Kamis, 20 Januari 2022

MENGENAL KUNTOWIJOYO SEBAGAI SASTRAWAN

Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*

Belakangan ini saya jadi semakin tertarik dengan sosok Kuntowijoyo. Ini karena tugas akhir saya meneliti pemikiran Kuntowijoyo, spesifiknya Sastra Profetik. Semenjak itu saya makin banyak bersentuhan dengan pemikiran Pak Kunto mengenai sastra, karya sastranya, serta ulasan orang lain mengenai Sastra Profetik. Dalam esai sederhana ini, saya ingin berbagi beberapa hal mengenai sosok Kuntowijoyo sebagai seorang sastrawan sejauh ketertarikan dan batas pengetahuan saya.

Sastra Transendental

Sebelum menggunakan istilah Sastra Profetik, Kuntowijoyo terlebih dahulu menggunakan istilah Sastra Transendental. Sebagaimana diungkapkan oleh Wan Anwar, bahwa pada Temu Sastra 1982 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kuntowijoyo menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan suatu sastra yang mempertanyakan manusia di tengah kehidupan modern yang serba birokratis, industrialis, pasar, dan instrumental. Sehingga sastra transendental tidak hanya terlibat dalam dimensi jasmani, tetapi juga menyentuh dimensi rohani manusia. Wan Anwar kemudian menyebut sastra Pak Kunto "berakar di bumi sekaligus menjangkau langit".

Penerima Hadiah Sastra Asia Tenggara

Pada tahun 1999, Kuntowijoyo terpilih sebagai penerima hadiah sastra The S.E.A. Write Award dari pihak Kerajaan Thailand. Hadiah ini diberikan kepada sastrawan berprestasi di Asia Tenggara sejak tahun 1978. Untuk keperluan Upacara Penyerahan Hadiah The S.E.A. Write Award ini, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa RI menyusun buku "Sastrawan Indonesia Penerima Hadiah Sastra Asia Tenggara 1999" dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris). Di dalamnya termuat kata sambutan, biografi, dan dua cerpen Kuntowijoyo, yaitu "Dilarang Mencintai Bunga-bunga" dan "Anjing-anjing Menyerbu Kuburan".

Catatan kecil

Sebagai seorang sastrawan, Pak Kunto mengakui betapa beruntungnya ia memiliki kebiasaan untuk menuliskan sinopsis cerita dalam buku "Catatan Kecil" sejak tahun 1962. Setiap gagasan cerita yang terlintas dalam pikirannya, kapanpun dan di manapun akan ia tuliskan dalam Catatan kecil. Dengan begitu, idenya akan tersimpan dan pikirannya tidak akan terbebani dengan ide yang membludak.

Pengendapan gagasan dalam Catatan Kecil menurutnya memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya gagasan-gagasan yang tersimpan itu akan keluar (dituliskan) ketika sudah benar-benar masak. Artinya "semua unsur cerita menjadi lengkap namun tetap terasa spontan, wajar tanpa beban."

Sisi negatifnya, ia tidak bisa menulis cerita yang bersifat aktual (berdasarkan peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi). Maka sastranya sekilas terlihat konservatif, ketinggalan zaman, dan seperti tidak berpartisipasi dalam sejarah yang sedang berlangsung. Tatapi itulah ciri khas seorang sastrawan menurut Pak Kunto. Karya sastra itu lahir dari lubuk jiwa yang terdalam, sehingga terasa antik dan abadi. Meskipun latar ceritanya bertahun-tahun yang lalu, relevansinya masih kita temukan hari ini.

Sempat "pensiun"

Pada tahun 1995, 1996, dan 1997 cerpen Kuntowijoyo berturut-turut terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas. Masing-masing berjudul, "Laki-laki yang Kawin dengan Peri", "Pistol Perdamaian", dan "Anjing-anjing Menyerbu Kuburan". Yang mengejutkan bagi saya adalah bahwa tiga penghargaan berturut-turut ini beliau peroleh setelah sempat "pensiun". Ia bahkan tidak menulis satu cerita pun selama 20 tahun sejak 1973-1993.

Menulis sajak dengan satu jari

Selama empat bulan terhitung dari Januari sampai April 1992, Kuntowijoyo dirawat secara intensif di RSU Dr. Sardjito, Yogyakarta. Ia mengidap meningo encephalitis, penyakit virus yang menyerang otak sehingga menyebabkan radang seluruh jaringan otak dan memakan sebagian sel otak kecilnya.

Penderitaan beliau tidak berhenti setelah dibolehkan pulang ke rumah. Sejak itu beliau melewati berbagai macam terapi intensif di rumah. Hingga pada akhir tahun 1993 Pak Kunto mulai berlatih mengetik menggunakan satu jari. Pada akhirnya (atau bisa kita katakan sebagai permulaan kembali) Pak Kunto menghasilkan buku kumpulan puisi berjudul, "Makrifat Daun, Daun Makrifat" yang ditulis dengan satu jari kelingking kiri saja. Setelah itu beliau kembali konsisten menulis meskipun dalam kondisi seperti di atas.

Menjangkau dua bahasa

Saat itu saya sedang membaca dua buku Pak Kunto secara bersamaan, yaitu "Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas" dan "Mantra Penjinak Ular". Buku pertama adalah buku non-fiksi (kumpulan esai) dan yang kedua adalah buku fiksi (novel). Selama proses membaca kedua buku itu, saya menyadari satu lagi keunikan Pak Kunto sebagai seorang akademisi cum sastrawan. Ide-idenya mengenai kebudayaan dan politik dapat beliau tuliskan dengan dua bahasa, bahasa ilmiah dan bahasa sastrawi. Misalnya esainya dalam buku pertama berjudul, "Demokrasi Gajah, Demokrasi Kuda, dan Demokrasi Anjing", ia sampaikan dengan gaya bahasa yang berbeda dalam buku kedua pada sub-bab V berjudul, "Abu Kasan Sapari tentang Alam". Ini menunjukkan jangkauan gagasan beliau tidak hanya kalangan akademisi, tetapi juga kalangan umum. Pengungkapan gagasan secara sederhana dan mengalir ini lebih mudah dipahami oleh masyarakat umum dari kalangan muda sampai tua daripada menggunakan bahasa akademis yang kaku. Pak Kunto menyentuh keduanya!

Membuat tetangga khawatir

Sebagaimana diceritakan oleh Bu Susilaningsih, istri Kuntowijoyo, setiap kali cerpen Pak Kunto dimuat di media massa para tetangga buru-buru sekaligus cemas mengecek isi cerpen beliau. Mereka masing-masing bertanya siapa lagi yang akan diangkat dalam ceritanya. Mereka merasa was-was karena Pak Kunto seringkali mengangkat tokoh yang dirasa mirip dengan para tetangganya.

Kuntowijoyo sendiri dalam kesempatan lain mengakui hal tersebut ketika menulis cerpen "Dilarang Mencintai Bunga-bunga". Tokoh ayah dalam cerpen tersebut terinspirasi dari tetangganya, seorang Jepang yang telah berkeluarga dan mengganti nama menjadi Saleh. Tetangganya itu bekerja di bengkel kereta api yang selalu pulang selepas maghrib lewat depan rumahnya. Saleh selalu jalan terburu-buru dan tidak mempedulikan orang lain, sehingga Pak Kunto hampir tidak pernah menegurnya. Tokoh lain yaitu kakek pencinta bunga juga terinspirasi dari kawannya di tingkat pertama universitas. Kawannya itu (yang tentu bukan kakek-kakek) selalu mengisi kamarnya dengan bunga warna-warni.

Strukturalisasi pengalaman (selain strukturalisasi imajinasi dan strukturalisasi nilai) adalah salah satu dari rumus three in one ceritanya. Strukturalisasi pengalaman adalah penyatuan potongan-potongan pengalaman yang tercecer di sana-sini menjadi satu struktur cerita yang utuh dan bermakna. Begitulah cara Pak Kunto menulis cerita.

Mungkin itu saja yang dapat saya sampaikan pada esai sederhana mengenai sosok Kuntowijoyo sebagai seorang sastrawan. Sebagaimana yang dikatakan oleh guru kami di SEED Institute, Pak Andika Saputra, bahwa Kuntowijoyo adalah manusia yang utuh. Pak Kunto adalah kesatuan sebagai akademisi, cendikiawan, agamawa, sejarawan, dan sastrawan. Wallahu a'lam.


Referensi:

Abdul Rozak Zaidan dan Nikmah Sunardjo. 1999. Sastrawan Indonesia Penerima Hadiah Sastra Asia Tenggara. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Susilaningsih. 2006. "Renungan Tentang Pribadi Profetik Mas Kunto (Bagian I)". Tulisan ini dimuat dalam website arbaswedan.id dengan judul yang sama. 

Wan Anwar. 2007. Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo.

___

*Mahasiswa Pend. Agama Islam UM Surakarta dan Pegiat SEED Institute

Sebelumnya
Next Post

0 comments: