Oleh : Andika Saputra, S.T., M.Sc*
Pada pekan lalu terhitung tiga kali saya sekeluarga melewati area Pasar Gedhe. Pertama pada hari Jumat dalam rangka keliling kota malam hari yang telah menjadi kegiatan rutin keluarga kami paling tidak sepekan sekali. Lampion telah terpasang, tetapi belum dihidupkan. Walau demikian sudah terlihat keramaian berfoto di depan Gedung Walikota, tempat terpasangnya patung singa dengan lampion memenuhi pohon bagaikan buah yang telah masak dan siap dipetik.
Sehari setelahnya, yakni hari Sabtu, selepas Maghrib kami kembali melewati area Pasar Gedhe menuju rumah sepulang dari Islamic Center Karanganyar. Lampion telah dihidupkan dan arus lalu lintas masih terbilang lancar. Karena antusiasme Esa dan Nalar, kami memutari area terpasangnya lampion sebanyak 2 kali. Terlihat area di depan Gedung Walikota lebih sepi dibandingkan sehari sebelumnya. Bisa jadi karena hujan yang mengguyur Solo dan sekitarnya sejak waktu Ashar.
Ketiga kalinya kami mengunjungi area yang sama pada hari Senin yang lalu. Kami tidak sekedar lewat, kali ini kami memarkir kendaraan di area Pasar Gedhe kemudian berjalan kaki menuju Gedung Walikota. Lalu lintas lancar dan kondisi cenderung sepi pada waktu Ashar, sehingga kami dapat merasakan suasana pasar dengan santai sambil jalan-jalan sore. Antrian berfoto di depan patung singa pun terbilang singkat. Hanya menunggu 2 sampai 3 orang, kami bisa berfoto dengan lapang.
Kami memiliki tujuan edukasi melakukan perjalanan ketiga teruntuk Esa dan Nalar. Pertama, kami hendak membentuk kesadaran keduanya bahwasanya salah satu ciri khas kehidupan kota ialah pluralitas yang mau tidak mau harus diakui keberadaannya sebagai fakta kultural, sosiologis, dan keagamaan. Kedua, untuk memberikan pengalaman spasial yang kaya kepada Esa dan Nalar. Untuk itu kami mengajak keduanya mengunjungi dan berkegiatan di berbagai ruang di kota tempatnya hidup dan membina kehidupan. Dari pusat kota, sampai pinggiran. Dari area untuk golongan kaya, sampai area kalangan tunawisma. Dari basis perjuangan Islam sampai kantung komunitas lain. Dari masjid sampai vihara.
Dengan kedua poin ini kami berharap kelak ketika telah balig, Esa dan Nalar dapat menyikapi perbedaan dengan benar. Hidup bersama dengan toleran secara alamiah, prateori, dan jauh dari artifisialitas berdasar abstraksi serampangan para kacung pengejar dana negeri seberang maupun para pandir pengejar jabatan.
Tiga kali kami melewati dan mengunjungi area Pasar Gedhe dalam suasana Imlek, saya selalu memutar kendaraan di depan gapura Keraton Surakarta sambil mengarahkan perhatian Esa untuk melihat ke arah keraton yang gelap. Bahkan dalam perayaan Sekaten yang berpusat di Masjid Gedhe, walaupun ramai pengunjung, tak mampu menghilangkan kesan singup (baca: angker, red.) area keraton. Belum lagi ditambah dengan tidak terawatnya bangunan dan koleksi keraton serta konflik internal keraton semakin meminggirkan area ini jauh ke belakang.
Wibawa keraton telah hilang. Perjuangan Islam telah menjadi sejarah masa lalu yang terus dituturkan dengan pelan. Kebudayaan dan spiritualitas Islam tinggal sebatas ritual harian, bulanan, dan tahunan. Sementara itu Pasar Gedhe terus meningkatkan denyutnya hingga sepanjang hari dengan menyandang identitas Ora Sare. Terlebih menjelang Imlek, cahaya lampion merah menekuk habis kejayaan peradaban para raja dan abdi dalem. Hanya perlintasan kereta wisata yang masih memalingkan perhatian para pelintas jalan untuk mengarahkan mata ke arah gapura yang tertutupi pohon tinggi menjulang.
Inilah pesan yang hendak saya sampaikan kepada Esa dan Nalar. Kehidupan urban memang plural. Tetapi di balik itu terus berlangsung perebutan ruang dan identitas untuk meneguhkan pemilik sah ruang kehidupan yang tidak harus dari kalangan mayoritas warga urban. Perletakan patung singa di depan Gedung Walikota menjadi medan tafsir yang terang benderang, sebab suasana meriah penuh kemenangan tidak pernah ditampilkan di tempat yang sama pada masa perayaan Idul Fitri, Natal, maupun selainnya.
Entah seperti apa kondisi dan narasi spasial kota Solo ke depan. Pasar Klewer pasca terbakar dengan bangunan yang tambun dan gapura yang baru saja selesai dipugar seperti menjadi secercah harapan untuk mengembalikan Solo pada rahim kelahiran ketika perpindahan kerajaan dari Kartasura diikuti perpindahan pasar yang menjadi pusat bagi komunitas Tionghoa. Tentu masih ada dua nama yang harus disebutkan, yakni Kauman dan Laweyan, yang seyogyanya menjadi perhatian umat Islam untuk menumbuhkan sensitivitas ruang dalam rangka mewujudkan kota sebagai ruang kehidupan bersama yang tercurahkan rahmat dari Tuhan.
Tulisan ini diunggah pertama kali di status
Facebook penulis pada hari Senin, 3 Februari 2022.
----
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang
0 comments: