Kamis, 17 Maret 2022

NARASI DAKWAH ISLAM MENGHADAPI RENCANA IKN BARU


Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Saya tidak begitu ingat tanggapan umat Islam melalui ormas dan institusi Islam pada saat awal rencana IKN baru digulirkan pemerintah beberapa tahun lalu, paling tidak ketika pemenang sayembara IKN baru Indonesia diumumkan. Seingat saya ketika itu suasana media sosial di beranda FB ramai memuji dan berbagai pandangan positif lain terkait karya pemenang yang saya simpulkan sebagai dukungan dan penerimaan terhadap rencana tersebut. Tentu saja bisa jadi ingatan saya salah karena tidak akurat.

Mengamati realitas hari ini sampai pada digelarkan ritual kendi nusantara di titik nol kilometer IKN baru yang dipimpin langsung oleh Jokowi sebagai Presiden Indonesia, saya mendapati tiga narasi dakwah Islam yang memenuhi beranda FB. 

Pertama, penolakan pagelaran ritual tersebut sebagai syirik karena bertentangan dengan akidah Islam. Saya tidak dapat menangkap secara jelas, narasi ini hanya menolak ritual kendi nusantara tetapi menerima rencana pemindahan IKN, ataukah penolakan ritual juga menunjukkan penolakan terhadap IKN baru.

Kedua, narasi yang menyamakan pemindahan IKN dengan hijrah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dari Mekah ke Yatsrib. Saya menangkap narasi ini merupakan legitimasi keagamaan dari sekalangan tokoh umat Islam yang bernaung dalam lembaga Islam yang telah dikenal luas di Indonesia terhadap rencana pemindahan IKN Indonesia. Tujuannya, saya mengira-ngira, untuk meredam protes umat Islam dengan menerima rencana pemindahan IKN. Dalam tulisan ini saya tidak akan mengulas lebih lanjut qiyas cacat yang digunakan sebagai argumentasi pemindahan IKN karena sudah dibahas oleh Ferdi Al Qadri dalam tulisan di website SEED Institute.

Ketiga, narasi mega proyek pendidikan Islam di IKN baru yang dilontarkan oleh beberapa institusi pendidikan Islam ternama di Indonesia. Saya menempatkan narasi ini dalam kategori yang sama dengan narasi kedua yang menerima rencana pemindahan IKN Indonesia. Setelah dilegitimasi secara keagamaan, maka dilanjutkan dengan menjadikan IKN baru sebagai pusat pendidikan Islam.

Narasi pertama langsung membenturkan akidah Islam dengan kebijakan politik pemindahan IKN baru dan perencanaannya yang merupakan ranah ilmu pengetahuan. Agar fungsional untuk dapat berhadapan dalam ranah yang sama, Islam seharusnya diderivasi menjadi ilmu pengetahuan Islam sehingga dapat digunakan sebagai pisau analisis terhadap kebijakan dan rencana pemindahan IKN secara menyeluruh tanpa menyisakan lagi tanda tanya dan dugaan-dugaan. 

Sementara itu narasi kedua dan ketiga dilandasi nalar begini: Rencana pemindahan IKN oleh pemerintah telah disetujui anggota dewan dan karenanya mulai memasuki tahap pelaksanaan pemindahan dengan memulai pembangunan di lokasi. Seakan ruang penolakan telah tertutup rapat. Karenanya nalar dakwah Islam yang digunakan adalah meminimalkan mafsadat dan memaksimalkan manfaat. Daripada IKN dikuasai pihak-pihak lain yang dinilai berseberangan dengan Islam, lebih baik diupayakan agar dakwah Islam dapat mengambil ruang di IKN baru. 

Saya mencoba memupus pemikiran terkait kepentingan materi yang melatarbelakangi narasi kedua dan ketiga. Yang terlihat jelas di depan mata kita adalah tiga narasi dakwah di atas menunjukkan ketidakmampuan umat Islam mendayagunakan Islam sebagai penggerak transformasi. Islam dan umatnya selalu berada dalam posisi terjepit; karena sudah kadung terjadi maka digunakan nalar sebagaimana di atas. Ironis memang, (negara dengan-red) umat Islam terbanyak di dunia menjadi buih di bawah gempuran ombak penguasa dan pemodal!

___

*Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang

Editor: Ferdi

Sebelumnya
Next Post

0 comments: