Sumber: www.hidayatullah.com |
Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*
Sejak diresmikan oleh
Kemenag pada hari Sabtu yang lalu, desain logo halal yang baru langsung saja
mengundang keributan di media sosial. Dari cemooh hingga analisis ilmiah
dilakukan terkait teks, desain logo, dan pembacaannya. Sebenarnya saya tidak
tertarik mengulas masalah ini, tetapi mahasiswa terus mendesak saya memberikan
tanggapan. Desakan tersebut bukan tanpa alasan karena bidang desain grafis
memiliki kesamaan dengan bidang arsitektur yang saya geluti sebagai seni
terapan, selain itu karena saya mengampu mata kuliah kritik arsitektur.
Mempertimbangkan permintaan mahasiswa sekalian saja saya tuliskan tanggapan ini agar dapat diakses terbuka.
Saya memiliki beberapa
tanggapan terkait desain logo halal yang baru dari Kemenag. Pertama, perlu
dipahami bahwasanya desain, termasuk logo, tidaklah murni persoalan seni dan
teknis belaka. Sebagai bagian dari kebudayaan manusia, desain sedikit banyaknya
dipengaruhi unsur politik, selain unsur-unsur lainnya. Saya hendak menyoroti
khusus unsur politik ini mengingat kedudukan Kemenag sebagai bagian dari
struktur pemerintahan yang bersifat politis.
Logo halal baru yang
dikeluarkan Kemenag hendak menunjukkan kekuasaan politik dan otoritasnya
sebagai satu-satunya pihak yang sah untuk mengeluarkan sertifikat halal. Logo
baru sama sekali tidak terkait dengan logo lama, baik dari aspek komposisi,
desain, hingga jenis huruf yang secara politis sebagai penanda terputusnya
otoritas MUI yang dahulu berwenang mengeluarkan sertifikat halal suatu produk
untuk memberikan perlindungan dan kenyamanan kepada konsumen Muslim di
Indonesia.
Di bidang arsitektur
strategi yang disebut politik memori telah jamak dilakukan, baik oleh
pemerintah maupun pemodal yang tujuannya tidak lain membentuk persepsi publik.
Misal saja kasus lokalisasi Kramat Tunggak di Jakarta yang pernah didaulat
sebagai pusat seks komersial terbesar di Asia Tenggara, diluluhlantahkan
secara fisikal maupun persepsional dengan membangun Jakarta Islamic Center.
Dari hitam menjadi putih. Kasus yang lain adalah area olahraga Manahan di Solo
yang diinisiasi dan diresmikan Bu Tien Suharto, kini terpasang patung Sukarno
sedang duduk sambil membaca buku di pintu gerbang utama. Tentu mengaburkan
sejarah untuk kepentingan pembentukan persepsi publik. Mekanisme yang sama
digunakan Kemenag terhadap logo halal MUI.
Kedua, desain tidak saja
menyangkut kepentingan antara desainer atau perancang logo dengan pemberi kerja
atau pemilik dalam hal ini adalah Kemenag. Desain yang hadir dan digunakan di
ruang publik oleh masyarakat dalam skala yang luas selalu melibatkan persepsi
publik. Oleh karena itu dalam perancangan desain pun harus melibatkan, paling
tidak memperhatikan persepsi, pandangan, dan pemahaman masyarakat. Berdasar
aspek inilah saya menyalahkan Ridwan Kamil sebagai perancang Masjid As-Safar
yang diributkan beberapa tahun lalu karena sama sekali tidak memperhatikan
pemahaman keagamaan umat Islam di Indonesia yang melatarbelakangi munculnya
tafsir masjid Illuminati.
Kali ini pun dengan
memperhatikan aspek yang sama saya menyalahkan logo halal yang baru. Keributan
dalam konotasi negatif yang terjadi di berbagai media sosial cukup menjadi
indikator terjadinya perbedaan persepsi antara pemerintah bersama desainer
dengan masyarakat, yang menandakan terdapatnya masalah pada logo tersebut. Saya
akan mengulas dua poin saja terkait aspek ini.
Poin pertama adalah
kemudahan memahami logo, terlebih logo halal bersentuhan dengan kehidupan umat
Islam sehari-hari. Keributan yang terjadi mempersoalkan huruf pada logo baru
tidak mudah dibaca sebagai "Halal", padahal dalam memilih dan membeli produk,
salah satu pertimbangan konsumen Muslim adalah keberadaan logo ini yang secara
persepsional harus mudah ditemukan dan secara kognitif mudah dibaca serta dipahami.
Kemenag boleh saja secara
politis menegaskan posisinya sebagai pihak pemilik otoritas sambil memutus
persepsi publik terhadap wewenang MUI dengan menggunakan logo halal baru yang
tidak menyisakan unsur-unsur logo yang lama. Tetapi yang tidak boleh dilupakan
Kemenag adalah logo halal yang menyangkut hajat hidup seluruh umat Islam di
memiliki unsur utama sebagai pakem, yakni tulisan "Halal" berbahasa Arab dengan
jenis huruf yang mudah dibaca dan digunakan secara luas di Dunia Islam serta di
berbagai wilayah Dunia Barat. Pemenuhan unsur ini bukan saja akan memudahkan
umat Islam di indonesia untuk mengidentifikasi produk halal, tetapi juga bagi
umat Islam dari luar negeri yang sedang berkunjung ke Indonesia. Pun demikian
bagi umat Islam di Indonesia yang melakukan kunjungan ke luar negeri juga akan
mudah mengidentifikasi produk halal karena adanya unsur yang sama pada logo
halal.
Di luar unsur utama
tersebut merupakan unsur pendukung pada desain logo halal, seperti bingkai
logo, warna, dan unsur-unsur lainnya. Pada unsur inilah poin kedua yang akan
saya ulas merujuk pada bingkai gunungan wayang yang mendominasi desain logo,
bahkan seakan diposisikan sebagai unsur utama karena huruf yang membentuk kata
"Halal" disesuaikan agar membentuk bingkai, sehingga dampaknya tidak mudah untuk
dibaca karena terjadi perubahan bentuk huruf.
Selain itu, penggunaan
bingkai gegunungan tidak tepat untuk logo halal yang harus mencerminkan
identitas umat Islam secara universal maupun lokal. Identitas universal merujuk
pada unsur utama sebagaimana telah dibahas di atas, sedangkan unsur lokal yang
berkedudukan sebagai unsur pendukung merujuk pada lingkup Indonesia yang
terdiri dari berbagai etnik. Dengan begitu unsur gegunungan menjadi bermasalah
karena hanya mencerminkan identitas Jawa yang hanya merupakan salah satu etnik
dari beragam etnik umat Islam di Indonesia.
Demikian tanggapan saya.
Kemenag sebagai pihak pemilik otoritas memang salah telah mensahkan logo halal
yang memuat masalah-masalah desain pada unsur utama dan pendukungnya. Toh
Kemenag, terlebih lagi Menag, lebih sering salah daripada benar. Bagi saya,
kesalahan lebih besar dialamatkan kepada pihak perancang logo yang tidak
mematuhi aturan dasar, sebagaimana telah saya ulas pada tulisan ini. Menjadi
lebih salah lagi jika pihak perancang yang telah menempuh pendidikan desain
mengikuti dan memenuhi semua permintaan pemberi tugas yang awam terhadap ilmu
desain, terlebih selama ini seringkali melakukan kesalahan. Sekian.
___
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang
Editor: Ferdi
0 comments: