Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*
Saya tidak begitu ingat tanggapan
umat Islam melalui ormas dan institusi Islam pada saat awal rencana IKN baru
digulirkan pemerintah beberapa tahun lalu, paling tidak ketika pemenang
sayembara IKN baru Indonesia diumumkan. Seingat saya ketika itu suasana media
sosial di beranda FB ramai memuji dan berbagai pandangan positif lain terkait
karya pemenang yang saya simpulkan sebagai dukungan dan penerimaan terhadap
rencana tersebut. Tentu saja bisa jadi ingatan saya salah karena tidak akurat.
Mengamati realitas hari ini
sampai pada digelarkan ritual
kendi nusantara di titik nol kilometer IKN baru yang dipimpin langsung
oleh Jokowi sebagai Presiden Indonesia, saya mendapati tiga narasi dakwah Islam
yang memenuhi beranda FB.
Pertama, penolakan pagelaran
ritual tersebut sebagai syirik karena bertentangan dengan akidah Islam. Saya
tidak dapat menangkap secara jelas, narasi ini hanya menolak ritual kendi nusantara
tetapi menerima rencana pemindahan IKN, ataukah penolakan ritual juga
menunjukkan penolakan terhadap IKN baru.
Kedua, narasi yang menyamakan
pemindahan IKN dengan hijrah Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam dari Mekah ke Yatsrib. Saya menangkap narasi ini merupakan
legitimasi keagamaan dari sekalangan tokoh umat Islam yang bernaung dalam
lembaga Islam yang telah dikenal luas di Indonesia terhadap rencana pemindahan
IKN Indonesia. Tujuannya, saya mengira-ngira, untuk meredam protes umat Islam
dengan menerima rencana pemindahan IKN. Dalam tulisan ini saya tidak akan
mengulas lebih lanjut qiyas cacat yang digunakan sebagai
argumentasi pemindahan IKN karena sudah dibahas oleh Ferdi Al Qadri dalam tulisan di
website SEED Institute.
Ketiga, narasi mega proyek
pendidikan Islam di IKN baru yang dilontarkan oleh beberapa institusi
pendidikan Islam ternama di Indonesia. Saya menempatkan narasi ini dalam kategori
yang sama dengan narasi kedua yang menerima rencana pemindahan IKN Indonesia.
Setelah dilegitimasi secara keagamaan, maka dilanjutkan dengan menjadikan IKN
baru sebagai pusat pendidikan Islam.
Narasi pertama langsung
membenturkan akidah Islam dengan kebijakan politik pemindahan IKN baru dan
perencanaannya yang merupakan ranah ilmu pengetahuan. Agar fungsional untuk
dapat berhadapan dalam ranah yang sama, Islam seharusnya diderivasi menjadi
ilmu pengetahuan Islam sehingga dapat digunakan sebagai pisau analisis terhadap
kebijakan dan rencana pemindahan IKN secara menyeluruh tanpa menyisakan lagi
tanda tanya dan dugaan-dugaan.
Sementara itu narasi kedua dan
ketiga dilandasi nalar begini: Rencana pemindahan IKN oleh pemerintah telah
disetujui anggota dewan dan karenanya mulai memasuki tahap pelaksanaan
pemindahan dengan memulai pembangunan di lokasi. Seakan ruang penolakan telah
tertutup rapat. Karenanya nalar dakwah Islam yang digunakan adalah meminimalkan
mafsadat dan memaksimalkan manfaat. Daripada IKN dikuasai pihak-pihak lain yang
dinilai berseberangan dengan Islam, lebih baik diupayakan agar dakwah Islam
dapat mengambil ruang di IKN baru.
Saya mencoba memupus pemikiran terkait kepentingan materi yang melatarbelakangi narasi kedua dan ketiga. Yang terlihat jelas di depan mata kita adalah tiga narasi dakwah di atas menunjukkan ketidakmampuan umat Islam mendayagunakan Islam sebagai penggerak transformasi. Islam dan umatnya selalu berada dalam posisi terjepit; karena sudah kadung terjadi maka digunakan nalar sebagaimana di atas. Ironis memang, (negara dengan-red) umat Islam terbanyak di dunia menjadi buih di bawah gempuran ombak penguasa dan pemodal!
___
*Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang
Editor: Ferdi
0 comments: