*Mahasiswi Universitas Darussalam Gontor, Pegiat SEED Institute
Editor : Alfrisa Ica
Menyuburkan Kesadaran Ilmu
Oleh : Andika Saputra, S.T., M.Sc.*
Dalam potongan video dan reportase berbagai portal media online yang memperlihatkan serta mengabarkan tentang kepungan aparat kepolisian terhadap para warga Desa Wadas yang sedang melangsungkan doa bersama di dalam masjid, telah menjadi pengingat bagi kita semua perihal salah satu peran masjid untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat pada saat terjadinya konflik yang membahayakan jiwa.
Peran masjid tersebut dapat ditelusuri pada kebijakan sekaligus teladan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang menjamin keselamatan warga yang berlindung di dalam Masjidil Haram saat terjadinya peristiwa Fathu Makkah. Bisa jadi teladan inilah yang menginspirasi umat Islam beretnis Bugis yang memasuki Bali dari arah Pulau Serangan sekitar abad 17 masehi dan kemudian menjadikan masjid di permukiman mereka di Desa Muslim Soko Tabanan Bali sebagai benteng pertahanan terakhir dari serangan musuh.
Untuk menjadikannya sebagai benteng pertahanan, masyarakat Muslim Soko membangun masjid di tempat tertinggi di area permukimannya, sehingga masjid dapat difungsikan sebagai area untuk mengawasi kedatangan musuh sekaligus posisinya yang tinggi dapat menghambat musuh menguasai permukiman dengan terus melakukan perlawanan melalui tembakan anak panah dari halaman masjid. Keberanian terhadap musuh sekaligus kepasrahan kepada Tuhan adalah kunci kemenangan ketika berlindung di masjid, begitu pernyataan salah seorang tokoh Muslim Soko saat saya wawancarai.
Memang para warga Wadas yang berlindung di masjid tidak dapat melakukan perlawanan di tengah kepungan aparat huru hara bersenjata lengkap, karena masjid dan masyarakat Muslim pada hari ini memang tidak didesain dan disiapkan untuk menghadapi situasi konflik, sebagaimana dahulu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyelenggarakan latihan gulat dan tombak di masjid. Seharusnya penikaman terhadap Amirul Mukminin Umar bin Khattab ketika mengimami shalat dan wafatnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib di pintu masjid menggugah kesadaran spasial kita perihal syarat keamanan masjid sebagai benteng perlindungan dan pertahanan.
Di tengah cengkraman Oligarki dan pemodal culas yang selalu berupaya menguasai setiap jengkal tanah kehidupan di Indonesia untuk mengeksploitasi kekayaan alamnya dan merenggut kehormatan warganya, masjid harus kembali memenuhi perannya sebagai benteng. Masjid harus dibangun dengan kokoh dan mampu memberi perlindungan optimal bagi masyarakat Muslim yang berlindung di dalamnya sambil berdzikir dan merapatkan barisan.
Dari konflik yang terjadi di Desa Wadas, muncul salah satu pertanyaan tentang efektivitas masjid sebagai benteng. Bagaimana strategi yang harus diterapkan agar masyarakat yang menjadikan masjid sebagai benteng mendapatkan kemenangan?
Sehingga untuk merealisasikan masjid sebagai benteng dan memperoleh kemenangan, maka harus dipenuhi 3 syarat. Pertama, kehandalan Sumber Daya Manusia (SDM) umat Islam dalam melakukan perlindungan dan perlawanan jika terjadi konflik. Diantaranya harus dimasifkan gerakan olahraga beladiri di masjid, seperti tapak suci dan panahan, maupun kemampuan komunikasi beserta ilmu pendukungnya, seperti ilmu hukum, untuk melangsungkan negosiasi dalam rangka mengakhiri konflik dengan tercapainya kesepakatan bersama.
Kedua, kehandalan arsitektur masjid di antaranya akses yang mudah diawasi dan bangunan masjid yang kokoh. Minaret atau atap masjid dapat pula difungsikan untuk melakukan pengawasan, pengarahan, hingga komunikasi dengan pihak di luar masjid. Jangan sampai masjid dibangun dengan struktur seadanya, dinding yang mudah dirobohkan, serta atap yang mudah dibakar.
Ketiga, inilah yang hendak saya ulas khusus dalam tulisan ini, yakni jejaring masjid yang dilandasi konsep Ummah sebagai konsekuensi kesatuan umat Islam yang diibaratkan satu tubuh. Jejaring masjid menghubungkan dan menyatukan antar masjid, dengan memfungsikan masjid jami' skala kota sebagai koordinator dan forum ukhuwah bagi masjid permukiman di wilayahnya. Tipologi kewilayahan dan sosiologis masjid yang sederhana tersebut, yakni terdiri dari masjid jami' dan masjid permukiman, kini tidak relevan lagi seiring kemunculan masjid kantor, masjid sekolah, dan masjid kampus yang semakin menuntut kemampuan masjid jami' untuk menjalin tali jejaring masjid.
Antar masjid permukiman saling terhubung melalui masjid jami' yang didukung oleh masjid perkantoran, masjid sekolah, dan masjid kampus sebagai sumber daya manusia dan sumber daya finansial. Dengan begitu, jejaring masjid dapat meningkatkan efektivitas masjid sebagai benteng bagi masyarakatnya yang sedang terlibat konflik. Misal saja, masyarakat yang berlindung di masjid Wadas akan dapat melakukan perlawanan dengan mengerahkan jejaring masjid yang akan menggerakkan masjid-masjid lainnya untuk mendukung masjid Wadas dengan seluruh potensi umat yang tersedia. Masyarakat yang berlindung di masjid Wadas tidak akan sendirian.
Tentu saja realisasi jejaring masjid tidaklah mudah karena melibatkan seluruh unsur umat Islam dengan beragam latar paham keagamaan, sehingga mau tidak mau persoalan ini menjadi tanggung jawab berbagai ormas Islam di Indonesia, DMI, dan MUI untuk menyelesaikannya. Kita sedang mengalami kondisi krisis yang menjadikan jejaring masjid semakin urgent untuk direalisasikan. Hidup di alam demokrasi, jejaring masjid merupakan bagian dari civil society yang oleh Benjamin Barber; penulis buku Jihad vs McWorld, merupakan satu-satunya penyeimbang kelas pemodal culas yang seringkali melakukan persekongkolan jahat dengan politikus.
Telah berlalu Wadas-wadas sebelumnya dan entah kapan giliran kita mengalami; dikepung dan direbut paksa ruang hidup di mana kita lahir, tumbuh besar, dan membina kehidupan. Ingatlah pesan Sidi Gazalba, hanya masjid yang mampu menyatukan umat Islam. Jika kita tidak mampu bersatu melalui jejaring masjid, maka jadilah umat ini bagaikan buih, banyak tetapi tak memiliki taji! Hari ini Wadas, bisa jadi esok hari permukiman Anda diukur dan dikepung. Lalu kemana lagi Anda berlindung?!
----
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang
Editor : Alfrisa Ica
Oleh : Alfrisa Renuat*
"Pikiran-pikiran yang gemilang yang pernah ditelurkan oleh
para intelektual dunia hanya bisa terlahir dari pembacaan yang kemudian melahirkan berbagai macam tulisan." (2021: 11)
Tidak akan pernah kita temui,
penulis handal yang tidak membaca. Begitu juga sebaliknya, pembaca yang
ulung tidak terlepas dari kegiatan menulis. Kegiatan membaca dan menulis
merupakan 2 aktivitas yang tidak bisa lepas dari kehidupan para intelektual.
Membaca adalah aktivitas mulia yang seharusnya menjadi budaya di tengah
masyarakat, yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan. Kegiatan
membaca dan menulis bukan hanya untuk memuaskan intelektual belaka, namun
dengan proses membaca dan menulis bisa kita jadikan sebagai jalan untuk
membangun sebuah peradaban yang gemilang.
Membaca merupakan hal pertama
yang diperintahkan kepada Rasulullah saw. Bahkan Allah swt mengatakan kepada
Rasulullah untuk tidak meminta tambahan kecuali dalam hal ilmu. Sebagaimana firman
Allah dalam Al-Quran surah Toha ayat 114 " duhai tuhanku tambahkanlah kepadaku
ilmu". Selain itu melalui hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim, no
2699 menjelaskan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim,
dan barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan
memudahkan baginya jalan menuju surga.
Kekhususan membaca dan menulis
dinilai sebagai aktivitas mulia dan banyak memberikan manfaat bagi siapa saja
yang menempuh jalan ini. Jika kita sering mendengar bahwa buku adalah jendela
dunia, dan dengan membaca kita dapat mengetahuinya. Maka setelah membaca buku
"Agar Kita Gila Membaca dan Menulis" bisa saya katakan bahwa proses
membaca dan menulis adalah jalan untuk mengenal Tuhan, Jalan untuk menjadikan
hidup lebih bermakna , dan Kunci untuk membangun sebuah peradaban.
Jika membaca dan menulis merupakan gerbang utama yang harus dilalui penuntut Ilmu sebagai kontributor peradaban, maka setiap hal-hal yang menjadikan kita sulit untuk menjalankan kedua aktifitas ini harus kita hilangkan, namun bagaimana caranya?
Dalam buku yang ditulis oleh Muhammad Nuruddin yang istimewah ini,
penulis menjelaskan bahwa agar kita bisa "gila" dalam membaca, yang
pertama yang harus kita lakukan adalah menciptakan lingkungan yang dapat mengantarkan kita untuk mulai membaca. Ada ungkapan orang bijak yang mengatakan bahwa manusia itu adalah anak lingkungan (al-Insan Ibnu al-Biah) yakni karakter, kepribadian, mentalitas, hobi dan kesukaan manusia dipengaruhi oleh lingkungan. Sehingga untuk menciptakan lingkungan ini, bisa kita mulai dengan menyediakan buku buku di kamar kita atau saat kita keluar rumah sebisa mungkin untuk membawa satu buku, agar ketika ada kesempatan waktu senggang bisa kita gunakan untuk membaca. Jadi jika anda ingin cinta pada ilmu, carilah lingkungan yang bisa menumbuhkan rasa cinta itu.
Lantas, jika kita sudah menciptakan lingkungan yang kondusif untuk
membaca, bagaimana cara agar kita dapat membaca buku dengan baik?. Lagi-lagi buku ini membawa kita agar benar-benar "gila" dalam aktivitas keilmuan ini. Cara membaca dan memahami buku dengan baik dijelaskan melalui kisah-kisah ulama terdahulu. Misalnya Abbas Mahmud al-'Aqqad, pemikir besar Mesir yang mengatakan bahwa , "membaca satu buku tiga kali itu jauh lebih baik ketimbang membaca tiga buku satu kali". Hal lain juga dicontohkan oleh Ibnu Sina yang membaca buku Ma Ba'da at-Thabi'ah milik Aristoteles, sebanyak 40 kali. Sehingga pembacaan yang baik adalah pembacaan yang mendalam terhadap poin-point penting dalam sebuah buku yang dibaca secara berulang.
Setelah kita dapat membaca buku dengan baik, cara selanjutnya yang
ditawarkan penulis dalam buku ini untuk mematangkan hasil bacaan kita adalah dengan jalan menulis. Tulislah apapun yang anda pikirkan, setelah itu diskusikan dengan teman anda, serta jadikanlah aktivitas menulis sebagai kebutuhan hidup, sehingga jika sekali saja anda meninggalkan aktivitas ini, maka anda aan merasakan ada yg kurang dari diri anda.
Adapun aktivitas membaca dan menulis telah mengabadikan
sosok-sosok yang hidup ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu namun nama-nama mereka masih saja terdengar ditelinga kita, masih ada dalam pembacaan kita melalui kitab-kitab yang mereka tulis. Sebut saja Imam Nawawi, Imam Ghazali, Imam Syafi'i dan Jamaluddin al Qasimi, yang menghabiskan kehidupan mereka dengan jalan ibadah dan keilmuan.
Buku yang sangat recommended
untuk dibaca ini menyadarkan kita bahwa umur kita tidak lebih dari 100
tahun, kecuali orang yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa ta'ala, namun
dengan jalan menulis dan membaca kita bisa diingat sampai ratusan tahun bahkan
ribuan tahun. "Menulislah dengan begitu hasil kerja kalian akan melampaui
zaman" ungkap gurunda kami Pak Andika Saputra.
Identitas buku
Judul : Panduan Praktis Agar Kita Gila Membaca & Menulis
Penulis : Muhammad Nuruddin
Penerbit. : Keira
Tahun terbit. : Desember, 2021
Jumlah halaman : 148
----
*Mahasiswi Ilmu Komunikasi UMS, Pegiat SEED Institute
Oleh : Andika Saputra, S.T., M.Sc*
Pada pekan lalu terhitung tiga kali saya sekeluarga melewati area Pasar Gedhe. Pertama pada hari Jumat dalam rangka keliling kota malam hari yang telah menjadi kegiatan rutin keluarga kami paling tidak sepekan sekali. Lampion telah terpasang, tetapi belum dihidupkan. Walau demikian sudah terlihat keramaian berfoto di depan Gedung Walikota, tempat terpasangnya patung singa dengan lampion memenuhi pohon bagaikan buah yang telah masak dan siap dipetik.
Tulisan ini diunggah pertama kali di status
Facebook penulis pada hari Senin, 3 Februari 2022.
----
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang
Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*
Tulisan ini
merupakan tanggapan untuk esai Wahyu
Nugroho yang berjudul, "Agama Kemanusiaan". Esainya telah diterbitkan
di media online Kalimahsawa.id pada 28 Januari 2022. Terdapat beberapa poin yang menurut saya tidak
tepat dalam tulisannya tersebut. Semoga Mas
Nugroho mampu memposisikan tanggapan
ini secara proporsional,
sebagaimana pepatah Arab,
"setiap kepala berbeda pemikiran".
Pluralisme Agama
Dalam esainya Mas Nugroho menyatakan, "Apabila
seseorang hanya menganggap agama yang dianutnya hanya sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai
surga dengan merendahkan agama lainnya sebagai agama yang salah dan sesat, maka
pemikiran dikotomi akan terus berkembang dalam dirinya bahkan sampai ke anak
cucunya" (p. 14).
Menurut Mas Nugroho, tidak seorangpun boleh mengklaim agamanya sebagai satu-satunya yang benar, karena
itu menunjukkan pandangan yang eksklusif.
Harusnya setiap pemeluk agama memegang teguh "nilai-nilai kemanusiaan tanpa batas"
dalam praktik keagamaannya. Kemanusiaan bersifat universal dan "Inilah ajaran agama sejatinya"
(p. 12).
Pandangan Mas Nugroho ini nampaknya sangat
terinspirasi oleh paham Pluralisme Agama. MUI mendefinisikan Pluralisme Agama sebagai berikut: “Pluralisme
agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan
karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk
agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama
yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama
akan masuk dan hidup berdampingan di surga” (Fatwa
MUI No. 7/Munas VII/MUI/11/2005).
Menurut Saraswati, "Pluralisme
Agama menjadi bagian fenomena sosial-kultural
yang terbentuk karena adanya fenomena lahiriah dari berbagai agama yang tampak
berbeda, namun pada dasarnya bersama-sama menuju
titik temu (common platform) yang sama. Common platform tersebut adalah sikap kemanusiaan
yang universal" (Saraswati, 2013: 190).
Semuanya berkesempatan mempraktikkan kebenaran
dan memperoleh keselamatan dengan mempraktikkan semangat compassion (cinta kasih karena menanggung nasib yang sama) (Saraswati,
2013: 197-198).
Paham Pluralisme Agama sendiri telah ditetapkan
sebagai paham yang bertentangan dengan ajaran Islam dan haram umat Muslim menganutnya. Tiga di antara landasan fatwa
tersebut yaitu: 1) QS. Ali Imran ayat 19 yang artinya, "Sesungguhnya
agama (yang diridhai) di sisi Allah
hanyalah Islam..."; 2) QS. Ali
Imran ayat 85 yang artinya, "Barangsiapa mencari agama selain agama
Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia
di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi";
Dan 3) Hadits Rasulullah saw. yang berbunyi, "Demi
Dzat Yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku
dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang
aku bawa,
kecuali ia akan menjadi penghuni neraka"
(HR. Muslim no. 218).
Apakah klaim kebenaran Islam dari Allah swt.
dan Rasul-Nya juga termasuk sikap eksklusif, egois, dan merendahkan yang berimplikasi pada paham dikotomik yang telah
diwariskan sampai hari ini?
Mengenai sikap kita terhadap pemeluk agama
lain telah ditetapkan dalam Fatwa MUI, bahwa "Dalam
masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti
haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah
pemeluk agama lain. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam
masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap
inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan
sosial dengan pemeluk
agama lain sepanjang tidak saling merugikan."
Dalam urusan akidah (vertikal), sebagai
seorang Muslim, Islamlah yang benar menurut saya. Juga sebagai seorang Muslim,
dalam urusan muamalah (horisontal) Islam mengajarkan manusia yang paling baik
adalah yang bermanfaat bagi manusia dan alam. Jangan dicampuradukkan!
Terjebak dalam dikotomi
Ketika mengkhawatirkan adanya pemikiran
dikotomik dalam klaim kebenaran agama, nampaknya Mas Nugroho sendiri sudah
terjebak dalam dikotomi. Lah kok iso?
Dikotomi ini sudah terlihat di judul
esainya, Agama Kemanusiaan (berpusat pada manusia) yang secara tidak
langsung membedakannya dengan agama ketuhanan (berpusat pada Tuhan). Mengenai
agama itu sendiri sayangnya Mas Nugroho hanya berkata, “…di karenakan ini
menyangkut soal agama yang sudah pasti para pembaca punya pemahaman
masing-masing…” (p. 1).
Bahkan Mas Nugroho sampai pada kesimpulan, "Apabila
seorang Voltaire mengatakan jika bersangkutan dengan uang, semua orang termasuk
ke dalam agama yang sama, maka penulis akan mengatakan jika bersangkutan dengan
kemanusiaan, semua orang termasuk ke dalam agama yang sama" (p. 10).
Apakah jika bersangkutan dengan uang semua
orang termasuk ke dalam agama keuangan? Lalu yang sama dalam agama itu akidahnya,
ibadahnya, muamalahnya, atau apanya?
Setidaknya saya yakin agama yang dimaksud Mas Nugroho bukanlah
agama sebagai buatan manusia, yang "muncul
dari hasrat manusia untuk membentuk sesuatu yang dapat memenuhi ruang kosong
dalam dirinya" (Saraswati, 2013: 194).
Bukan begitu Mas Nugroho?
Dikotomi kemanusiaan dan ketuhanan ini sebenarnya
telah dicarikan jalan keluar oleh Kuntowijoyo. Salah satunya adalah dengan
Sastra Profetik, yaitu sastra yang merupakan ekspresi dari penghayatan
nilai-nilai Islam sekaligus potret realitas objektif dan universal, yang
tujuannya adalah menggugah kesadaran kemanusiaan cum kesadaran ketuhanan
(Kuntowijoyo, 2019: 1).
Kesadaran kemanusiaan tidak boleh
dipisahkan dengan kesadaran keagamaan (ketuhanan) (Zaidan & Sunardjo ed.,
1999: 3). Kesadaran kemanusiaan yang telah terlepas dari kesadaran ketuhanan
(iman) akibat industrialisasi inilah yang melanggengkan dehumanisasi. Manusia
hanya dapat diselamatkan oleh iman (Kuntowijoyo, 2006: 35). Maka dari itu
sangat penting untuk mentransendensikan manusia (Kuntowijoyo, 2006: 105-108).
Setiap agama mempunyai sejarah kelam
"Setiap agama masing-masing mempunyai sejarah kelamnya
dan punya catatan hitam putihnya yang mana tidak terlepas dari latar belakang
dan alasan kenapa harus seperti itu" (p. 15).
Pernyataan ini sudah
tidak
asing bagi saya. Jordan B. Peterson dalam debatnya berjudul, "Islam and the Possiblity of
Peace" yang diunggah di kanal YouTubenya juga menyatakan hal sepura tapi lebih canggih.
Menurut Peterson setiap agama memiliki catatan hitamnya,
utamanya dalam armed conflict (konflik bersenjata). Baik dalam sejarah Katolik,
Protestan, maupun Islam. Dalam Islam, hal ini
menurutnya dibuktikan dengan banyaknya konflik internal (perang saudara dan saling bunuh) dan
eksternal (ekspansi wilayah) setelah Nabi Muhammad saw. wafat. Tentu saja Mohammed Hijab (lawan debat Peterson) membantahnya dengan
(salah satunya) menyebutkan jumlah korban jiwa dalam perang internal umat Islam
yang sangat kecil bidanding perang agama lain.
Apabila Mas Nugroho melandaskan pernyataannya
sesuai dengan kondisi yang Peterson katakan, maka saya dapat memastikan bahwa
konflik-konflik tersebut bukanlah karena Islamnya, melainkan karena telah
berkuasanya hawa nafsu sehingga manusia
terlalu mencintai dirinya sendiri.
Akibatnya manusia, tak terkecuali umat
Islam, mencintai harta benda, kekayaan dan kemewahan, mencintai makan dan minum
yang berlimpah-limpah, mencintai pakaian dan perhiasan yang indah dan mewah,
mencintai istri dan anak (sanak keluarga) secara berlebihan, mencintai
kedudukan yang tinggi dan kekuasaan, mencintai kemasyhuran dan popularitas,
yang berujung pada penyakit hubbud dunya (cinta dunia) dan menimbulkan
berbagai keserakahan, kerusakan, kekacauan, dan pertentangan di antara umat manusia
(Atjeh, 1985: 9-10).
Islam adalah agama yang sempurna dan
diridhai Allah swt. (QS. Al Maidah: 3); Barang siapa yang membunuh seorang yang
beriman dengan sengaja, maka Neraka Jahanamlah tempatnya (QS. An Nisa: 93);
Barang siapa membunuh seorang manusia, maka seakan-akan dia telah membunuh
semua manusia. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
dia seakan-akan telah memelihara kehidupan semua manusia (QS. Al Maidah: 32).
Namun apabila perang sudah tidak
terelakkan, maka Islam pun telah memberikan panduan, di antaranya tidak merusak
rumah ibadah, tidak membunuh orang tua, wanita, anak-anak, tidak memutilasi
(atau perbuatan keji lainnya), tidak ada penyiksaan, bahkan Rasulullah saw.
melarang untuk merusak pohon-pohon (lingkungan) dan bangunan hunian (Shihab,
2018).
Titik temu
"Kemanusiaan adalah titik pertemuan
bagi semua orang.
Jika kita tidak bisa menerima orang lain karena agamanya, atau budayanya,
bahasanya, madzhabnya, adat istiadatnya, maka terima dan hargailah karena orang
tersebut masih sama-sama manusia seperti kita"
(p. 8). Pernyataan yang menggugah kesadaran kemanusiaan
kita ini memanglah benar, akan tetapi tidak cukup kuat untuk mempertemukan semua orang.
Seluruh manusia sebagaimana ditegaskan oleh
Prof. Syed Muhammad Naquib Al Attas, telah dipertemukan
dalam satu alam sebelum wujud (lahir) di
dunia. Pada saat itu,
manusia pertama sampai terakhir diambil kesaksiannya.
Allah swt. berfirman dalam QS. Al A'raf ayat 172 yang artinya, "Bukankah
Aku ini Tuhanmu?" Seluruh manusia menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami bersaksi" (Al Attas, 2011: 69).
Keadaan sebelum kewujudan inilah yang menjadi titik temu seluruh manusia lintas ruang dan waktu. Seluruh manusia diciptakan oleh Allah swt. dalam
keadaan fitrah. Rasulullah saw. juga bersabda bahwa setiap anak
manusia terlahir di atas fitrah (kesaksian; Tauhid; Islam), namun kedua orang tuanyalah yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani, atau Majusi yang mana melenceng dari fitrahnya (HR. Muslim no. 4803). Titik temu ini bukanlah
atas dasar material (jasad), melainkan spiritual.
Jika keadaan ini diubah dan manusia tidak tunduk
dalam otoritas Tuhan, manusia akan menghadapi tiga pilihan, yaitu: 1) relativisme total yang nilai-nilainya
sepenuhnya urusan pribadi, 2) nilai-nilai tergantung
kepada masyarakat, dan nilai-nilai yang
dominan akan berkuasa, dan 3) nilai-nilai
tergantung kepada kondisi biologis manusia sehingga pasti. Darwinisme sosial,
egoisme, kompetisi, dan agresivitas, akan dianggap sebagai kebajikan
(Kuntowijoyo, 2006: 107).
Oleh karena itu, Prof. Aboebakar Atjeh dengan percaya diri menyatakan bahwa Al-Qu’ranlah yang kelak akan dapat
mempersatukan (mempertemukan) berbagai bangsa yang berbeda-beda di muka bumi
ini dalam suatu ikatan kekeluargaan yang rukun dan damai. “Islamlah yang
akan menjadi agama bagi seluruh umat manusia sesuai dengan kemajuan mereka”
(Atjeh, 1970: 27).
Wallahu a’lam.
Referensi:
Al-Qur’an terjemah Indonesia
Shahih Muslim Kitab Iman dan Kitab Takdir. https://www.hadits.id/. Diakses pada tanggal 30 Januari 2022 pukul 15.20
WIB.
Abdul Rozak Zaidan dan Nikmah Sunardjo
(ed.). 1999. Sastrawan Indonesia Penerima Hadiah Sastra Asia Tenggara: Kuntowijoyo.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Aboebakar Atjeh. 1970. Keringkasan
Filsafat Achlak dalam Islam. Jakarta: CV. Ideality.
Aboebakar Atjeh. 1985. Pendidikan Sufi.
Semarang: CV. Ramadhani.
Destriana Saraswati. “Pluralisme Agama
Menurut Karen Armstrong”. Jurnal Filsafat Vol. 23, No. 3, Desember 2013.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Fatwa MUI No. 7/Munas VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme
Agama. http://mui.or.id/wp-content/uploads/files/fatwa/12.-Pluralisme-Liberalisme-dan-Sekularisme-Agama.pdf. Diakses pada tanggal 29 Januari 2022 pukul 10.40
WIB.
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo. 2019. Maklumat Sastra
Profetik. Yogyakarta: Diva Press.
M. Quraish Shihab. “Bahkan dalam Perang,
Islam Mengajarkan Etika”. 18 Mei 2018. https://tirto.id/bahkan-dalam-perang-islam-mengajarkan-adab-dan-etika-cqnV. Diakses pada tanggal 29 Januari 2022 pukul 22.40
WIB.
S.M.N. Al Attas. 2011. Islam dan
Sekularisme. Bandung: PIMPIN.
Wahyu Nugroho. “Agama Kemanusiaan”. 28
Januari 2022. https://kalimahsawa.id/agama-kemanusiaan/. Diakses pada 29 Januari 2022 pukul 13.12 WIB.
____
*Mahasiswa PAI UM Surakarta dan Pegiat SEED
Institute