Kamis, 03 Februari 2022

KETIDAKUTUHAN PAHAM AGAMA KEMANUSIAAN

Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*

Tulisan ini merupakan tanggapan untuk esai Wahyu Nugroho yang berjudul, "Agama Kemanusiaan". Esainya telah diterbitkan di media online Kalimahsawa.id pada 28 Januari 2022. Terdapat beberapa poin yang menurut saya tidak tepat dalam tulisannya tersebut. Semoga Mas Nugroho mampu memposisikan tanggapan ini secara proporsional, sebagaimana pepatah Arab, "setiap kepala berbeda pemikiran".

Pluralisme Agama

Dalam esainya Mas Nugroho menyatakan, "Apabila seseorang hanya menganggap agama yang dianutnya hanya sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai surga dengan merendahkan agama lainnya sebagai agama yang salah dan sesat, maka pemikiran dikotomi akan terus berkembang dalam dirinya bahkan sampai ke anak cucunya" (p. 14).

Menurut Mas Nugroho, tidak seorangpun boleh mengklaim agamanya sebagai satu-satunya yang benar, karena itu menunjukkan pandangan yang eksklusif. Harusnya setiap pemeluk agama memegang teguh "nilai-nilai kemanusiaan tanpa batas" dalam praktik keagamaannya. Kemanusiaan bersifat universal dan "Inilah ajaran agama sejatinya" (p. 12).

Pandangan Mas Nugroho ini nampaknya sangat terinspirasi oleh paham Pluralisme Agama. MUI mendefinisikan Pluralisme Agama sebagai berikut: “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga (Fatwa MUI No. 7/Munas VII/MUI/11/2005).

Menurut Saraswati, "Pluralisme Agama menjadi bagian fenomena sosial-kultural yang terbentuk karena adanya fenomena lahiriah dari berbagai agama yang tampak berbeda, namun pada dasarnya bersama-sama menuju titik temu (common platform) yang sama. Common platform tersebut adalah sikap kemanusiaan yang universal" (Saraswati, 2013: 190).

Semuanya berkesempatan mempraktikkan kebenaran dan memperoleh keselamatan dengan mempraktikkan semangat compassion (cinta kasih karena menanggung nasib yang sama) (Saraswati, 2013: 197-198).

Paham Pluralisme Agama sendiri telah ditetapkan sebagai paham yang bertentangan dengan ajaran Islam dan haram umat Muslim menganutnya. Tiga di antara landasan fatwa tersebut yaitu: 1) QS. Ali Imran ayat 19 yang artinya, "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam..."; 2) QS. Ali Imran ayat 85 yang artinya, "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi";

Dan 3) Hadits Rasulullah saw. yang berbunyi, "Demi Dzat Yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka" (HR. Muslim no. 218).

Apakah klaim kebenaran Islam dari Allah swt. dan Rasul-Nya juga termasuk sikap eksklusif, egois, dan merendahkan yang berimplikasi pada paham dikotomik yang telah diwariskan sampai hari ini?

Mengenai sikap kita terhadap pemeluk agama lain telah ditetapkan dalam Fatwa MUI, bahwa "Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan."

Dalam urusan akidah (vertikal), sebagai seorang Muslim, Islamlah yang benar menurut saya. Juga sebagai seorang Muslim, dalam urusan muamalah (horisontal) Islam mengajarkan manusia yang paling baik adalah yang bermanfaat bagi manusia dan alam. Jangan dicampuradukkan!

Terjebak dalam dikotomi

Ketika mengkhawatirkan adanya pemikiran dikotomik dalam klaim kebenaran agama, nampaknya Mas Nugroho sendiri sudah terjebak dalam dikotomi. Lah kok iso?

Dikotomi ini sudah terlihat di judul esainya, Agama Kemanusiaan (berpusat pada manusia) yang secara tidak langsung membedakannya dengan agama ketuhanan (berpusat pada Tuhan). Mengenai agama itu sendiri sayangnya Mas Nugroho hanya berkata, “…di karenakan ini menyangkut soal agama yang sudah pasti para pembaca punya pemahaman masing-masing…” (p. 1).

Bahkan Mas Nugroho sampai pada kesimpulan, "Apabila seorang Voltaire mengatakan jika bersangkutan dengan uang, semua orang termasuk ke dalam agama yang sama, maka penulis akan mengatakan jika bersangkutan dengan kemanusiaan, semua orang termasuk ke dalam agama yang sama" (p. 10).

Apakah jika bersangkutan dengan uang semua orang termasuk ke dalam agama keuangan? Lalu yang sama dalam agama itu akidahnya, ibadahnya, muamalahnya, atau apanya?

Setidaknya saya yakin agama yang dimaksud Mas Nugroho bukanlah agama sebagai buatan manusia, yang "muncul dari hasrat manusia untuk membentuk sesuatu yang dapat memenuhi ruang kosong dalam dirinya" (Saraswati, 2013: 194). Bukan begitu Mas Nugroho?

Dikotomi kemanusiaan dan ketuhanan ini sebenarnya telah dicarikan jalan keluar oleh Kuntowijoyo. Salah satunya adalah dengan Sastra Profetik, yaitu sastra yang merupakan ekspresi dari penghayatan nilai-nilai Islam sekaligus potret realitas objektif dan universal, yang tujuannya adalah menggugah kesadaran kemanusiaan cum kesadaran ketuhanan (Kuntowijoyo, 2019: 1).

Kesadaran kemanusiaan tidak boleh dipisahkan dengan kesadaran keagamaan (ketuhanan) (Zaidan & Sunardjo ed., 1999: 3). Kesadaran kemanusiaan yang telah terlepas dari kesadaran ketuhanan (iman) akibat industrialisasi inilah yang melanggengkan dehumanisasi. Manusia hanya dapat diselamatkan oleh iman (Kuntowijoyo, 2006: 35). Maka dari itu sangat penting untuk mentransendensikan manusia (Kuntowijoyo, 2006: 105-108).

Setiap agama mempunyai sejarah kelam

"Setiap agama masing-masing mempunyai sejarah kelamnya dan punya catatan hitam putihnya yang mana tidak terlepas dari latar belakang dan alasan kenapa harus seperti itu" (p. 15).

Pernyataan ini sudah tidak asing bagi saya. Jordan B. Peterson dalam debatnya berjudul, "Islam and the Possiblity of Peace" yang diunggah di kanal YouTubenya juga menyatakan hal sepura tapi lebih canggih. Menurut Peterson setiap agama memiliki catatan hitamnya, utamanya dalam armed conflict (konflik bersenjata). Baik dalam sejarah Katolik, Protestan, maupun Islam. Dalam Islam, hal ini menurutnya dibuktikan dengan banyaknya konflik internal (perang saudara dan saling bunuh) dan eksternal (ekspansi wilayah) setelah Nabi Muhammad saw. wafat. Tentu saja Mohammed Hijab (lawan debat Peterson) membantahnya dengan (salah satunya) menyebutkan jumlah korban jiwa dalam perang internal umat Islam yang sangat kecil bidanding perang agama lain.

Apabila Mas Nugroho melandaskan pernyataannya sesuai dengan kondisi yang Peterson katakan, maka saya dapat memastikan bahwa konflik-konflik tersebut bukanlah karena Islamnya, melainkan karena telah berkuasanya hawa nafsu sehingga manusia terlalu mencintai dirinya sendiri.

Akibatnya manusia, tak terkecuali umat Islam, mencintai harta benda, kekayaan dan kemewahan, mencintai makan dan minum yang berlimpah-limpah, mencintai pakaian dan perhiasan yang indah dan mewah, mencintai istri dan anak (sanak keluarga) secara berlebihan, mencintai kedudukan yang tinggi dan kekuasaan, mencintai kemasyhuran dan popularitas, yang berujung pada penyakit hubbud dunya (cinta dunia) dan menimbulkan berbagai keserakahan, kerusakan, kekacauan, dan pertentangan di antara umat manusia (Atjeh, 1985: 9-10).

Islam adalah agama yang sempurna dan diridhai Allah swt. (QS. Al Maidah: 3); Barang siapa yang membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka Neraka Jahanamlah tempatnya (QS. An Nisa: 93); Barang siapa membunuh seorang manusia, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka dia seakan-akan telah memelihara kehidupan semua manusia (QS. Al Maidah: 32).

Namun apabila perang sudah tidak terelakkan, maka Islam pun telah memberikan panduan, di antaranya tidak merusak rumah ibadah, tidak membunuh orang tua, wanita, anak-anak, tidak memutilasi (atau perbuatan keji lainnya), tidak ada penyiksaan, bahkan Rasulullah saw. melarang untuk merusak pohon-pohon (lingkungan) dan bangunan hunian (Shihab, 2018).

Titik temu

"Kemanusiaan adalah titik pertemuan bagi semua orang. Jika kita tidak bisa menerima orang lain karena agamanya, atau budayanya, bahasanya, madzhabnya, adat istiadatnya, maka terima dan hargailah karena orang tersebut masih sama-sama manusia seperti kita" (p. 8). Pernyataan yang menggugah kesadaran kemanusiaan kita ini memanglah benar, akan tetapi tidak cukup kuat untuk mempertemukan semua orang.

Seluruh manusia sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib Al Attas, telah dipertemukan dalam satu alam sebelum wujud (lahir) di dunia. Pada saat itu, manusia pertama sampai terakhir diambil kesaksiannya. Allah swt. berfirman dalam QS. Al A'raf ayat 172 yang artinya, "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Seluruh manusia menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi" (Al Attas, 2011: 69).

Keadaan sebelum kewujudan inilah yang menjadi titik temu seluruh manusia lintas ruang dan waktu. Seluruh manusia diciptakan oleh Allah swt. dalam keadaan fitrah. Rasulullah saw. juga bersabda bahwa setiap anak manusia terlahir di atas fitrah (kesaksian; Tauhid; Islam), namun kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi yang mana melenceng dari fitrahnya (HR. Muslim no. 4803). Titik temu ini bukanlah atas dasar material (jasad), melainkan spiritual.

Jika keadaan ini diubah dan manusia tidak tunduk dalam otoritas Tuhan, manusia akan menghadapi tiga pilihan, yaitu: 1) relativisme total yang nilai-nilainya sepenuhnya urusan pribadi, 2) nilai-nilai tergantung kepada masyarakat, dan nilai-nilai yang dominan akan berkuasa, dan 3) nilai-nilai tergantung kepada kondisi biologis manusia sehingga pasti. Darwinisme sosial, egoisme, kompetisi, dan agresivitas, akan dianggap sebagai kebajikan (Kuntowijoyo, 2006: 107).

Oleh karena itu, Prof. Aboebakar Atjeh dengan percaya diri menyatakan bahwa Al-Qu’ranlah yang kelak akan dapat mempersatukan (mempertemukan) berbagai bangsa yang berbeda-beda di muka bumi ini dalam suatu ikatan kekeluargaan yang rukun dan damai. “Islamlah yang akan menjadi agama bagi seluruh umat manusia sesuai dengan kemajuan mereka” (Atjeh, 1970: 27).

Wallahu a’lam.

 

Referensi:

Al-Qur’an terjemah Indonesia

Shahih Muslim Kitab Iman dan Kitab Takdir. https://www.hadits.id/. Diakses pada tanggal 30 Januari 2022 pukul 15.20 WIB.

Abdul Rozak Zaidan dan Nikmah Sunardjo (ed.). 1999. Sastrawan Indonesia Penerima Hadiah Sastra Asia Tenggara: Kuntowijoyo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Aboebakar Atjeh. 1970. Keringkasan Filsafat Achlak dalam Islam. Jakarta: CV. Ideality.

Aboebakar Atjeh. 1985. Pendidikan Sufi. Semarang: CV. Ramadhani.

Destriana Saraswati. “Pluralisme Agama Menurut Karen Armstrong”. Jurnal Filsafat Vol. 23, No. 3, Desember 2013. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Fatwa MUI No. 7/Munas VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama. http://mui.or.id/wp-content/uploads/files/fatwa/12.-Pluralisme-Liberalisme-dan-Sekularisme-Agama.pdf. Diakses pada tanggal 29 Januari 2022 pukul 10.40 WIB.

Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kuntowijoyo. 2019. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Diva Press.

M. Quraish Shihab. “Bahkan dalam Perang, Islam Mengajarkan Etika”. 18 Mei 2018. https://tirto.id/bahkan-dalam-perang-islam-mengajarkan-adab-dan-etika-cqnV. Diakses pada tanggal 29 Januari 2022 pukul 22.40 WIB.

S.M.N. Al Attas. 2011. Islam dan Sekularisme. Bandung: PIMPIN.

Wahyu Nugroho. “Agama Kemanusiaan”. 28 Januari 2022. https://kalimahsawa.id/agama-kemanusiaan/. Diakses pada 29 Januari 2022 pukul 13.12 WIB.

____

*Mahasiswa PAI UM Surakarta dan Pegiat SEED Institute

 

Sebelumnya
Next Post

0 comments: