Selasa, 22 Februari 2022

MENJADI WANITA MULIA DAN BERDAYA: CUKUP MENJADI MUSLIMAH SEUTUHNYA



Oleh : Nurul Aisy*

Dewasa ini, banyak kegiatan pemberdayaan wanita yang ingin menempatkan wanita sebagai sosok yang mampu berkiprah dalam segala bidang, dan kerap kali feminisme dianggap sebagai alternatif untuk mencapai tujuan tersebut. Paham feminisme sendiri membawa wacana kesetaraan gender dan isu diskriminasi terhadap perempuan yang seringkali dihembuskan agar perempuan dapat berperan di ranah publik.

Sangat disayangkan, banyak Muslimah yang ikut-ikutan mengimpor paham ini dalam melakukan kajian studi Islam. Mereka melakukan tata ulang dalam pemahaman teks-teks agama yang telah dilakukan oleh ulama’ klasik maupun kontemporer. Sehingga, tidak sedikit aktivis feminis yang menuduh fiqh dan ketetapan ulama’ sebagai penyebab utama ketidakadilan dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Lantas, bagaimana sikap kita sebagai seorang muslim dalam menyikapi paham ini? Apakah untuk menjadi wanita yang mulia dan berdaya harus mengikuti paham ini?

Kesetaraan Gender : dalam Prakteknya Digaungkan oleh Feminis

Membahas mengenai feminisme, tidak akan lepas dari isu kesetaraan gender. Jika diketahui sex konotasinya bersifat natural dan given karena mengandung ciri-ciri biologis, gender yang meski sama-sama diartikan jenis kelamin berkonotasi kebiasaan atau ciri-ciri yang merupakan konstruksi sosial (social and cultural construction). Adapun feminisme sendiri merupakan sebuah gerakan sosial, politik maupun ideologi. Tujuannya untuk membangun dan mencapai kesetaraan gender dalam segala aspek, baik itu dalam politik, ekonomi, ranah pribadi hingga kehidupan sosial.

Asumsi dasar dari kesetaraan gender dibawa oleh feminisme dan berangkat dari teori nurture, yang berisi anggapan bahwa perbedaan sifat antara laki-laki dan perempuan bukan disebabkan perbedaan biologis namun karena konstruksi sosial. Konsep gender sendiri disosialisasikan kepada masyarakat dalam program Pengarusutamaan Gender (PUG). Pengarusutamaan gender merupakan salah satu program pemaksaan konsep dan ideologi gender yang masih kontroversial ke dalam seluruh lini kehidupan.

Memasuki gelombang keempat pengarusutamaan gender, diskursus ini telah masuk sebagai pendekatan dalam studi agama. Para pengkaji agama berusaha untuk membuktikan besarnya perhatian agama terhadap persoalan gender serta solusinya terhadap persoalan tersebut. Namun, penafsiran terhadap nash-nash agama tidak terlepas dari nilai-nilai postmodern, yang menjunjung tinggi relativitas, pluralitas, rekonstruksi dan dekonstruksi. Sehingga tidak mengherankan manakala seringkali dijumpai wacana menggugat syariat, seperti penafian kewajiban memakai kerudung, pembolehan wanita menjadi imam dan khatib, penyetaraan hak waris, dan penafian poligami.

Wanita dalam Peradaban Islam

Dalam sejarah peradaban manusia, banyak sekali pandangan yang merendahkan kaum wanita. Di Peradaban Yunani, Plato dengan teorinya menjadikan wanita sebagai kepemilikan bersama seluruh prajurit. Dalam ajaran Yahudi, perempuan dianggap pembantu rumah yang tidak mendapatkan hak waris bila suaminya meninggal. Selanjutnya dalam ajaran Nasrani, perempuan dianggap hanya merupakan senjata iblis dalam menyesatkan manusia. 

Sejak zaman Plato, Aristoteles hingga tokoh-tokoh di abad pertengahan dan modern, seperti St Agustinus John Locke, St Clement dari Alexandria, Nietzsche, Rousseau, dan semuanya seolah bermufakat, bahwa wanita adalah makhluk hina-dina, dan merupakan biang kerok segala permasalahan. Dikarenakan hal tersebut, saat ini para pengusung kesetaraan gender tampaknya ingin keluar dari problematika gender yang mereka anggap seolah-olah membelenggu takdir seorang perempuan.

Berbeda sekali dengan Islam. Kiprah muslimah dalam membangun peradaban manusia sangat besar. Sejak zaman kenabian Rasulullah Muhammad SAW, sudah banyak muslimah yang telah berkontribusi besar untuk umat manusia, utamanya dalam bidang pendidikan. Wahyu pertama iqra’ sebagai dasar pendidikan merupakan sebuah perintah yang universal, baik untuk laki-laki dan perempuan.

Sebut saja beberapa tokoh muslimah diantaranya adalah Rufaidah binti Sa’ad Al-Anshari, yang merupakan muslimah perawat pertama yang sangat terampil dalam bidang pengobatan, dan tercatat sebagai pemilik tenda perawatan pertama dalam sejarah Islam. Juga nama-nama lain yang sangat banyak jumlahnya, diantaranya seluruh Ummahatul Mukminin, Ummu Waraqah Al-Anshariyah, Jamilah binti Saad bin Rabi, Lubna, dan masih banyak lagi. Tokoh-tokoh tersebut tidak harus menjadi feminis dan tidak perlu teriak kesetaraan gender untuk dapat berkiprah dan bermanfaat bagi umat manusia.

Jadi, apakah seorang Muslimah harus mengikuti gerakan ini untuk menjadi mulia dan berdaya? Jawabannya tidak. Seorang muslimah sudah menjadi mulia dan berdaya dengan menjalankan kewajibannya terhadap Allah, keluarga, dan masyarakat. Dalam Islam, wanita telah menempati kedudukan yang mulia by default. Kemuliaan ini ditunjukkan dari perannya yang begitu penting dalam membangun masyarakat; yang apabila perempuan baik, maka akan baik suatu negara, begitu juga dengan sebaliknya. Seorang wanita muslimah sebagai anak/istri/ibu/saudari/hamba Allah, telah dilekati oleh kemuliaan yang tak mungkin lepas darinya, sehingga tak perlu repot-repot mengusung ide kesetaraan gender. 

Ajaran Islam dengan kemuliaannya telah memberikan keadilan, baik untuk laki-laki dan perempuan. Framework dan worldview masing-masinglah yang kemudian harus digunakan untuk mengoptimalkan akal sehat, sehingga jangan sampai seperti iblis yang percaya kepada Tuhan saja namun tidak mau taat.

Benarlah yang dikatakan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi mengenai paham ini bahwa “Feminisme adalah gerakan nafsu amarah. Pemicunya adalah penindasan dan ketidakadilan. Objeknya adalah laki-laki, konstruksi sosial, politik, dan ekonomi. Ketika diimpor ke negeri ini, ia berwajah gerakan pemberdayaan wanita. Bagus, tapi nilai, prinsip, ide dan konsep gerakannya masih orisinil Barat. Buktinya nafsu amarah lesbianisme ikut diimpor dan dijual bagai keniscayaan, dibela dengan penuh kepercayaan, dan dijustifikasi dengan ayat-ayat keagamaan, bangunan konseptualnya berwajah liberal, radikal, marxis, dan terkadang posmo.”Wallahu A’lam.

----

*Mahasiswi Universitas Darussalam Gontor, Pegiat SEED Institute 

Editor : Alfrisa Ica
Sebelumnya
Next Post

2 komentar:

  1. menjadi muslimah cukup kembali ke fitrah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cukup dengan mengenal diri sendiri secara utuh, maka akan dapatlah kita memahami fitrah sebagai manusia.

      Hapus