Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*
Tulisan sederhana ini merupakan
sedikit tanggapan saya terhadap pernyataan KH Marsudi Syuhur selaku Wakil Ketua
Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai pemindahan IKN. Dilansir dalam media
online kumparan.com, beliau mengatakan bahwa tujuan proses hijrah Rasulullah saw.
dari Makkah ke Madinah tidak jauh berbeda dengan pemindahan IKN (Ibu Kota
Negara) dari Jakarta ke Kalimantan Timur.
Terhadap pernyataan
beliau dalam media tersebut, ada tiga poin perbedaan yang perlu saya terangkan dalam
kapasitas “tidak jauh berbeda” tersebut, yaitu:
Pertama, menurut KH Marsudi tujuan pemindahan IKN dari
Jakarta ke Kalimantan Timur dan hijrah Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke
Madinah adalah untuk mengubah kondisi suatu kaum.
Coba kita perjelas kondisi
keduanya.
Kala itu kondisi umat
Muslim mengalami penindasan dan penganiayaan, fisik dan mental. Bahkan tidak
sedikit yang merenggut nyawa karena memegang teguh agama Islam, contohnya
Sumayyah binti Khayyat. Dakwah Islam menghadapi banyak tantangan berat. Rasulullah
saw. kemudian berhijrah bersama umat Muslim yang lemah. Mereka rela meninggalkan
keluarga dan seluruh harta kekayaan mereka di Makkah untuk mengubah kondisi mereka.
Ketika sampai di
Yatsrib Rasulullah saw. mempersaudarakan kaum Muhajirin (yang berhijrah) dan kaum
Anshar (tuan rumah) agar mereka memiliki keluarga baru dan tempat tinggal yang
layak. Setelahnya beliau bersama para sahabat membangun Masjid Nabawi sebagai
pusat kehidupan umat Muslim. Beliau lalu membangun suatu masyarakat Islam yang kuat
atas dasar iman (tauhid) dan mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah. Pembangunan
bersifat bottom-up.
Kondisi umat Islam di
atas tentu berbeda dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang, khususnya di
Jakarta. Masyarakat di Jakarta sedang menghadapi masalah kepadatan penduduk dan
kondisi alam yang sering mengalami bencana alam. Jakarta sudah tidak kuat untuk
mengemban amanah sebagai IKN.
Kondisi ini
mengharuskan adanya alternatif berupa IKN baru yang sanggup menggantikan posisi
Jakarta. Pilihan akhirnya jatuh ke Kalimantan Timur.
Pemilihan nama Nusantara
di Kalimantan Timur sebagai IKN baru menjadi penegasan identitas IKN.
Pembangunan infrastruktur kota dilakukan secara besar-besaran memakan modal
dalam hitungan triliyunan rupiah. Harapannya adalah dengan adanya IKN baru, meliputi
berbagai infrastruktur dan fasilitas pendukungnya, akan melancarkan proses pembangunan
dan pemerataan masyarakat. Dalam konteks ini pembangunan bersifat top-down.
Bedanya lagi, umat
Islam yang hijrah dari Makkah ke Madinah tidak membawa harta selain pakaian dan
makanan sekedar untuk bekal perjalanan. Mereka adalah orang-orang yang lemah.
Sedangkan dalam konteks pemindahan IKN, saya menduga (hampir yakin) hanya
orang-orang yang kuat secara sosial, politik, dan ekonomi yang akan mendapatkan
kehidupan di tempat yang strategis di Nusantara. Butuh modal besar untuk pindah
dari Jakarta ke Nusantara.
Rasulullah saw. ketika
hijrah tidak kemudian membangun istana megah, kompleks pemerintahan dan
perumahan para pejabat negara. Beliau membangun masjid sederhana sebagai pusat
pembinaan masyarakat, ruhani dan jasmani. Semua kegiatan pembangunan masyarakat
berorientasi ibadah mahdhah (vertikal) dan ghairu mahdhah
(horisontal).
Kedua, menurut KH Marsudi pemindahan IKN adalah
untuk kemaslahatan, baik melalui pengurangan kepadatan penduduk maupun menjaga keselamatan
dari bencana karena Kalimantan minim bencana.
Mengenai pengurangan
kepadatan penduduk, jika nalarnya tetap nalar ekonomi, maka kita hanya tinggal
menunggu sampai tiba masanya pulau Kalimantan akan lebih padat dari pulau Jawa.
Seperti halnya di Jawa, banyak perantau dari luar datang mengadu nasib untuk
meningkatkan kualitas hidup dibanding daerah asalnya.
Setelah penduduk sudah
padat lagi, ruang kehidupan akan diperluas dengan mengganti pepohonan dengan
gedung di mana-mana. Maka kita tinggal menunggu bencana apa yang akan mengancam
keselamatan penduduk di Nusantara. Jika pemerintah tidak bisa mengatasi masalah
yang kompleks ini, maka akan tiba masanya IKN baru dibutuhkan lagi.
Hal ini tentu berbeda
dengan hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah yang tidak mengutamakan pembangunan
ekonomi, melainkan pembangunan jiwa manusia. Semua diajarkan untuk hidup
sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Tujuan hidup adalah untuk kembali ke
rumah yang sesungguhnya, yaitu Surga. Bukan untuk mengejar kedudukan dan menumpuk
kekayaan di dunia.
Ketiga, mengaitkan ajaran Islam ketika hijrah, secara
khusus sikap Rasulullah saw. yang berdoa agar diberi kecintaan kepada Madinah
(tanah hijrah) tanpa mengurangi cintanya kepada Makkah (tanah kelahiran),
tidaklah relevan untuk dikaitkan dengan pemindahan IKN.
Seakan dengan kisah
ini kita diajak untuk bersama-sama mewajarkan adanya pemindahan IKN. Narasinya adalah
kalau Rasulullah saw. saja memikirkan untuk berhijrah, bahkan berdoa agar
diberi kecintaan kepada Madinah tempat hijrahnya. Maka begitu juga dengan
pindahnya IKN dari Jakarta ke Nusantara. Tidak ada masalah, dalam hal ini kita
mesti turut berdoa agar diberi rasa cinta kepada IKN baru.
Dengan tiga poin yang
saya utarakan di atas, saya berharap agar para ulama dapat bersikap lebih
bijaksana mengenai pemindahan IKN. Saya tidak menyoroti apakah para ulama mau mendukung atau menolak. Akan tetapi, saya berharap agar dalil agama dapat dipakai secara arif. Ahli ilmu harus kritis dalam menentukan sikap dan
membimbing masyarakat.
Terakhir saya ingin menegaskan bahwa peristiwa hijrahnya Rasulullah saw. jauh berbeda dengan pemindahan IKN. Maka
dari itu, jangan disamakan!
----
*Mahasiswa PAI UMS, Pegiat SEED Institute
0 comments: