon ekonomi Yogyakarta.
Dalam pandangan arus utama, modernisasi
melalui industrialisasi mensyaratkan diterapkannya paham Sekularisme dalam
kehidupan masyarakat. Dengan begitu ruang ekonomi sepenuhnya menjadi bersifat
profan, terputus hubungan dari ruang sakral, sehingga kegiatan ekonomi dapat
dilangsungkan dengan sepenuhnya bergantung pada mekanisme pasar, tanpa
keterlibatan apalagi pembatasan dan kekangan dari nilai agama yang berasal dari
Tuhan. Dari sinilah munculnya persepsi bahwasanya tabu dicampurinya urusan jual
beli yang duniawi dengan aktivitas keagamaan yang sakral. Tidak ada tempat yang
lebih pantas untuk mewadahi kegiatan keagamaan selain di ruang peribadatan,
dalam peristiwa ini ialah masjid.
Ruang ekonomi yang sepenuhnya kosong dari
spiritualitas dan otoritas agama adalah yang dimaksud sebagai ruang yang paling
dibenci oleh Tuhan dalam suatu kota, sebagaimana termuat dalam salah satu
Hadits Rasul. Sebabnya, kegiatan perekonomian yang menyangkut hajat hidup
masyarakat luas, jika dipisahkan dari ketentuan dan aturan dari Tuhan yang
termuat dalam agama akan berpotensi terjadinya eksploitasi yang merugikan salah
satu pihak, yakni pembeli atau pedagang. Lebih jauh lagi, eksploitasi merembet
hingga menyebabkan kesenjangan kelas ekonomi yang semakin jauh.
Spasialisasi agama di ruangnya sendiri sebagai akibat penerapan paham
Sekularisme dalam kehidupan, menurut Kuntowijoyo dalam bukunya berjudul Budaya
dan Masyarakat, adalah biang terjadinya dampak buruk dari proses
modernisasi yang terjadi melalui industrialisasi. Tidak saja masalah
lingkungan, tetapi juga berdampak buruk pada kehidupan manusia akibat orientasi
hidup serba ekonomi. Keberadaan ruang ibadah di dekat, sebelah, bahkan di dalam
ruang ekonomi pun tidak otomatis menyelesaikan masalah karena justru akan
menyebabkan subordinasi masjid di bawah otoritas pasar dengan hanya menjadi
salah satu fungsi pendukung bagi kegiatan ekonomi yang merupakan aktivitas
utama.
Muncullah masalah lain yang oleh Kuntowijoyo
diberinya istilah masjid stanplat bus untuk menggambarkan kondisi masjid yang
ramai, tetapi setelah shalat selesai diselenggarakan, semua jamaah bubar begitu
saja, persis layaknya halte bus. Sehingga keberadaan masjid dan melubernya
jamaah shalat tidak mampu mempengaruhi pasar dan kegiatan perekonomian. Sebab
kedudukannya sebagai fasilitas pendukung justru menjadikan masjid sebatas
sebagai ruang rehat sejenak bagi umat Islam di sela kegiatan ekonomi yang
menjadi prioritasnya dalam kehidupan sehari-hari.
Kuntowijoyo menghendaki pasar di bawah
otoritas masjid yang merupakan pusat spiritualitas Islam. Dengan kata lain pasar
dan kegiatan perekonomian yang berlangsung di dalamnya harus terintegrasi dan
lekat dengan ruang yang paling dicintai oleh Tuhan. Lebih jauh memang tidak
diulas oleh Kuntowijoyo perihal strategi dan cara untuk merealisasikan gagasan
tersebut. Saya mengira-ngira, strategi rembesan struktural dan kultural dapat
dieksperimentasikan untuk mewujudkan gagasan tadi.
Strategi struktural berupaya menempatkan pasar
secara manajerial di bawah otoritas masjid. Dengan kata lain, sumber
spiritualitas sekaligus berperan sebagai sumber penggerak perekonomian. Tidak
usah jauh-jauh mencari contoh, artikel berjudul Masjid dan Potensi Wisata Religi yang ditulis oleh ustadz Arif Sulfiantono memotret geliat pasar
rakyat yang dimotori Masjid Jogokariyan Yogyajarta maupun pasar di area Masjid Pemuda Surabaya yang digawangi ustadz Ibra Maulan Tigotsulatsi, dan pasar yang rutin diselenggarakan di depan area Masjid Baitul Makmur Denpasar.
Memang penerapan strategi struktural
berpotensi besar menimbulkan konflik sosial karena berorientasi pada penguasaan
ruang pasar, apalagi jika intervensi dilakukan pada pasar yang telah eksis dan
besar, seperti Times Square dan Malioboro. Dari sinilah penolakan terhadap
aktivitas membaca Al-Quran yang secara masif dilakukan di Malioboro dengan argumentasi
ketiadaan izin dari pihak otoritas. Sedangkan terkait aspek yang sama pada
peristiwa Shalat Tarawih di Times Square, New York, sebagaimana informasi yang
disampaikan ustadz Shamsi Ali merupakan realisasi dari religious freedom
di Amerika Serikat sekaligus sebagai ekspresi umat Islam di tengah masyarakat
yang plural.
Sementara itu strategi kultural berupaya
mempengaruhi kegiatan dan orientasi aktivitas ekonomi di pasar melalui
keterlibatan pelaku yang memiliki ikatan spiritualitas dengan masjid. Dua peristiwa
yang saya kutip dalam tulisan ini lebih tepat dipandang sebagai strategi kultural melalui intervensi
kegiatan jual beli di pasar dengan melangsungkan kegiatan membaca Al-Quran dan
Shalat Tarawih. Tetapi saya menduga, dua kegiatan ini lebih bersifat
seremonial, hanya dilangsungkan sekali atau beberapa kali dalam rangka
menyambut Ramadhan, sehingga hampir-hampir tidak akan menyisakan dampak bagi
kegiatan ekonomi.
Kembali merujuk kepada Kuntowijoyo yang
merumuskan etika profetik berdasar perenungannya terhadap Surah Ali-Imran: 110, strategi
struktural berasaskan Liberasi untuk membebaskan manusia dari segala struktur
yang merusak kemanusiaan dan kehidupannya, sedangkan strategi kultural
dilandasi Transendensi untuk menciptakan kehidupan dan cara hidup yang lekat
dengan spiritualitas Islam. Untuk yang terakhir secara spesifik Kuntowijoyo
menyebutnya dengan spiritualisasi kebudayaan.
Dua strategi untuk menempatkan masjid sebagai
otoritas bagi ruang pasar adalah keniscayaan jika merujuk pada konsep masjid
sebagai tempat sujud yang berdimensi lahir dan batin, sehingga mewadahi
kegiatan ibadah mahdhah yang berorientasi vertikal dan akhirat dan
ibadah ghairu mahdhah yang berorientasi horisontal dan keduniaan.
Dengan kata lain, orientasi hidup umat Islam mencakup akhirat sekaligus dunia,
begitu pula dengan masjid yang menjadi pusat bagi masyarakat Islam pun
menyandang tujuan akhirat dan dunia sekaligus. Karenanya masjid pun memiliki
peran di bidang ekonomi untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan.
Dari penjelasan paragraf di atas, peristiwa
Shalat Tarawih di Times Square seharusnya berawal dari 300 masjid yang tersebar
di seluruh New York, dan pembacaan Al-Quran di sepanjang jalan Malioboro
didukung masjid-masjid di seputar wilayah tersebut. Terlepas dari itu, dua
peristiwa di Times Square dan Malioboro dapat dipandang sebagai luberan
spiritualitas Islam dari masjid memenuhi ruang ekonomi yang profan. Memang saat
ini masih seremonial, tetapi paling tidak peristiwa tersebut menjadi kritik dan
penyeimbang kehidupan perkotaan modern yang materialistik, bahkan ateistik.
Oleh karenanya agenda liberasi dan transendensi mutlak direalisasikan terhadap
ruang ekonomi!**
___
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang
**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis (Andika Saputra) pada hari Senin, 4 April 2022.
Editor: Ferdi
Sumber: unplash.com |
Oleh: Muhammad Ibnu Masngud*
Sebuah Realitas
Saat libur akhir
semester gasal tanpa sengaja saya bertemu dengan ibu dari kakak kelas saya saat
sekolah menengah pertama, kebetulan dia baru saja mendapatkan gelar sarjananya.
“Fulan (nama samaran) di rumah nggak Bu?” tanya saya sekedar basa-basi. Setelah
menjawab pertanyaan saya, diluar dugaan beliau menceritakan bahwa anaknya lulus
menggunakan jasa joki skripsi. Namun nampaknya sama sekali tidak ada ekspresi
yang menunjukan rasa prihatin, ataupun semacamnya dari raut muka beliau.
Tak lama sebelum
itu, saya mendapatkan cerita dari kawan. Dia menyebutnya sebagai “Tragedi
Intelektual massal”. Di mana teman-temannya mengerjakan soal UAS (Ujian Akhir
Semester) berjamaah. “Masih mending kalo sambil diskusi”, ujarnya kesal.
Ternyata salah seorang temannya yang paling pandai mengirimkan seluruh jawaban
ujian ke grup kelasnya setelah selesai mengerjakan dan mendapat nilai sempurna.
Pada era
pembelajaran online, numpang nama saat kuliah, ganti nama tugas teman, dan dua
cerita di atas lumrah terjadi, sudah menjadi “rahasia umum”. Secara normatif
hal-hal di atas merupakan penyimpangan bagi seorang anggota civitas academica
(baca: masyarakat akademik) khususnya mahasiswa. Lalu apa penyebabnya? Dan
harus bagaimana?
Persoalan di atas
hanyalah secuil dari seluruh problematika pendidikan hari ini. Empat puluh
empat tahun yang lalu Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Konferensi
Internasional Pendidikan Islam yang pertama di Mekkah menyampaikan bahwa
problematika umat Islam adalah hilang adab (loss of adab). Jika kita mengamati realitas pendidikan
sekarang ternyata apa yang disampaikan beliau saat itu masih relevan sampai
hari ini.
Menurut hemat saya,
faktor utama dalam permasalahan ini adalah worldview (pandangan alam) seorang
anggota civitas academica terhadap hakikat pendidikan. Prof. Hamid Fahmy
Zarkasyi dalam bukunya Minhaj menyampaikan, “Tujuan pendidikan Islam adalah
untuk mencetak manusia seutuhnya (Insan Kamil). Artinya manusia yang memiliki
keseimbangan antara kedewasaan intelektual, spiritual dan moral.” Sayangnya
masih banyak mahasiswa muslim yang orientasi belajarnya hanya sebatas bagaimana
dia bisa mendapat pekerjaan yang layak.
Cara Pandang yang
Seharusnya
Di suatu sore
setelah lelah dengan aktivitas harian, saya menghampiri seorang teman yang
sedang sibuk dengan buku lamanya.
Setelah sedikit cerita tetang bukunya dan ngobrol ngalor ngidul, saya
memberitahunya bahwa saya baru membeli buku yang dulu pernah saya pinjam
darinya. Saya jelaskan bahwa cara pandang saya terhadap proses belajar berubah,
“Ternyata kalo mau punya ilmunya, harus punya bukunya juga karena membaca nggak
cukup sekali.”
Saya pikir dia
tidak akan banyak menanggapi, tapi dia justru berkata “Bagi yang memahami
worldview Islam cara pandangmu masih belum komprehensif.” Dia menjelaskan bahwa
seharusnya saya tidak memandang membeli buku hanya terbatas dengan pandangan
empiris semata, tapi harus melibatkan dimensi metafisik -dalam hal ini wahyu
sumbernya- dan empris secara integral. Sederhananya ketika kita mengeluarkan
biaya untuk membeli buku, selain kita lebih mudah mengaksesnya, juga akan
mendatangkan keberkahan dan kemudahan dari Allah karena menuntut ilmu adalah
jihad fi sabilillah.
Memang seharusnya
begitu cara pandang kita terhadap realitas, melibatkan dimensi empiris dan
metafisik. Dan inilah ciri utama yang membedakan antara filsafat ilmu Islam dan
filsafat ilmu Barat. Dalam epistemologi, filsafat Barat hanya menerima yang
empiris dan rasional. Sedangkan epistemologi filsafat ilmu dalam Islam
sumbernya tidak hanya yang empiris dan rasional saja, namun juga khabar shadiq
-dalam konteks ini adalah wahyu- dan intuisi.
Untuk memudahkan
kita memahami worldview Islam, Prof. Hamid memberikan contoh sederhana, “Ketika
seorang mukmin melihat daging dia tidak akan melihat kualitas daging atau
proses pengolahannya saja, namun dia akan melihat bagaimana kehalalannya dan
keberkahannya.” Jika kita kontekstualisasikan ke problematika di awal maka kita
akan temukan jawabannya, bahwa banyak mahasiswa yang memandang proses belajar
dari dimensi empiris semata sehingga menghasilkan pikiran yang materialistik.
Bahkan mungkin lebih buruk dari itu, cara pandang yang sangat pragmatis.
Dari penjelasan di
atas maka kita dapat kategorikan cara pandang pelajar terhadap hakikat
pendidikan menjadi tiga: pragmatis, kognitif, dan komprehensif (melibatkan
dimensi empiris dan metafisik). Dari ketiga kelompok itu, yang paling buruk
adalah yang pragmatis, dan yang paling baik adalah yang memandang hakikat
pendidikan secara komprehensif.
Untuk kelompok yang
pertama, jangankan berfikir tentang keberkahan, memikirkan dampak bagi kualitas
keilmuan mereka saja mungkin tidak. Mahasiswa yang pragmatis hanya memikirkan
bagaimana cara agar mereka medapat nilai tinggi dan lulus kuliah. Kelompok
kedua masih memliki kesadaran bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah untuk
meningkatkan kecerdasan kognitif. Sehingga mereka mungkin akan berpikir dua
kali untuk melakukan kecurangan, karena mereka sadar akan berdampak buruk bagi
kualitas keilmuan mereka.
Sedangkan kelempok ketiga adalah mereka yang
paham tentang hakikat dirinya sendiri dan hakikat pendidikan. Mereka sadar
bahwa dirinya adalah makhluk paripurna yang memiliki akal untuk berfikir, hati
untuk merasa dan raga untuk beramal. Dan semua itu memiliki kebutuhan: akal
perlu ilmu, hati perlu iman dan raga perlu perawatan. Mereka berusaha untuk
memenuhi seluruh kebutuhannya.
Ketika ujian, mahasiswa yang pragmatis akan
mengalalkan segala cara asal mereka mendapat IPK tinggi. Sedangkan kelompok
mahasiswa yang kedua mereka akan belajar dengan sungguh-sungguh karena sadar
bahwa ujian adalah evaluasi bagi pembelajaran mereka selama kuliah. Dan
mahasiswa yang memiliki cara pandang komprehensif paham bahwa dalam ujian tidak
sebatas tentang penguasaan materi semata, namun ada aspek yang sangat kompleks.
Meskipun ujiannya matematika, sadar atau tidak
di situ juga ada ujian iman dan akhlak. Tingkat muraqabah (merasa diawasi
Allah) diuji saat itu, seberapa jujur dan seberapa kuat kita menahan godaan
untuk berbuat curang. Bukankah kita sering mendengar ungkapan “Indonesia tidak
kekurangan orang cerdas, namun kekurangan orang jujur”, bisa jadi inilah akar
permasalahannya.
Mungkin ada yang berkilah, “Ini kan cuma
kebohongan kecil.” Pribahasa kuno Tiongkok mengatakan “Perjalanan seribu mil
itu diawali dengan langkah pertama.” Jika kita mau merenung, bukankah samudera
pasifik hanyalah kumpulan tetesan air dan sahara hanyalah kumpulan butiran
pasir? Artinya kebohongan kecil yang dilakukan terus menerus akan menjadi
kebohongan besar, dan menjadikan kita sebagai pembohong. “Engkau adalah apa
yang kau lakukan berulang-ulang”, kata Aristoteles.
Menjadi idealis di tengah realitas seperti ini
memang berat. Bisa jadi hidup kita menjadi sedikit rumit atau bahkan dibenci
oleh sebagian orang yang pragmatis, tapi itulah yang akan membentuk diri kita
menjadi pribadi yang tangguh. Dan mungkin ini maksud dari perkataan Imam
Syafi’i “Siapa yang tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu
menahan perihnya kebodohan.”
Kesimpulan
Worldview adalah faktor yang memiliki
implikasi besar terhadap sikap, keputusan, dan tindakan seseorang dalam
kehidupan termasuk pendidikan. Worldview yang salah akan menghasilkan tindakan
yang salah, jadi dapat kita pahami penyebab dari permasalahan di atas adalah
cara pandang yang keliru terhadap pendidikan. Agar worldview kita sesuai dengan
panduan Islam maka kita memerlukan ilmu dan iman dalam memandang realitas
kehidupan yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk amal-amal kebajikan.
Semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi refleksi bagi kita semua agar dapat
menjalani proses pendidikan dengan lebih baik.
La haula wala quwwata illa billah. Wallahu
a’lam bishawab.
Referensi
Hamid Fahmy Zarkasyi. 2021. Minhaj: berislam dari
ritual hingga intelektual. Jakarta: INSISTS.
Adian Husaini. 2018. Pendidikan Islam: Mewujudkan Generasi
Gemilang menuju Negara Adidaya 2045. Depok: Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa.
___
*Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UMS, Kader PK IMM Shabran 2021
Sumber: jogjaaja.com |
Oleh: Andika Saputra,
S.T., M.Sc.*
Hari pertama Ramadhan terlewati tanpa drama
karena sepanjang hari aktivitas dominan di rumah saja. Keluar rumah hanya ke
warung Bu Slamet dan ke masjid di belakang rumah yang jaraknya tidak sampai 50
meter. Perdana Ramadhan kami berbuka di rumah, karena masjid di permukiman baru
akan menyelenggarakan buka bersama hari ini. Segelas teh hangat, 2 butir kurma,
dan sepiring kecil nasi dengan lauk tahu tempe berteman sambal andalan Bunda,
sudah dapat menuntaskan lapar dan dahaga hingga selesainya ibadah shalat Tarawih,
bahkan menjelang tidur malam rasa kenyang masih bertahan.
Dipikir-pikir, ukuran lambung dan tenggorokan
manusia memang kecil. Apalagi jika mengikuti teladan Rasul, sepertiga isi perut
diperuntukkan untuk makanan, sepertiga lagi untuk minuman, dan sepertiga
sisanya dikosongkan untuk bernafas, sehingga porsi untuk makan dan minum
menjadi semakin sedikit. Hawa nafsulah yang menjadikan manusia senantiasa
merasa tidak puas dan hendak menguasai segala sumber daya seakan-akan lambung
dan tenggorokannya tak pernah merasa penuh.
Perenungan selepas waktu berbuka tadi langsung
membawa saya pada gagasan ekonomi cukup yang disampaikan oleh Radhar Panca
Dahana. Dalam buku yang diberinya judul serupa, Radhar menyampaikan sebuah
kisah yang mencerminkan realisasi gagasannya tersebut. Seorang penjual nasi
uduk di sebuah pasar tradisional di Jakarta yang telah berjualan barang
dagangan yang sama di tempat yang sama berpuluh tahun, sebelum shubuh telah
bersiap, sampai waktu dhuha dagangan digelar. Saat adzan dzuhur berkumandang,
lelaki itu telah di rumah untuk beristirahat dan beribadah, menikmati sisa hari
dengan tenang.
Tawaran untuk membuka cabang selalu
ditolaknya, pun begitu dengan permintaan untuk memperpanjang jam buka warung.
Untuk apa, kata pria itu. Toh sekitar jam 10 pagi dagangan saya sudah habis dan
hasilnya sudah cukup untuk menghidupi keluarga, begitu kilahnya. Seluruh
anaknya telah selesai kuliah dan ia bersama istri telah menunaikan ibadah haji.
Tak ada lagi yang perlu dicari. Hidupnya telah lengkap dan cukup.
Sosok yang disampaikan Radhar mengingatkan
saya kepada seorang bapak yang membantu pengendara kendaraan bermotor berputar
arah di salah satu daerah di Kartasura. Saat membagikan nasi berkat, salah satu
yang saya datangi adalah bapak tersebut yang menolak halus pemberian kami
dengan alasan sudah makan pagi tadi dan penghasilannya dalam sehari sudah cukup
untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Radhar menjelaskan gagasan ekonomi cukup
berangkat dari asumsi kerja yang dilakukan sebatas untuk memenuhi kebutuhan
hidup, bukan menuruti keinginan. Begitu kebutuhan terpenuhi, maka kerja yang
dilakukan dinilai cukup, tak perlu menambah beban dan jam kerja. Dengan gagasan
ini Radhar menyakini Kapitalisme akan runtuh dengan sendirinya karena
sebagaimana disampaikan Berger, Kapitalisme berangkat dari nafsu ketamakan
manusia yang tidak pernah puas. Kerja terus menerus dilakukan untuk
memperturutkan hawa nafsu menumpuk kekayaan yang berdampak pada eksploitasi
terhadap sesama manusia dan lingkungan.
Kembali merujuk kepada Peter Berger, tumbuhnya
Kapitalisme digawangi golongan borjuis dengan gaya hidup yang asketis, dengan
asumsi akumulasi modal hanya dapat dilakukan jika manusia memiliki sistem nilai
untuk hidup hemat. Pendapatannya diprioritaskan untuk ditabung, dan sebagiannya
lagi digunakan untuk menambah modal. Dengan demikian, kegiatan konsumsi harus
sedapat mungkin ditekan sampai batas minimal. Di sinilah peran sistem nilai
agama Protestan sebagai pembentuk gaya hidup borjuis, sebagaimana dinyatakan
Max Weber. Berger tidak sepenuhnya sependapat dengan Weber karena secara
historis, kemunculan Protestan di Jerman maupun Calvinisme di Inggris tidak
bisa dilepaskan dari campur tangan golongan borjuis yang sejak awal berhadapan
dengan kalangan aristokrat untuk memperebutkan posisi tertinggi dalam struktur
sosial masyarakat. Dengan kata lain Berger hendak mengatakan asketisme
Protestan maupun Calvin tidak dapat dielakkan merupakan tuntutan golongan
borjuis sebagai patron baru.
Berbeda dengan asketisme borjuis, Ramadhan
yang mengajarkan manusia untuk mendidik dirinya mengekang daya hewani untuk
memperturutkan daya akali, akan bermuara pada realisasi gagasan ekonomi cukup.
Bekerja untuk pemenuhan kebutuhan yang didorong kewajiban spiritual mencari
rizki yang halal serta berkah. Tidak saja kebutuhan diri dan keluarga, tetapi
juga kebutuhan kalangan lemah yang Tuhan titipkan kepada sebagian dari kita
sebagai ujian iman sekaligus jalan menuju tempat kembali yang baik.
Jika asketisme borjuis membawa pada sikap
tamak, maka Ramadhan mengajarkan manusia untuk merasa cukup, sebagaimana
penjual nasi uduk yang diceritakan Radhar dan bapak yang meniup peluit tanpa
mengenal cuaca untuk membantu pengendara berputar arah. Di dalam diri mereka,
Kapitalisme sama sekali tak mendapatkan ruang tumbuh. Maka, mari kita jadikan
momentum Ramadhan untuk mencapai kesempurnaan diri sebagai hamba yang qanaah,
wara, zuhud dan selalu bersyukur sebagai langkah awal mewujudkan kehidupan yang
dipenuhi rahmat Tuhan. Hidup yang bebas dari segala penindasan!**
___
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang
**Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis (Andika Saputra) pada hari Ahad, 3 April 2022.
Editor: Ferdi
Sumber: Instagram Yogi Theo (@yogitheo) |
Oleh: Yogi Theo Rinaldi, M.Phil.*
Dalam definisi yang umum
diketahui, fakir (faqīr, jamak: fuqarā') adalah satu kategori asnaf
mustahiqq zakat yang tidak memiliki harta dan mata pencaharian. Mereka tidak dapat mencukupi keperluan mereka pada hari ini, apatah lagi
hari esok. Berbeda dengan kategori miskin, orang miskin adalah mereka yang memiliki harta dan mata
pencaharian tetapi tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok mereka sehari-hari. Orang-orang fakir, jelaslah, lebih lemah
dibanding orang-orang miskin. Mereka sangat memerlukan bantuan para dermawan (agniyā').
Dalam ayat di atas, Allah secara
tersurat menyebut perkataan an-nās (seluruh manusia tanpa terkecuali).
Ini bermakna di dalamnya termasuk juga para agniyā' (orang-orang kaya) dalam definisi fikih zakat.
Pertanyaannya,
mengapa Allah menyeru seluruh manusia itu dengan sifat faqir? Rasanya jika
dilihat dari sudut pandang harta benda,
ini tidak sesuai sebab akan
bertentangan dengan fakta adanya orang kaya. Ayat selanjutnya
memberi isyarat yang lebih jelas bahwa ini berkenaan dengan penciptaan (khalq),
ontologis bukan fiqh.
Dalam Akidah Ahlussunnah Wal
Jama'ah (Asy'ariyyah), segala sesuatu selain Allah (yakni alam) adalah muhdats (baru/diciptakan). Ini tidak semestinya dimaknai bahwa penciptaannya hanya berlaku
pada permulaan kelahiran (konteks
manusia) melainkan segala sesuatu pada setiap waktu selalu dalam keadaan baqā (kekal)
dan fanā (binasa) atau khalq
jadīd (diciptakan dalam forma yang baru tetapi menyerupai yang asal dengan hakikat yang tsabitah/tetap).
Prinsip
kosmologi Asy'ariyyah: atom (jawhar) lā yabqa zamānain (alias
tidak dapat sustain in two moments of time) dan shu'ūn Allah (kesibukan/pekerjaan
Allah) yang senantiasa menciptakan (Qs. ar-Rahman, 55:29 kulla yawmin
huwa fi sha'n).
Jadi
wujud kita amat bergantung kepada kehendak dan kemurahan Allah. Sebab kita fakir akan wujud. Kewujudan ini
sama sekali bukan milik kita. Kita bahkan
tidak tahu nasib wujud kita beberapa waktu akan datang dan hari esok. Kelekatan kita kepada kehidupan dunia, yang menandai
keterpisahan awal (al-farq al-awwal) pada derajat jiwa yang rendah, membuat kita tidak
dapat merasakan momen kefanaan dan penciptaan baru tersebut. Layaknya lingkaran
api yang kita
lihat sempurna tersambung padahal sebenarnya ia putus-putus pada setiap
momennya.**
___
*Penulis adalah pendiri Toko Buku Lubukata; Alumnus RZS-CASIS,
Universiti Teknologi Malaysia (UTM)
**Tulisan ini diunggah pertama kali di Instagram penulis (@yogitheo)
pada hari Senin, 4 April 2022. Lihat di sini.
Editor: Ferdi
Sumber: Koleksi pribadi |
Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*
Judul tulisan ini saya ambil dari salah satu sub-bab dalam buku Sidi
Gazalba berjudul Asas Agama Islam: Pembahasan Ilmu & Filsafat tentang
Rukun Islam, Ihsan, Ikhlas, Taqwa. Buku ini diterbitkan pertama kali oleh Penerbit
Bulan Bintang pada tahun 1975. Menurut Gazalba, Islam telah mengangkat puasa ke
tingkat yang tinggi, melebihi puasa yang terdapat dalam agama-agama lainnya
(setelah beliau membandingkannya).
Sidi Gazalba (1975) mendefinisikan puasa sebagai “ibadat kepada Allah
dengan jalan menahan diri dari makan, minum, bersetubuh dan
laku-perbuatan yang dapat merugikan pendidikan kemauan dalam rangka membina
taqwa, dari fajar hingga maghrib.” (h. 140).
Berpuasa selama satu bulan merupakan proses menahan diri dari
berbagai nafsu manusia meliputi makan, minum, berhubungan suami-istri, dan
melakukan berbagai hal yang kurang/tidak bermanfaat. Nafsu-nafsu tersebut
merupakan fitrah yang ada pada tiap-tiap manusia. Puasa bukanlah untuk mematikan/melenyapkannya,
melainkan untuk mengendalikan/mengontrolnya.
Menahan diri selama bulan puasa menurut Gazalba merupakan proses pendidikan
kemauan. Kemauan yang dimaksud di sini adalah kemauan untuk tunduk pada perintah Tuhan dengan menahan diri sejak subuh sampai maghrib. Jika nafsu
belaka yang menguasai manusia, kerusakanlah yang akan terjadi. Puasa
mendisiplinkan jiwa manusia agar dapat mengendalikan nafsunya.
Proses pendidikan ini dalam rangka membina
taqwa, la’allakum tattaquun. Tattaquun dijabarkan dari kata ittaqaa
yang artinya “melindungi barang dari sesuatu, yang merusak atau merugikan,
atau melindungi diri dari sesuatu, yang dikhawatirkan berakibat merusak atau
jahat.” (h. 147).
Mengerjakan puasa berulang-ulang selama sebulan setiap tahunnya, menurut
Gazalba (1975) merupakan sistem pendidikan agar terbentuk tabiat muttaqiin,
yaitu orang yang mampu menjaga hubungan dengan Allah swt. dan terlindung dari
kejahatan (shalat menurutnya terlebih dahulu mencegah manusia dari berbuat kejahatan).
Hikmah Puasa
Hikmah puasa terdiri dari tiga dimensi, yaitu akhlak, sosial, dan
jasmani.
Puasa mendidik manusia mendisiplinkan akhlaknya untuk senantiasa menuju
amal saleh dan menjauhi amal salah, amar ma’ruf nahi munkar. Terdapat
pertarungan di dalam diri manusia antara kemauan baik dan kemauan buruk.
Sebagai lembaga pendidikan ruhani, puasa di bulan ramadhan akan memperkuat
daya kontrol nafsu. Hasilnya adalah di bulan-bulan berikutnya, di hari-hari
lainnya, kemudian selanjutnya di setiap saat, manusia mampu mengendalikan
nafsunya. Kemauan untuk senantiasa berbuat baik akan melahirkan perbuatan baik
pula, yang kemudian menjadi tabiatnya sebagai manusia. Kemauan baik mengalahkan
kemauan buruk.
Mengenai nilai sosial ibadah puasa, saya akan mengutip dua paragraf
penuh uraian Sidi Gazalba (1975),
“Dengan lapar dan haus yang dirasakan ketika puasa, sadarlah Mu’min
betapa penderitaan orang tak punya itu menderita, sekarang ia tidak hanya tahu
bahwa orang tak punya itu menderita, sekarang ia tidak hanya sekedar tahu yang
bersifat teori (hasil pemikiran rasional), tapi merasakannya sendiri, yang
bersifat praktek. Sekedar tahu hanya mampu melahirkan teori. Tetapi mengetahui
dan menghayati yang membentuk kesadaran, inilah yang akan melahirkan amal
saleh, yaitu praktek.
“Setelah sebulan Mu’min itu merasakan penderitaan orang-orang miskin,
pada akhir bulan itu diujilah dia, apakah rasa sosial itu telah tumbuh. Disuruh
ia memberikan sebagian bahan makanannya kepada orang miskin dengan zakat
fitrah. Kalau ini dikerjakannya dengan ikhlas, ditingkatkan solidaritas sosial
itu dengan menyuruhnya memberikan sebagian dari uang atau hartanya kepada orang
tak punya dengan zakat mal. Kalau ia merasa terpaksa membayarkan zakat atau
tidak mengeluarkannya sama sekali, puasanya belum lagi ihsan berlangsung, ia
belum lagi berbuahkan sosial. Tahun depan didikan itu diulang kembali,
selanjutnya diulang kembali (sesuai dengan kaidah ilmu dididik), sehingga
terujudlah nilai sosial dari puasa.” (h. 153).
Puasa minimal satu bulan dalam setahun bertujuan untuk mengistirahatkan
organ pencernaan dari tugas mengolah makanan tiada henti setiap hari.
Manusia setiap harinya beristirahat (tidur) beberapa jam untuk
memulihkan diri. Siswa yang bersekolah memerlukan libur sekali dalam satu
pekan agar otaknya tidak kepayahan dan menyebabkan kualitas belajarnya
berkurang. Pekerja membutuhkan waktu istirahat untuk menyegarkan diri dari
segala rutinitas kerja.
Istirahat dari berbagai kebiasaan (makan, minum, berhubungan, dan
perbuatan kurang/tidak bermanfaat) selama paling sedikit satu bulan dalam
setahun, manusia akan mendapatkan kesegaran kembali dan meningkatkan kualitas hidup
jasmaniahnya (tidak hanya perut).
Wallahu a’lam.
___
*Pegiat SEED Institute, Mahasiswa UMS