Sabtu, 22 Januari 2022

PEMUDA DAN KHIDMAT PADA MASJID


Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*


Masjid Baitul Atiiq di permukiman kami terhitung sepekan ini beroperasi tanpa marbot. Mas Kafi, mahasiswa fisioterapi yang sehari-hari tinggal di masjid, membersihkan masjid merangkap muadzin dan Guru TPA bagi anak-anak, memutuskan untuk pulang ke Blitar karena diterima bekerja di salah satu klinik di kampung halamannya. Setelah 2 tahun membersamai kami dan sangat membantu menjaga serta meningkatkan performa masjid di lingkungan kami, kini kami sebagai jama'ah harus kembali bertugas secara bergantian.

Keberadaan marbot sangat dibutuhkan masjid dengan karakter jama'ah dari kalangan masyarakat urban yang memiliki kesibukan rutin di luar pemukiman, sehingga membatasi peran dan keterlibatannya di masjid. Memang sengaja kami mencari marbot dari kalangan mahasiswa karena bisa bermukim di masjid dan memiliki waktu lebih longgar untuk dapat mengurusi masjid. Operasional yang pada awalnya tertatih, 2 tahun terakhir ini terbilang melesat, walaupun di masa pandemi.

Kuntowijoyo melihat akar masalah dari performa masjid, terutama masjid permukiman, ialah manajemen masjid terkait sumber daya manusia sebagai pengelola masjid. Untuk mengentaskan masalah ini, Kuntowijoyo menyasar kalangan generasi Muslim tanpa Masjid di lingkungan perguruan tinggi dengan mengintegrasikannya ke dalam jama'ah umat Islam melalui peran masjid kampus. Dari komunitas masjid kampus itulah akan merembes secara horizontal ke berbagai masjid untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia penggerak masjid.

Berangkat dari gagasan Kunto, sejak beberapa tahun ini saya gencar menyampaikan ide sekolah takmir masjid untuk mahasiswa di berbagai forum, baik formal maupun non formal. Selain mahasiswa kuliah di prodinya masing-masing, juga kuliah di masjid kampus dengan kurikulum berdurasi 2 atau 3 tahun dengan materi di antaranya BTQ, tahfidz, aqidah, fikih, sirah, manajemen masjid, baitul maal, serta magang di masjid permukiman dan masjid jami' yang berjejaring dengan masjid kampus. Dengan program ini, maka dalam waktu cepat umat Islam akan memiliki sumber daya manusia yang ahli di bidang permasjidan dan siap untuk menggerakkan masjid di seluruh wilayah Indonesia.

Keterlibatan pemuda sebagai penggerak masjid, istilah yang saya gunakan untuk menggantikan istilah marbot dalam rangka memikat hati kalangan pemuda, sudah terbukti mampu meningkatkan performa masjid. Saya menyaksikan sendiri sepak terjang pemuda menggerakkan masjid di area Pogung dan seputaran UGM dengan penyelenggaraan ibadah mahdhah hingga ibadah ghairu mahdhah. Masjid menjadi bergeliat hampir 24 jam sebagai pusat bagi komunitas umat Islam.

Memang kendala yang dihadapi pun tidak mudah. Generasi tua yang menempati posisi puncak dalam struktur ketakmiran masjid cenderung menihilkan peran pemuda dalam kepengurusan dan pengelolaan masjid. Remaja masjid sebatas dilibatkan dalam persoalan pinggiran yang bersifat temporal, seperti kebersihan masjid, angkat-angkat barang, dan bagian konsumsi dalam penyelenggaraan acara masjid. Namun demikian, generasi pemuda tetap harus disiapkan untuk menjadi penerus pengelola masjid, walaupun kesempatan yang tersedia terbilang sempit pada masa kini. Akan tiba masanya pemuda akan menempati posisi strategis dalam pengelolaan masjid.

Khidmat pemuda yang terprogram dengan baik dan terukur, bukan saja akan dapat membangkitkan masjid memberi kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya, tetapi juga secara struktural umat Islam memiliki budaya untuk mengarahkan orientasi dan gaya hidup generasi mudanya. Generasi inilah yang terpikat hatinya dengan masjid dan beribadah kepada Allah kelak mendapatkan naungan dari Allah pada Hari Kiamat, di mana tidak ada naungan selain yang diberikan oleh Allah. Maka dunia pun di tangan dan akhirat menghujam ke dalam hati!

____

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang

Sebelumnya
Next Post

0 comments: