Oleh : Andika Saputra, S.T., M.Sc.*
Senin kemarin, Jokowi sebagai presiden memimpin langsung ritual kendi nusantara yang berlangsung di titik nol IKN baru Indonesia. Pada kesempatan itu hadir 34 pemimpin provinsi yang diperintahkan membawa 2 kg tanah dan 1 liter air dari daerah masing-masing untuk disatukan di dalam kendi yang diberi nama bejana nusantara sebagai simbol persatuan Indonesia. Berita lebih lengkap silahkan menulis sendiri di mesin pencari karena berbagai media online telah mengabarkan acara tersebut.
Disisi lain, IKN didaulat akan menjadi kota paling maju, canggih, dan ramah lingkungan di Indonesia ketika telah rampung pembangunannya. Paling tidak begitu pernyataan yang saya ingat dari buku saku IKN baru yang dikeluarkan oleh pemerintah. Untuk mencapai tujuan itu, desain IKN baru menerapkan pendekatan smart city yang diklaim mampu mewujudkan kota menjadi ruang kehidupan yang nyaman dan manusiawi, sekaligus berdampak minimal terhadap lingkungan.
Sebelum ribut-ribut soal penamaan Nusantara untuk IKN baru, Bappenas menyatakan akan direncanakan pembuatan IKN versi metaverse agar seluruh bangsa Indonesia dapat berkunjung ke IKN yang secara fisikal berlokasi di Kalimantan Timur melalui teknologi digital. Sampai di sini kita akan mendapati informasi dan fakta yang tidak koheren. Paragraf pertama, yakni ritual kendi nusantara tidak selaras dengan informasi smart city dan metaverse.
Saya langsung teringat dengan Syed Hussein Alatas dalam bukunya berjudul Intelektual Masyarakat Berkembang yang mengungkap fenomena dualistic man. Langsung saja saya kontekskan pandangan Syed Hussein Alatas dengan bahasan status ini menyoal IKN baru Indonesia. Industrialisasi yang bergulir untuk memodernisasi Indonesia ternyata tidak menjadikan manusianya menjadi rasional yang merupakan syarat dari industrialisasi dan modernisasi. IKN baru dengan pendekatan smart city dan versi digitalnya dalam ruang metaverse yang mewakili teknologi terkini dari zaman revolusi industri 4, tidak absen dari penyelenggaraan ritual yang tidak rasional. Inilah dualistic man.
Industrialisasi yang merupakan motor modernisasi memiliki sifat antri tradisi karena bergerak di atas rel sejarah yang linier. Dalam perspektif modern, sejarah bergerak ke arah depan, terus maju meninggalkan masa lalu, sehingga tradisi mau tidak mau harus ditinggalkan di belakang agar tak menjadi beban dalam melangkah mencapai kemajuan. Tradisi dengan nalarnya yang tidak rasional tidak relevan dipertahankan sebab tidak memiliki nilai guna di tengah gerak zaman industri yang rasional. Kalau memang pemerintah dengan sepenuh hati sambil membawa modal pengetahuan yang mumpuni hendak menempatkan Indonesia di dalam gerbong 4.0, apalagi menggadang-gadang IKN baru sebagai model, maka pemikiran, pandangan, dan sikap yang tidak rasional harus ditanggalkan.
Para pendukung tradisi, terlebih pendukung pemerintah bisa jadi mendukung ritual tersebut, apa pun alasannya, sebagaimana dahulu dukungan terhadap pemindahan IKN gencar dilakukan. Saya tidak mempersoalkan masalah dukung mendukung dalam status ini. Yang hendak saya persoalkan adalah tidak terpenuhinya prinsip koherensi antara fakta dan informasi menunjukkan kebingungan khas seorang dualistic man yang hendak maju tetapi ragu-ragu karena harus meninggalkan tradisi dari masa lalu. Di antara melangkah maju dengan hati ragu-ragu, mau di bawa ke arah mana Indonesia dengan IKN baru?! Jangan sampai 4.0, metaverse, dan IKN hanya menjadi mantra yang terus dirapal untuk menang pada pilihan depan!
----
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang
Editor : Alfrisa Ica
0 comments: