Oleh : Andika Saputra, S.T., M.Sc.*
Konflik antara pemerintah dan masyarakat di Wadas yang dilatarbelakangi rencana alih fungsi lahan menjadi tambang batu Andesit untuk pembangunan Bendungan Bener yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), ditanggapi oleh berbagai pihak, termasuk dari kalangan anggota dewan dan partai politik dengan mendesak pemerintah melakukan kajian AMDAL sebelum dilanjutkannya rencana tersebut. Harapannya agar proyek yang akan direalisasikan tidak merugikan masyarakat setempat dengan rusaknya lingkungan kehidupan mereka.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan penerapan ilmu pengetahuan modern untuk memanfaatkan secara optimal nilai ekonomi suatu tempat dengan seminimal mungkin dampak buruk terhadap lingkungan setempat. Inilah yang dituntut untuk dilakukan pemerintah, dan nanti setelah dilakukan kemudian hasilnya disetujui, kajian AMDAL akan digunakan untuk menyerang balik masyarakat Wadas. Ruang penolakan terhadap penambangan di Wadas ditutup paksa dengan legitimasi hasil kajian yang disahkan secara politis.
Sementara itu masyarakat Wadas memahami dan memanfaatkan lingkungan hidupnya bukan dengan nalar sains modern. Saya mengetahui ini setelah menyimak video dokumenter yang memuat kesaksian dan narasi dari masyarakat Wadas. Kita mudah saja mengatakan dalam perspektif oposisi biner bahwa mereka menggunakan nalar pengetahuan tradisional yang tentu saja tidak canggih, sehingga kedudukan jauh di bawah sains modern.
Kedua belah pihak menggunakan nalar pengetahuan yang berbeda untuk memahami ruang Wadas. Kajian AMDAL toh kalau pun dilakukan, memandang alam sebagai objek belaka, tidak lebih sebagai benda mati yang bernilai ekonomi. Sementara masyarakat Wadas memandang ruang kehidupan mereka bagaikan ibu yang selalu memberi, mencukupi, dan menjaga keberlangsungan hidup mereka bergenerasi. "Tidak apa-apa tidak kaya, hidup secukupnya, yang penting berkelanjutan", begitu seingat saya penggalan cerita salah seorang warga Wadas di dalam tayangan dokumenter.
Dengan demikian, yang terjadi di Wadas selain konflik pemertahanan ruang kehidupan oleh masyarakat setempat yang sedang direbut paksa atas nama kepentingan nasional, adalah benturan pengetahuan (class of knowledge) yang masing-masingnya berasaskan pada pandangan-alam yang saling berbeda secara fundamental dan diametral. Dalam benturan ini, kajian AMDAL oleh pemerintah yang menerapkan nalar sains modern menempati posisi superior sebagai Narasi Besar, meminjam istilah yang digunakan Lyotard, karena merujuk pada kepustakaan yang dinilai universal dan seperangkat standar yang telah teruji di banyak tempat serta pendekatan yang kuantitatif untuk memberikan jaminan kepastian dan ketepatan, dibandingkan pengetahuan 'tradisional' dan lokal masyarakat Wadas yang disampaikan dari generasi ke generasi secara oral dengan pendekatan kualitatif, sehingga mudah dinilai sarat subjektivitas dan ketidakpastian.
Desakan harus dilakukan agar pemerintah, anggota dewan, dan para ahli mengakui eksistensi dan keilmiahan pengetahuan masyarakat Wadas dengan melibatkannya sebagai referensi utama, bahkan satu-satunya, dalam kajian AMDAL. Narasi Besar harus dibongkar untuk menyediakan ruang bagi narasi-narasi yang lain. Pengakuan terhadap pengetahuan masyarakat Wadas adalah langkah awal untuk menggagalkan segala bentuk perampasan dan eksploitasi terhadap ruang kehidupan mereka. Knowledge is power, yang seringkali dilekatkan pada sosok Francis Bacon, harus dimaknai dalam konteks ini. Pengetahuan yang benar ialah yang membebaskan!
----
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang
Editor : Alfrisa Ica
0 comments: