Sumber: Youtube Marvel Entertainment |
Oleh: Ismail Al-'Alam*
Seperti Anda, saya pun mengenal tokoh-tokoh adiwira (baca: pahlawan super, red) Marvel sejak kecil lewat mainan, komik, dan video gim. Tapi, mungkin tidak seperti Anda, saya baru menonton Marvel Cinematic Universe (selanjutnya ditulis MCU) setelah menikah dengan seorang penyuka film ––termasuk film-film Eropa yang membutuhkan "kecerdasan semiotis" untuk bisa memahaminya.
Kami menonton The Avengers: Infinity War di bioskop sepulang
bekerja. Tanpa tahu sama sekali rangkaian cerita MCU sebelumnya, apalagi
konflik, konteks, dan rincian kecilnya, saya menyaksikan Hulk dan Iron Man
bertarung dengan tokoh-tokoh yang tak saya kenali namanya, membuka film di
tahun 2018 itu.
Mereka memang hadir untuk kita, orang-orang dengan kenangan masa kecil
bersama adiwira Marvel dalam pelbagai rupa, yang kini mendewasa sehingga mampu
pergi ke bioskop dengan uang sendiri dan tanpa larangan siapapun. Kecanggihan
teknologi grafis yang semakin memanjakan mata begitu selaras dengan kisah
imajinatif dalam MCU. Kalau dibuat beberapa dasawarsa lalu, hasilnya mungkin
hanya tontonan dengan keterbatasan teknologi yang memprihatinkan dan mutu
grafis yang menggelikan.
Kenangan kita itu menjadi sumber pundi-pundi yang begitu penting bagi
Marvel.
Di tahun ini, sebagian dari kita tengah bersiap menyambut serial Ms.
Marvel di Disney+. Ia mungkin tak hadir dalam komik atau video gim masa kecil
kita, tetapi identitas keislamannya tentu begitu melekat dengan identitas kita.
Bersama dengan karakter perempuan lain di MCU, Ms. Marvel bukan hanya mendobrak
persepsi bahwa adiwira harus seorang lelaki: ia berjalan sendiri untuk
menunjukkan bahwa seorang muslim juga bisa menyelamatkan manusia, termasuk
Amerika.
Si Kulit Warna yang Berbahaya
Kesadaran tentang hak asasi manusia yang semakin hari semakin membaik
mengantarkan para sarjana ilmu sosial-humaniora, di Eropa dan Amerika, untuk
menaruh perhatian pada isu rasisme. Beberapa kampus di sana bahkan membuka
jurusan Racial/Black Studies untuk mempelajari kezaliman apa yang
telah kaum berkulit putih lakukan terhadap liyan (yakni, kaum kulit berwarna),
tetapi juga mendaftar dan menghormati apa yang telah diberikan liyan pada
mereka.
Pada kasus umat Islam, masalahnya lebih rumit lagi. Meski sebagian
masyarakatnya kini sekular, Barat menurut Montgomery Watt masih menyimpan citra
Islam yang tertanam sejak Perang Salib, bahwa Islam adalah Anti-Kristus. Citra
tersebut dapat berubah bentuk dan ekspresinya hari ini, seiring dengan
sekularisasi masyarakat itu, misalnya bahwa Islam adalah anti-rasionalitas atau
anti-humanisme. Dinamika politik internasional yang mempertemukan negara-negara
Barat dan Timur Tengah sepanjang abad 20 dan dasawarsa awal abad 21 semakin
memperkaya, kalau bukan memperparah, citra tersebut.
Layar lebar tak lepas dari citra yang bias itu. Di tahun 1984, Jack
Shaheen menerbitkan bukunya yang karikaturial, Reel Bad Arabs: How Hollywood
Vilifies a People, kajian induktif dan kritis terhadap film-film Hollywood
yang menampilkan sosok orang Arab atau adegan di negeri Arab. Ia sampai pada
kesimpulan bahwa Arab-Islam adalah 3B: The Bomber (Tukang Ngebom),
Billionaire (Miliarder), dan The Belly Dancer (Penari Perut).
Dengan kata lain, pelbagai skenario dan sudut pandang film-film Hollywood hanya memahami wajah Arab-Islam dalam konstruksi para Orientalis, bahwa umat Islam itu berpolitik dengan cara teror bahkan revolusioner ala Khomeini sehingga tak sesuai dengan demokrasi, tetapi punya banyak uang dan minyak bumi sehingga bisa menjadi mitra bisnis yang strategis bagi Eropa dan Amerika. Di sudut-sudut kota Arab, jika para kulit putih itu jeli, kepuasan syahwat juga bisa diraih lewat cara yang sangat purba, meski jalan-jalan kota utama dipenuhi perempuan berjilbab ––yang bagi mereka adalah bentuk penindasan.
Berselang beberapa masa, citra tersebut belum betul-betul pudar.
Serangan teroris 9/11 malah memicu pencitraan tentang Islam yang lebih
ugal-ugalan di dalam produk-produk budaya Amerika. Aktor Sudan, Waleed Elgadi,
menjelaskan respons spontan dunia perfilman AS kala itu adalah dengan
menggunakan aktor Arab untuk memerankan tokoh yang mendukung citra buruk itu.
Ia sendiri, dalam pengakuannya di BBC, sudah pernah memainkan peran "...semua
jenis teroris yang bisa Anda bayangkan" dan "...sosok mistikus
Arab yang memandang gurun." Sosok protagonis muslim memang mulai
muncul sesekali di Hollywood, tetapi perannya dalam film selalu tidak
signifikan dan, ini yang konyol, pemerannya justru adalah aktor-aktor Barat!
Batas Humanisme dan Good Muslim
Meski muak dengan itu semua, kita akan keliru kalau mengira Islamofobia
dan perlakuan rasis terhadap Arab/Islam adalah sesuatu yang dimiliki Barat
secara esensial. Ada dua hal yang menjadi argumen untuk itu.
Pertama, xenofobia (penyakit mental berupa ketakutan
terhadap orang asing, di mana Islamofobia termasuk di dalamnya) dan rasisme
adalah gejala yang bisa dimiliki para katak dalam tempurung, yakni orang-orang
picik yang hanya hidup dengan kelompok dan kerumunannya sambil menyimpan
prasangka buruk terhadap liyan, tanpa mau belajar secara terbuka dari mereka.
Jika menghadapi Islamofobia dengan ekspresi atau cara lain yang menunjukkan
ciri xenofobia terhadap Barat, kita akan menjadi sama piciknya dengan mereka.
Kedua, dan ini yang penting untuk disoroti secara luas, kaum humanis di Barat sendiri telah banyak melakukan kritik-diri baik secara akademis seperti saya sebutkan di atas, maupun secara gerakan kesenian. Film-film indie telah banyak dibuat untuk menandingi citra sesat Hollywood atas Islam. Ms. Marvel pun hadir dengan semangat serupa, setidaknya semenjak edisi komiknya terbit di tahun 2013 ––yang ketika itu segera saya dan seorang dosen, Ihsan Ali Fauzi, diskusikan dengan asyik bersama buku Jack Shaheen di suatu sore di kantin Universitas Paramadina. Beberapa riset menunjukkan langkah-langkah humanis itu berdampak cukup besar bagi upaya menghadang Islamofobia di Barat.
Tapi, satu persoalan tersisa di sini. Humanisme mereka yang sekular
tetap tak menoleransi keyakinan dan tindakan seorang muslim jika hal tersebut
mencederai nilai-nilai humanisme itu sendiri.
Analis politik senior Brennan Center for Justice, Faiza Patel,
dengan jeli melihat persoalan tersebut bahkan pada sosok Ms. Marvel. Dalam
versi komiknya, Ms. Marvel adalah perempuan muslimah cerdas di tengah keluarga
yang masih memegang nilai-nilai "Timur": ayah dan ibu protektif yang
menginginkan putrinya itu menjauhi pergaulan bebas dan berfokus pada kuliahnya,
serta sosok kakak yang 'konservatif.' Dalam pikiran AS, baik kaum Konservatif
(maksudnya, umat Protestan taat pemilih Partai Republik) maupun Liberal (umat
Protestan liberal, sekularis, dan ateis pemilih Partai Demokrat), seorang
muslim tidak bisa menjadi konservatif dan toleran atau modern di waktu yang
bersamaan.
Di sinilah batasan humanisme dalam menoleransi keislaman seseorang harus
dicermati dengan tegas. Dengan hanya mengenal dua kategori bagi sikap agamawan
terhadap modernitas, yakni konservatif atau liberal, Barat masih gagal memahami
sikap tegas Islam terhadap hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai sekular
mereka. Dengan ataupun tanpa berjumpa dengan Barat dan modernitasnya, Islam
sudah menentang pemahaman keagamaan yang kaku, picik, bahkan destruktif,
sebagaimana terdapat dalam pengalaman Islam itu sendiri. Tetapi, kesiapan dan
kesediaan Islam untuk terlibat dan memberi sumbangan bagi kehidupan modern,
plural, dan global bukan berarti hanya menyisakan pilihan menjadi liberal.
Dalam kasus Ms. Marvel, menyisihkan sosok-sosok 'konservatif' adalah
langkah awal untuk mencapai langkah akhir, yakni menampilkan sosok Ms. Marvel
itu sendiri. Dalam kehidupan nyata, Ms. Marvel setara dengan generasi ketiga
imigran muslim di AS dan Eropa yang telah mengasimilasikan diri dengan nilai
dan gaya hidup Barat, berbeda dari kakek-nenek mereka yang masih memegang
ajaran Islam sebaik-baiknya. Ia adalah sosok good muslim yang diperhadapkan dengan bad muslim dalam kategori George
W. Bush dan para pengikutnya, atau sosok American/European Islam dalam konstruksi para Orientalis. Bad muslim atau American/European
Islam adalah seseorang dengan identitas keislaman, termasuk sejak
dari nama diri mereka, tetapi berpikir dan bertindak sama belaka dengan
rekan-rekan Barat mereka.
Di tingkat akademis, mereka adalah kalangan liberalis muslim yang
menerima premis-premis Orientalisme atau pendekatan Religious Studies
yang sekular ketika mengkaji Islam. Di tingkat masyarakat umum, mereka adalah orang-orang
yang menerima norma-norma Barat, alih-alih syariat dan akhlak Islam, dalam
kehidupan sehari-hari. Kedua kelompok ini berbagi peran dalam menjaga tatanan
demokrasi liberal dan ekonomi neoliberal, dan akan diperhadapkan dengan
kelompok Islam 'konservatif' atau 'radikal'; label yang digunakan Barat untuk
mengelompokkan siapa saja yang mengancam segala cita-cita mereka, bahkan jika
ia adalah seorang muslim yang wasati (baca: moderat, red) dan berakhlak
mulia sekalipun.
Dengan daya kritis seperti itulah, menurut saya, Ms. Marvel sebaiknya
disambut oleh masyarakat muslim. Karena tak berkepentingan menjadikan analisis
ini ideologis apalagi konspiratif, saya tak mempermasalahkan bahkan justru
menganjurkan kaum muslim penyuka Marvel untuk tetap menontonnya dengan
penilaian masing-masing. Lebih bagus lagi jika Anda berkenan menceritakannya ke
saya yang tidak, atau setidaknya belum, tertarik untuk menonton.
Satu hal yang pasti: jika ingin mencari sosok muslim Barat ideal hari
ini, temukanlah hal tersebut pada Hamza Yusuf, Timothy Winter, Inggrid Mattson,
dan para juru bicara Islam lain di sana, bukan pada sosok yang bingung dengan
identitasnya sendiri sambil inferior meniru nilai-nilai Barat. Jangankan di AS
dan Eropa, sosok seperti itu sudah bisa kita temui bahkan di Ciputat, Depok,
atau Sleman, dan sampai sejauh ini tak pernah sungguh-sungguh duduk sama rendah
dan berdiri sama tinggi dengan Barat yang mereka kagumi.
Wallahu a'lam.
Salatiga, dini hari, 20 Maret 2022
___
*Penulis belajar filsafat, Religious Studies, Cultural Studies, dan Peace Studies di Jakarta dan Yogyakarta; saat ini menjadi Manajer Program Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara.
Editor: Ferdi
Seneng banget kalo ngomongin Islamophobia
BalasHapusSebagai pecinta film barat, bagaimana kemudian saya menilai karakter muslim di setiap film barat atau series nya.
Banyak dari mereka kemudian memberikan gambaran bahwa muslim adalah orang yang tak jauh berbeda dengan mereka. Mereka senantiasa mabuk, bersenggama diluar nikah, rela membuka hijab, atau banyak hal hal negatif yang tidak seharusnya disampaikan dalam film yang menimbulkan kontroversi di kita.
Benar adanya mereka yang memainkan peran nyatanya memang bukan beragama Islam, kita memandang bahwa islam dijatuhkan dengan hal seperti itu. Namun tidak dengan mereka yang tidak beragama islam.
Mereka menilai film itu tidak ada kontroversi Islamophobia nya karena seperti itulah mereka manilai islam. Gambaran gambaran negatif tersebut kemudian mendukung validitas sudut pandang mereka tentang islam.
Tapi boleh dong kasih request film barat yang ada unsur keislaman nya yang bagus Banget