Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*
Tulisan ini
merupakan tanggapan untuk esai Wahyu
Nugroho yang berjudul, "Agama Kemanusiaan". Esainya telah diterbitkan
di media online Kalimahsawa.id pada 28 Januari 2022. Terdapat beberapa poin yang menurut saya tidak
tepat dalam tulisannya tersebut. Semoga Mas
Nugroho mampu memposisikan tanggapan
ini secara proporsional,
sebagaimana pepatah Arab,
"setiap kepala berbeda pemikiran".
Pluralisme Agama
Dalam esainya Mas Nugroho menyatakan, "Apabila
seseorang hanya menganggap agama yang dianutnya hanya sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai
surga dengan merendahkan agama lainnya sebagai agama yang salah dan sesat, maka
pemikiran dikotomi akan terus berkembang dalam dirinya bahkan sampai ke anak
cucunya" (p. 14).
Menurut Mas Nugroho, tidak seorangpun boleh mengklaim agamanya sebagai satu-satunya yang benar, karena
itu menunjukkan pandangan yang eksklusif.
Harusnya setiap pemeluk agama memegang teguh "nilai-nilai kemanusiaan tanpa batas"
dalam praktik keagamaannya. Kemanusiaan bersifat universal dan "Inilah ajaran agama sejatinya"
(p. 12).
Pandangan Mas Nugroho ini nampaknya sangat
terinspirasi oleh paham Pluralisme Agama. MUI mendefinisikan Pluralisme Agama sebagai berikut: “Pluralisme
agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan
karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk
agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama
yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama
akan masuk dan hidup berdampingan di surga” (Fatwa
MUI No. 7/Munas VII/MUI/11/2005).
Menurut Saraswati, "Pluralisme
Agama menjadi bagian fenomena sosial-kultural
yang terbentuk karena adanya fenomena lahiriah dari berbagai agama yang tampak
berbeda, namun pada dasarnya bersama-sama menuju
titik temu (common platform) yang sama. Common platform tersebut adalah sikap kemanusiaan
yang universal" (Saraswati, 2013: 190).
Semuanya berkesempatan mempraktikkan kebenaran
dan memperoleh keselamatan dengan mempraktikkan semangat compassion (cinta kasih karena menanggung nasib yang sama) (Saraswati,
2013: 197-198).
Paham Pluralisme Agama sendiri telah ditetapkan
sebagai paham yang bertentangan dengan ajaran Islam dan haram umat Muslim menganutnya. Tiga di antara landasan fatwa
tersebut yaitu: 1) QS. Ali Imran ayat 19 yang artinya, "Sesungguhnya
agama (yang diridhai) di sisi Allah
hanyalah Islam..."; 2) QS. Ali
Imran ayat 85 yang artinya, "Barangsiapa mencari agama selain agama
Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia
di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi";
Dan 3) Hadits Rasulullah saw. yang berbunyi, "Demi
Dzat Yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku
dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang
aku bawa,
kecuali ia akan menjadi penghuni neraka"
(HR. Muslim no. 218).
Apakah klaim kebenaran Islam dari Allah swt.
dan Rasul-Nya juga termasuk sikap eksklusif, egois, dan merendahkan yang berimplikasi pada paham dikotomik yang telah
diwariskan sampai hari ini?
Mengenai sikap kita terhadap pemeluk agama
lain telah ditetapkan dalam Fatwa MUI, bahwa "Dalam
masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti
haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah
pemeluk agama lain. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam
masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap
inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan
sosial dengan pemeluk
agama lain sepanjang tidak saling merugikan."
Dalam urusan akidah (vertikal), sebagai
seorang Muslim, Islamlah yang benar menurut saya. Juga sebagai seorang Muslim,
dalam urusan muamalah (horisontal) Islam mengajarkan manusia yang paling baik
adalah yang bermanfaat bagi manusia dan alam. Jangan dicampuradukkan!
Terjebak dalam dikotomi
Ketika mengkhawatirkan adanya pemikiran
dikotomik dalam klaim kebenaran agama, nampaknya Mas Nugroho sendiri sudah
terjebak dalam dikotomi. Lah kok iso?
Dikotomi ini sudah terlihat di judul
esainya, Agama Kemanusiaan (berpusat pada manusia) yang secara tidak
langsung membedakannya dengan agama ketuhanan (berpusat pada Tuhan). Mengenai
agama itu sendiri sayangnya Mas Nugroho hanya berkata, “…di karenakan ini
menyangkut soal agama yang sudah pasti para pembaca punya pemahaman
masing-masing…” (p. 1).
Bahkan Mas Nugroho sampai pada kesimpulan, "Apabila
seorang Voltaire mengatakan jika bersangkutan dengan uang, semua orang termasuk
ke dalam agama yang sama, maka penulis akan mengatakan jika bersangkutan dengan
kemanusiaan, semua orang termasuk ke dalam agama yang sama" (p. 10).
Apakah jika bersangkutan dengan uang semua
orang termasuk ke dalam agama keuangan? Lalu yang sama dalam agama itu akidahnya,
ibadahnya, muamalahnya, atau apanya?
Setidaknya saya yakin agama yang dimaksud Mas Nugroho bukanlah
agama sebagai buatan manusia, yang "muncul
dari hasrat manusia untuk membentuk sesuatu yang dapat memenuhi ruang kosong
dalam dirinya" (Saraswati, 2013: 194).
Bukan begitu Mas Nugroho?
Dikotomi kemanusiaan dan ketuhanan ini sebenarnya
telah dicarikan jalan keluar oleh Kuntowijoyo. Salah satunya adalah dengan
Sastra Profetik, yaitu sastra yang merupakan ekspresi dari penghayatan
nilai-nilai Islam sekaligus potret realitas objektif dan universal, yang
tujuannya adalah menggugah kesadaran kemanusiaan cum kesadaran ketuhanan
(Kuntowijoyo, 2019: 1).
Kesadaran kemanusiaan tidak boleh
dipisahkan dengan kesadaran keagamaan (ketuhanan) (Zaidan & Sunardjo ed.,
1999: 3). Kesadaran kemanusiaan yang telah terlepas dari kesadaran ketuhanan
(iman) akibat industrialisasi inilah yang melanggengkan dehumanisasi. Manusia
hanya dapat diselamatkan oleh iman (Kuntowijoyo, 2006: 35). Maka dari itu
sangat penting untuk mentransendensikan manusia (Kuntowijoyo, 2006: 105-108).
Setiap agama mempunyai sejarah kelam
"Setiap agama masing-masing mempunyai sejarah kelamnya
dan punya catatan hitam putihnya yang mana tidak terlepas dari latar belakang
dan alasan kenapa harus seperti itu" (p. 15).
Pernyataan ini sudah
tidak
asing bagi saya. Jordan B. Peterson dalam debatnya berjudul, "Islam and the Possiblity of
Peace" yang diunggah di kanal YouTubenya juga menyatakan hal sepura tapi lebih canggih.
Menurut Peterson setiap agama memiliki catatan hitamnya,
utamanya dalam armed conflict (konflik bersenjata). Baik dalam sejarah Katolik,
Protestan, maupun Islam. Dalam Islam, hal ini
menurutnya dibuktikan dengan banyaknya konflik internal (perang saudara dan saling bunuh) dan
eksternal (ekspansi wilayah) setelah Nabi Muhammad saw. wafat. Tentu saja Mohammed Hijab (lawan debat Peterson) membantahnya dengan
(salah satunya) menyebutkan jumlah korban jiwa dalam perang internal umat Islam
yang sangat kecil bidanding perang agama lain.
Apabila Mas Nugroho melandaskan pernyataannya
sesuai dengan kondisi yang Peterson katakan, maka saya dapat memastikan bahwa
konflik-konflik tersebut bukanlah karena Islamnya, melainkan karena telah
berkuasanya hawa nafsu sehingga manusia
terlalu mencintai dirinya sendiri.
Akibatnya manusia, tak terkecuali umat
Islam, mencintai harta benda, kekayaan dan kemewahan, mencintai makan dan minum
yang berlimpah-limpah, mencintai pakaian dan perhiasan yang indah dan mewah,
mencintai istri dan anak (sanak keluarga) secara berlebihan, mencintai
kedudukan yang tinggi dan kekuasaan, mencintai kemasyhuran dan popularitas,
yang berujung pada penyakit hubbud dunya (cinta dunia) dan menimbulkan
berbagai keserakahan, kerusakan, kekacauan, dan pertentangan di antara umat manusia
(Atjeh, 1985: 9-10).
Islam adalah agama yang sempurna dan
diridhai Allah swt. (QS. Al Maidah: 3); Barang siapa yang membunuh seorang yang
beriman dengan sengaja, maka Neraka Jahanamlah tempatnya (QS. An Nisa: 93);
Barang siapa membunuh seorang manusia, maka seakan-akan dia telah membunuh
semua manusia. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
dia seakan-akan telah memelihara kehidupan semua manusia (QS. Al Maidah: 32).
Namun apabila perang sudah tidak
terelakkan, maka Islam pun telah memberikan panduan, di antaranya tidak merusak
rumah ibadah, tidak membunuh orang tua, wanita, anak-anak, tidak memutilasi
(atau perbuatan keji lainnya), tidak ada penyiksaan, bahkan Rasulullah saw.
melarang untuk merusak pohon-pohon (lingkungan) dan bangunan hunian (Shihab,
2018).
Titik temu
"Kemanusiaan adalah titik pertemuan
bagi semua orang.
Jika kita tidak bisa menerima orang lain karena agamanya, atau budayanya,
bahasanya, madzhabnya, adat istiadatnya, maka terima dan hargailah karena orang
tersebut masih sama-sama manusia seperti kita"
(p. 8). Pernyataan yang menggugah kesadaran kemanusiaan
kita ini memanglah benar, akan tetapi tidak cukup kuat untuk mempertemukan semua orang.
Seluruh manusia sebagaimana ditegaskan oleh
Prof. Syed Muhammad Naquib Al Attas, telah dipertemukan
dalam satu alam sebelum wujud (lahir) di
dunia. Pada saat itu,
manusia pertama sampai terakhir diambil kesaksiannya.
Allah swt. berfirman dalam QS. Al A'raf ayat 172 yang artinya, "Bukankah
Aku ini Tuhanmu?" Seluruh manusia menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami bersaksi" (Al Attas, 2011: 69).
Keadaan sebelum kewujudan inilah yang menjadi titik temu seluruh manusia lintas ruang dan waktu. Seluruh manusia diciptakan oleh Allah swt. dalam
keadaan fitrah. Rasulullah saw. juga bersabda bahwa setiap anak
manusia terlahir di atas fitrah (kesaksian; Tauhid; Islam), namun kedua orang tuanyalah yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani, atau Majusi yang mana melenceng dari fitrahnya (HR. Muslim no. 4803). Titik temu ini bukanlah
atas dasar material (jasad), melainkan spiritual.
Jika keadaan ini diubah dan manusia tidak tunduk
dalam otoritas Tuhan, manusia akan menghadapi tiga pilihan, yaitu: 1) relativisme total yang nilai-nilainya
sepenuhnya urusan pribadi, 2) nilai-nilai tergantung
kepada masyarakat, dan nilai-nilai yang
dominan akan berkuasa, dan 3) nilai-nilai
tergantung kepada kondisi biologis manusia sehingga pasti. Darwinisme sosial,
egoisme, kompetisi, dan agresivitas, akan dianggap sebagai kebajikan
(Kuntowijoyo, 2006: 107).
Oleh karena itu, Prof. Aboebakar Atjeh dengan percaya diri menyatakan bahwa Al-Qu’ranlah yang kelak akan dapat
mempersatukan (mempertemukan) berbagai bangsa yang berbeda-beda di muka bumi
ini dalam suatu ikatan kekeluargaan yang rukun dan damai. “Islamlah yang
akan menjadi agama bagi seluruh umat manusia sesuai dengan kemajuan mereka”
(Atjeh, 1970: 27).
Wallahu a’lam.
Referensi:
Al-Qur’an terjemah Indonesia
Shahih Muslim Kitab Iman dan Kitab Takdir. https://www.hadits.id/. Diakses pada tanggal 30 Januari 2022 pukul 15.20
WIB.
Abdul Rozak Zaidan dan Nikmah Sunardjo
(ed.). 1999. Sastrawan Indonesia Penerima Hadiah Sastra Asia Tenggara: Kuntowijoyo.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Aboebakar Atjeh. 1970. Keringkasan
Filsafat Achlak dalam Islam. Jakarta: CV. Ideality.
Aboebakar Atjeh. 1985. Pendidikan Sufi.
Semarang: CV. Ramadhani.
Destriana Saraswati. “Pluralisme Agama
Menurut Karen Armstrong”. Jurnal Filsafat Vol. 23, No. 3, Desember 2013.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Fatwa MUI No. 7/Munas VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme
Agama. http://mui.or.id/wp-content/uploads/files/fatwa/12.-Pluralisme-Liberalisme-dan-Sekularisme-Agama.pdf. Diakses pada tanggal 29 Januari 2022 pukul 10.40
WIB.
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo. 2019. Maklumat Sastra
Profetik. Yogyakarta: Diva Press.
M. Quraish Shihab. “Bahkan dalam Perang,
Islam Mengajarkan Etika”. 18 Mei 2018. https://tirto.id/bahkan-dalam-perang-islam-mengajarkan-adab-dan-etika-cqnV. Diakses pada tanggal 29 Januari 2022 pukul 22.40
WIB.
S.M.N. Al Attas. 2011. Islam dan
Sekularisme. Bandung: PIMPIN.
Wahyu Nugroho. “Agama Kemanusiaan”. 28
Januari 2022. https://kalimahsawa.id/agama-kemanusiaan/. Diakses pada 29 Januari 2022 pukul 13.12 WIB.
____
*Mahasiswa PAI UM Surakarta dan Pegiat SEED
Institute
0 comments: