Oleh : Andika Saputra, S.T., M.Sc.*
Dalam potongan video dan reportase berbagai portal media online yang memperlihatkan serta mengabarkan tentang kepungan aparat kepolisian terhadap para warga Desa Wadas yang sedang melangsungkan doa bersama di dalam masjid, telah menjadi pengingat bagi kita semua perihal salah satu peran masjid untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat pada saat terjadinya konflik yang membahayakan jiwa.
Peran masjid tersebut dapat ditelusuri pada kebijakan sekaligus teladan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang menjamin keselamatan warga yang berlindung di dalam Masjidil Haram saat terjadinya peristiwa Fathu Makkah. Bisa jadi teladan inilah yang menginspirasi umat Islam beretnis Bugis yang memasuki Bali dari arah Pulau Serangan sekitar abad 17 masehi dan kemudian menjadikan masjid di permukiman mereka di Desa Muslim Soko Tabanan Bali sebagai benteng pertahanan terakhir dari serangan musuh.
Untuk menjadikannya sebagai benteng pertahanan, masyarakat Muslim Soko membangun masjid di tempat tertinggi di area permukimannya, sehingga masjid dapat difungsikan sebagai area untuk mengawasi kedatangan musuh sekaligus posisinya yang tinggi dapat menghambat musuh menguasai permukiman dengan terus melakukan perlawanan melalui tembakan anak panah dari halaman masjid. Keberanian terhadap musuh sekaligus kepasrahan kepada Tuhan adalah kunci kemenangan ketika berlindung di masjid, begitu pernyataan salah seorang tokoh Muslim Soko saat saya wawancarai.
Memang para warga Wadas yang berlindung di masjid tidak dapat melakukan perlawanan di tengah kepungan aparat huru hara bersenjata lengkap, karena masjid dan masyarakat Muslim pada hari ini memang tidak didesain dan disiapkan untuk menghadapi situasi konflik, sebagaimana dahulu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyelenggarakan latihan gulat dan tombak di masjid. Seharusnya penikaman terhadap Amirul Mukminin Umar bin Khattab ketika mengimami shalat dan wafatnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib di pintu masjid menggugah kesadaran spasial kita perihal syarat keamanan masjid sebagai benteng perlindungan dan pertahanan.
Di tengah cengkraman Oligarki dan pemodal culas yang selalu berupaya menguasai setiap jengkal tanah kehidupan di Indonesia untuk mengeksploitasi kekayaan alamnya dan merenggut kehormatan warganya, masjid harus kembali memenuhi perannya sebagai benteng. Masjid harus dibangun dengan kokoh dan mampu memberi perlindungan optimal bagi masyarakat Muslim yang berlindung di dalamnya sambil berdzikir dan merapatkan barisan.
Dari konflik yang terjadi di Desa Wadas, muncul salah satu pertanyaan tentang efektivitas masjid sebagai benteng. Bagaimana strategi yang harus diterapkan agar masyarakat yang menjadikan masjid sebagai benteng mendapatkan kemenangan?
Sehingga untuk merealisasikan masjid sebagai benteng dan memperoleh kemenangan, maka harus dipenuhi 3 syarat. Pertama, kehandalan Sumber Daya Manusia (SDM) umat Islam dalam melakukan perlindungan dan perlawanan jika terjadi konflik. Diantaranya harus dimasifkan gerakan olahraga beladiri di masjid, seperti tapak suci dan panahan, maupun kemampuan komunikasi beserta ilmu pendukungnya, seperti ilmu hukum, untuk melangsungkan negosiasi dalam rangka mengakhiri konflik dengan tercapainya kesepakatan bersama.
Kedua, kehandalan arsitektur masjid di antaranya akses yang mudah diawasi dan bangunan masjid yang kokoh. Minaret atau atap masjid dapat pula difungsikan untuk melakukan pengawasan, pengarahan, hingga komunikasi dengan pihak di luar masjid. Jangan sampai masjid dibangun dengan struktur seadanya, dinding yang mudah dirobohkan, serta atap yang mudah dibakar.
Ketiga, inilah yang hendak saya ulas khusus dalam tulisan ini, yakni jejaring masjid yang dilandasi konsep Ummah sebagai konsekuensi kesatuan umat Islam yang diibaratkan satu tubuh. Jejaring masjid menghubungkan dan menyatukan antar masjid, dengan memfungsikan masjid jami' skala kota sebagai koordinator dan forum ukhuwah bagi masjid permukiman di wilayahnya. Tipologi kewilayahan dan sosiologis masjid yang sederhana tersebut, yakni terdiri dari masjid jami' dan masjid permukiman, kini tidak relevan lagi seiring kemunculan masjid kantor, masjid sekolah, dan masjid kampus yang semakin menuntut kemampuan masjid jami' untuk menjalin tali jejaring masjid.
Antar masjid permukiman saling terhubung melalui masjid jami' yang didukung oleh masjid perkantoran, masjid sekolah, dan masjid kampus sebagai sumber daya manusia dan sumber daya finansial. Dengan begitu, jejaring masjid dapat meningkatkan efektivitas masjid sebagai benteng bagi masyarakatnya yang sedang terlibat konflik. Misal saja, masyarakat yang berlindung di masjid Wadas akan dapat melakukan perlawanan dengan mengerahkan jejaring masjid yang akan menggerakkan masjid-masjid lainnya untuk mendukung masjid Wadas dengan seluruh potensi umat yang tersedia. Masyarakat yang berlindung di masjid Wadas tidak akan sendirian.
Tentu saja realisasi jejaring masjid tidaklah mudah karena melibatkan seluruh unsur umat Islam dengan beragam latar paham keagamaan, sehingga mau tidak mau persoalan ini menjadi tanggung jawab berbagai ormas Islam di Indonesia, DMI, dan MUI untuk menyelesaikannya. Kita sedang mengalami kondisi krisis yang menjadikan jejaring masjid semakin urgent untuk direalisasikan. Hidup di alam demokrasi, jejaring masjid merupakan bagian dari civil society yang oleh Benjamin Barber; penulis buku Jihad vs McWorld, merupakan satu-satunya penyeimbang kelas pemodal culas yang seringkali melakukan persekongkolan jahat dengan politikus.
Telah berlalu Wadas-wadas sebelumnya dan entah kapan giliran kita mengalami; dikepung dan direbut paksa ruang hidup di mana kita lahir, tumbuh besar, dan membina kehidupan. Ingatlah pesan Sidi Gazalba, hanya masjid yang mampu menyatukan umat Islam. Jika kita tidak mampu bersatu melalui jejaring masjid, maka jadilah umat ini bagaikan buih, banyak tetapi tak memiliki taji! Hari ini Wadas, bisa jadi esok hari permukiman Anda diukur dan dikepung. Lalu kemana lagi Anda berlindung?!
----
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang
Editor : Alfrisa Ica
0 comments: