Oleh : Andika Saputra, S.T, M.Sc.*
Dalam bukunya berjudul The Capitalist Revolution, Peter Berger mengungkap peran perempuan yang hampir-hampir tidak pernah diulas dalam terbentuknya sistem perekonomian Kapitalisme yang kini berlaku Global.
Setelah membahas keterkaitan yang erat antara kelas Borjuis dan kemunculan Kapitalisme, Berger menyatakan, perempuan dari kalangan Borjuis menjadi pemain kunci diterimanya Kapitalisme yang merupakan hasil dari gaya hidup Borjuis yang berasaskan pada nilai kerja keras, rajin, menyenangi intelektualitas, hidup hemat, dan menjaga kehormatan diri. Merembes ke atas, perempuan Borjuis menikah dengan kalangan Aristokrat yang berpegang teguh dengan tradisi dan garis keturunan. Rembesan ini perlahan-lahan berdampak pada meleburnya kelas Aristokrat ke dalam kelas Borjuis, dan lahirnya generasi dari garis keturunan Aristokrat tetapi mengusung nilai dan gaya hidup Borjuis akibat didikan ibunya.
Sementara itu rembesan ke bawah melalui pernikahan antara perempuan Borjuis dengan kelas pekerja yang di kemudian hari akan melahirkan kelas menengah. Dari kelas inilah nantinya lahir kalangan intelektual baru di negeri Barat yang sejak kecil didik oleh ibunya dengan nilai dan gaya hidup khas Borjuis. Karena inilah kelas dalam sistem Kapitalisme bersifat terbuka, sangat terbuka terjadinya kenaikan kelas, terutama jika pria kelas pekerja menikah dengan wanita kelas Borjusi. Anak yang dilahirkannya kemungkinan besar akan menjadi bagian dari kelas menengah sebagai profesional. Demikian ulasan Berger.
Peran ibu sebagai pendidik yang merembes lintas kelas masyarakat, dengan kata lain adalah kunci terbentuknya tatanan masyarakat baru yang menjadi ladang tumbuh suburnya sistem Kapitalisme. Berger juga menyatakan, peran ibu dan istri yang memberi kehangatan dalam keluarga merupakan struktur-antara yang berfungsi sebagai penyeimbang sistem Kapitalisme yang dingin dan penuh persaingan. Seorang pria yang habis-habisan bekerja, berkompetisi di pasar, dan melakukan akumulasi modal, akan merasakan kenyamanan yang dibutuhkannya setiap pulang ke rumah.
Selain keluarga, Berger menyebut komunitas agama sebagai struktur-antara yang penting bagi keberlanjutan Kapitalisme. Paling tidak dua struktur-antara itulah; keluarga dan komunitas agama, yang harus dipertahankan, menurut Berger, untuk menekan dampak buruk berlangsungnya Kapitalisme, seperti individualisme dan anomie atau rasa terasing dalam kehidupan.
Sebagai konsekuensi logisnya, segala paham dan gerakan yang berdampak pada melemahnya dua struktur-antara Kapitalisme, bahkan menghilangkannya, harus diwaspadai karena akan berdampak pada dua kemungkinan, runtuhnya sistem Kapitalisme atau berlangsungnya Kapitalisme yang liar. Secara eksplisit Berger menyebut Feminisme sebagai ancaman bagi Kapitalisme. Begitu peran ibu ditinggalkan, maka hilanglah kehangatan keluarga dan hilanglah pendidikan bagi anak-anak. Singkatnya, keluarga runtuh sebagai struktur-antara.
Kita bisa merujuk pada kajian Jared Diamond dalam bukunya berjudul Upheavel bagaimana kondisi Jepang akibat membuka pintu yang lebar bagi perempuan turut terlibat dalam kegiatan perekonomian dalam sistem Kapitalisme untuk memenuhi jumlah pekerja demi meningkatkan perekonomian negara. Jumlah kelahiran terus mengalami penurunan sebagai akibat dari runtuhnya keluarga sebagai sistem-antara. Inilah dampak dari berlangsungnya Kapitalisme yang liar kata Berger. Otomatis sejak saat itu Jepang hanya mengandalkan tradisi keagamaan sebagai satu-satunya struktur penyeimbang yang entah akan bertahan sampai kapan. Berger masih optimis Jepang dapat melalukan perbaikan, sementara Diamond memandang Jepang dengan iba.
Lalu bagaimana dengan kita di Indonesia pada hari ini? Apakah kita akan mengarahkan peran perempuan untuk terbentuknya sistem baru, atau untuk keberlanjutan sistem Kapitalisme, atau membiarkan tumbuhnya Kapitalisme liar?
Tulisan ini diunggah pertama kali di status
Facebook penulis pada hari Selasa, 28 Desember 2021.
------
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang
0 comments: