Selasa, 15 Maret 2022

HIJRAH RASULULLAH BERBEDA DENGAN PEMINDAHAN IKN!

Picture by : kompas.com

Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*

Tulisan sederhana ini merupakan sedikit tanggapan saya terhadap pernyataan KH Marsudi Syuhur selaku Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai pemindahan IKN. Dilansir dalam media online kumparan.com, beliau mengatakan bahwa tujuan proses hijrah Rasulullah saw. dari Makkah ke Madinah tidak jauh berbeda dengan pemindahan IKN (Ibu Kota Negara) dari Jakarta ke Kalimantan Timur.

Terhadap pernyataan beliau dalam media tersebut, ada tiga poin perbedaan yang perlu saya terangkan dalam kapasitas “tidak jauh berbeda” tersebut, yaitu:

Pertama, menurut KH Marsudi tujuan pemindahan IKN dari Jakarta ke Kalimantan Timur dan hijrah Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Madinah adalah untuk mengubah kondisi suatu kaum.

Coba kita perjelas kondisi keduanya.

Kala itu kondisi umat Muslim mengalami penindasan dan penganiayaan, fisik dan mental. Bahkan tidak sedikit yang merenggut nyawa karena memegang teguh agama Islam, contohnya Sumayyah binti Khayyat. Dakwah Islam menghadapi banyak tantangan berat. Rasulullah saw. kemudian berhijrah bersama umat Muslim yang lemah. Mereka rela meninggalkan keluarga dan seluruh harta kekayaan mereka di Makkah untuk mengubah kondisi mereka.

Ketika sampai di Yatsrib Rasulullah saw. mempersaudarakan kaum Muhajirin (yang berhijrah) dan kaum Anshar (tuan rumah) agar mereka memiliki keluarga baru dan tempat tinggal yang layak. Setelahnya beliau bersama para sahabat membangun Masjid Nabawi sebagai pusat kehidupan umat Muslim. Beliau lalu membangun suatu masyarakat Islam yang kuat atas dasar iman (tauhid) dan mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah. Pembangunan bersifat bottom-up.

Kondisi umat Islam di atas tentu berbeda dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang, khususnya di Jakarta. Masyarakat di Jakarta sedang menghadapi masalah kepadatan penduduk dan kondisi alam yang sering mengalami bencana alam. Jakarta sudah tidak kuat untuk mengemban amanah sebagai IKN.

Kondisi ini mengharuskan adanya alternatif berupa IKN baru yang sanggup menggantikan posisi Jakarta. Pilihan akhirnya jatuh ke Kalimantan Timur.

Pemilihan nama Nusantara di Kalimantan Timur sebagai IKN baru menjadi penegasan identitas IKN. Pembangunan infrastruktur kota dilakukan secara besar-besaran memakan modal dalam hitungan triliyunan rupiah. Harapannya adalah dengan adanya IKN baru, meliputi berbagai infrastruktur dan fasilitas pendukungnya, akan melancarkan proses pembangunan dan pemerataan masyarakat. Dalam konteks ini pembangunan bersifat top-down.

Bedanya lagi, umat Islam yang hijrah dari Makkah ke Madinah tidak membawa harta selain pakaian dan makanan sekedar untuk bekal perjalanan. Mereka adalah orang-orang yang lemah. Sedangkan dalam konteks pemindahan IKN, saya menduga (hampir yakin) hanya orang-orang yang kuat secara sosial, politik, dan ekonomi yang akan mendapatkan kehidupan di tempat yang strategis di Nusantara. Butuh modal besar untuk pindah dari Jakarta ke Nusantara.

Rasulullah saw. ketika hijrah tidak kemudian membangun istana megah, kompleks pemerintahan dan perumahan para pejabat negara. Beliau membangun masjid sederhana sebagai pusat pembinaan masyarakat, ruhani dan jasmani. Semua kegiatan pembangunan masyarakat berorientasi ibadah mahdhah (vertikal) dan ghairu mahdhah (horisontal).

Kedua, menurut KH Marsudi pemindahan IKN adalah untuk kemaslahatan, baik melalui pengurangan kepadatan penduduk maupun menjaga keselamatan dari bencana karena Kalimantan minim bencana.

Mengenai pengurangan kepadatan penduduk, jika nalarnya tetap nalar ekonomi, maka kita hanya tinggal menunggu sampai tiba masanya pulau Kalimantan akan lebih padat dari pulau Jawa. Seperti halnya di Jawa, banyak perantau dari luar datang mengadu nasib untuk meningkatkan kualitas hidup dibanding daerah asalnya.

Setelah penduduk sudah padat lagi, ruang kehidupan akan diperluas dengan mengganti pepohonan dengan gedung di mana-mana. Maka kita tinggal menunggu bencana apa yang akan mengancam keselamatan penduduk di Nusantara. Jika pemerintah tidak bisa mengatasi masalah yang kompleks ini, maka akan tiba masanya IKN baru dibutuhkan lagi.

Hal ini tentu berbeda dengan hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah yang tidak mengutamakan pembangunan ekonomi, melainkan pembangunan jiwa manusia. Semua diajarkan untuk hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Tujuan hidup adalah untuk kembali ke rumah yang sesungguhnya, yaitu Surga. Bukan untuk mengejar kedudukan dan menumpuk kekayaan di dunia.

Ketiga, mengaitkan ajaran Islam ketika hijrah, secara khusus sikap Rasulullah saw. yang berdoa agar diberi kecintaan kepada Madinah (tanah hijrah) tanpa mengurangi cintanya kepada Makkah (tanah kelahiran), tidaklah relevan untuk dikaitkan dengan pemindahan IKN.

Seakan dengan kisah ini kita diajak untuk bersama-sama mewajarkan adanya pemindahan IKN. Narasinya adalah kalau Rasulullah saw. saja memikirkan untuk berhijrah, bahkan berdoa agar diberi kecintaan kepada Madinah tempat hijrahnya. Maka begitu juga dengan pindahnya IKN dari Jakarta ke Nusantara. Tidak ada masalah, dalam hal ini kita mesti turut berdoa agar diberi rasa cinta kepada IKN baru.

Dengan tiga poin yang saya utarakan di atas, saya berharap agar para ulama dapat bersikap lebih bijaksana mengenai pemindahan IKN. Saya tidak menyoroti apakah para ulama mau mendukung atau menolak. Akan tetapi, saya berharap agar dalil agama dapat dipakai secara arif. Ahli ilmu harus kritis dalam menentukan sikap dan membimbing masyarakat.

Terakhir saya ingin menegaskan bahwa peristiwa hijrahnya Rasulullah saw. jauh berbeda dengan pemindahan IKN. Maka dari itu, jangan disamakan!

----

*Mahasiswa PAI UMS, Pegiat SEED Institute

Sebelumnya
Next Post

0 comments: