Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*
Masjid Baitul Atiiq di permukiman kami terhitung sepekan ini beroperasi tanpa marbot. Mas Kafi, mahasiswa fisioterapi yang sehari-hari tinggal di masjid, membersihkan masjid merangkap muadzin dan Guru TPA bagi anak-anak, memutuskan untuk pulang ke Blitar karena diterima bekerja di salah satu klinik di kampung halamannya. Setelah 2 tahun membersamai kami dan sangat membantu menjaga serta meningkatkan performa masjid di lingkungan kami, kini kami sebagai jama'ah harus kembali bertugas secara bergantian.
Keberadaan marbot sangat dibutuhkan
masjid dengan karakter jama'ah dari kalangan masyarakat urban yang memiliki
kesibukan rutin di luar pemukiman, sehingga membatasi peran dan keterlibatannya
di masjid. Memang sengaja kami mencari marbot dari kalangan mahasiswa karena
bisa bermukim di masjid dan memiliki waktu lebih longgar untuk dapat mengurusi
masjid. Operasional yang pada awalnya tertatih, 2 tahun terakhir ini terbilang
melesat, walaupun di masa pandemi.
Kuntowijoyo melihat akar masalah
dari performa masjid, terutama masjid permukiman, ialah manajemen masjid
terkait sumber daya manusia sebagai pengelola masjid. Untuk mengentaskan
masalah ini, Kuntowijoyo menyasar kalangan generasi Muslim tanpa Masjid di
lingkungan perguruan tinggi dengan mengintegrasikannya ke dalam jama'ah umat
Islam melalui peran masjid kampus. Dari komunitas masjid kampus itulah akan
merembes secara horizontal ke berbagai masjid untuk memenuhi kebutuhan sumber
daya manusia penggerak masjid.
Berangkat dari gagasan Kunto, sejak
beberapa tahun ini saya gencar menyampaikan ide sekolah takmir masjid untuk
mahasiswa di berbagai forum, baik formal maupun non formal. Selain mahasiswa
kuliah di prodinya masing-masing, juga kuliah di masjid kampus dengan kurikulum
berdurasi 2 atau 3 tahun dengan materi di antaranya BTQ, tahfidz, aqidah,
fikih, sirah, manajemen masjid, baitul maal, serta magang di masjid permukiman
dan masjid jami' yang berjejaring dengan masjid kampus. Dengan program ini,
maka dalam waktu cepat umat Islam akan memiliki sumber daya manusia yang ahli
di bidang permasjidan dan siap untuk menggerakkan masjid di seluruh wilayah
Indonesia.
Keterlibatan pemuda sebagai
penggerak masjid, istilah yang saya gunakan untuk menggantikan istilah marbot
dalam rangka memikat hati kalangan pemuda, sudah terbukti mampu meningkatkan
performa masjid. Saya menyaksikan sendiri sepak terjang pemuda menggerakkan
masjid di area Pogung dan seputaran UGM dengan penyelenggaraan ibadah mahdhah
hingga ibadah ghairu mahdhah. Masjid menjadi bergeliat hampir 24 jam sebagai
pusat bagi komunitas umat Islam.
Memang kendala yang dihadapi pun
tidak mudah. Generasi tua yang menempati posisi puncak dalam struktur
ketakmiran masjid cenderung menihilkan peran pemuda dalam kepengurusan dan
pengelolaan masjid. Remaja masjid sebatas dilibatkan dalam persoalan pinggiran
yang bersifat temporal, seperti kebersihan masjid, angkat-angkat barang, dan
bagian konsumsi dalam penyelenggaraan acara masjid. Namun demikian, generasi
pemuda tetap harus disiapkan untuk menjadi penerus pengelola masjid, walaupun
kesempatan yang tersedia terbilang sempit pada masa kini. Akan tiba masanya
pemuda akan menempati posisi strategis dalam pengelolaan masjid.
Khidmat pemuda yang terprogram dengan baik dan terukur, bukan saja akan dapat membangkitkan masjid memberi kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya, tetapi juga secara struktural umat Islam memiliki budaya untuk mengarahkan orientasi dan gaya hidup generasi mudanya. Generasi inilah yang terpikat hatinya dengan masjid dan beribadah kepada Allah kelak mendapatkan naungan dari Allah pada Hari Kiamat, di mana tidak ada naungan selain yang diberikan oleh Allah. Maka dunia pun di tangan dan akhirat menghujam ke dalam hati!
____
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang
0 comments: