Rabu, 26 Januari 2022

MATAHARI BUATAN DI ANTARA KUASA TUHAN DAN KEBUDAYAAN

Sumber: Kompas.com

Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Setelah ilmuwan Cina berhasil menghidupkan reaktor fusi nuklir hingga mencapai suhu 70 juta derajat celcius selama 1.056 detik yang membawa umat manusia selangkah semakin dekat memiliki sumber energi bersih yang hampir tidak terbatas, seketika mengundang tanggapan negatif oleh sekalangan umat Islam di Indonesia.

Pandangan negatif berangkat dari anggapan kerja ilmuwan Cina hendak menyaingi Tuhan sebagai pencipta matahari yang telah ditetapkan oleh-Nya memiliki suhu 15 juta derajat celcius. Ini berarti fusi reaktor nuklir milik Cina mencapai suhu hampir 5 kali lebih panas dibandingkan matahari. Penilaian demikian tidak bisa dipungkiri bias ideologi, alih-alih substantif terkait persoalan IPTEK. Sistem politik Cina yang menganut Komunisme menjadi sandaran argumentasi bagi sekalangan umat Islam. Cina yang anti Tuhan hendak melawan Tuhan dengan menyaingi ciptaan-Nya!

Saya menduga, penilaian tadi akan berbeda jika Saudi, Dubai, atau negara Islam lain yang berhasil mencapai kemajuan IPTEK di bidang reaktor fusi nuklir. Minimal euforia akan merebak jika penelitian matahari buatan dilakukan di negeri Barat yang melibatkan seorang Muslim, walaupun sebatas berperan sebagai mahasiswa doktoral merangkap asisten peneliti. Bisa jadi, dan saya merasa hampir pasti, tidak akan muncul narasi melawan maupun menyaingi Tuhan digantikan narasi pertanda kebangkitan peradaban Islam.

Penilaian bernuansa teologis yang serampangan berangkat dari tidak dipahaminya kedudukan serta relasi antara Tuhan, ciptaan-Nya, dan kebudayaan. Sepanjang sejarah manusia, tidak sekali dua kali manusia terinspirasi dan meniru prinsip kerja makhluk ciptaan Tuhan dalam mencipta teknologi yang dibutuhkannya untuk melangsungkan dan membina kehidupan. Di antaranya teknologi pesawat meniru prinsip kerja burung terbang dan pondasi cakar ayam meniru bentuk kaki ayam. Karenanya Sidi Gazalba menyatakan kebudayaan sebagai segala hasil ciptaan manusia berbeda dengan Tuhan dan ciptaan-Nya. Walaupun begitu, ditegaskan oleh Gazalba, dalam mencipta budaya manusia terinspirasi daya kreasi Tuhan dalam mencipta makhluk-Nya.

Singkatnya, matahari buatan melalui teknologi reaktor fusi nuklir terinspirasi dari prinsip kerja matahari. Antara matahari dan tiruannya dalam ranah teknologi tidaklah sama, dan tidak ada kaitannya antara penciptaan matahari buatan sebagai teknologi dengan sikap menyaingi Tuhan. Perlu dipahami penjelasan ini bersifat konseptual. Sedangkan motif psikologis negara Cina dan ilmuwan yang terlibat dalam penciptaan matahari buatan adalah hal yang berbeda dan merupakan kajian tersendiri.

Reaktor fusi nuklir, bagaimana pun tidak akan mampu menggantikan matahari sebagai makhluk Tuhan yang berkedudukan sebagai bintang bagi planet dan benda langit di Galaksi Bima Sakti. Selain itu matahari buatan belum dapat, dan bisa jadi tidak mungkin dapat menyamai suhu bintang yang lebih besar, seperti Sirius apalagi Betelgeuse yang massanya beribu kali lipat matahari.

Ditinjau dari aspek yang lain, matahari buatan telah membawa manusia kembali menaklukkan alam yang merupakan salah satu dari enam fungsi teknologi. Matahari terbit dan terbenam, sehingga pemanfaatannya sebagai sumber energi pun terbatas waktu. Keterbatasan itulah yang dilampaui reaktor fusi nuklir karena mampu mencapai suhu lebih panas dengan durasi pakai yang lebih panjang. Sebagaimana pesawat serta roket merupakan teknologi yang digunakan manusia untuk melampaui gaya gravitasi, dan untuk kasus ini sama sekali tidak ada penilaian yang bersifat teologis sebagai upaya menyaingi Tuhan.

Namun demikian tidak berarti capaian kinerja ilmuwan Cina tanpa kritik, apalagi tidak boleh dikritik. Umat beragama dengan nilai, pandangan hidup, dan keyakinannya dapat mengambil peran yang bersifat substantif terkait persoalan IPTEK, meliputi keamanan, keselamatan, dan kemudahan akses bagi seluruh umat manusia untuk menikmati energi bersih yang murah.

Setelah kebanyolan dalam menanggapi capaian IPTEK oleh ilmuwan Cina, saya langsung teringat dengan salah satu tugas evaluasi Esa di sekolah TK A, sebagaimana gambar yang saya sematkan pada tulisan ini. Saya dan Bunda sangat berterima kasih kepada Ibu Guru yang telah mengajarkan Esa untuk memahami perbedaan antara ciptaan Tuhan dan ciptaan manusia, sehingga kelak ketika balig nanti ia tidak terperosok pada kesalahan pandangan dan penilaian yang sama. Sementara itu penggunaan agama yang tidak tepat dalam persoalan IPTEK sudah seharusnya mendapat perhatian kalangan jurnalis, dosen, guru, dan ilmuwan untuk menjalin komunikasi sains kepada publik secara terbuka agar dipahami penalaran sains, capaian-capaiannya, dan relasinya dengan kebudayaan dan agama agar tidak lagi salah memahami Tuhan, ciptaan-Nya, dan hasil cipta manusia. Ironis jika bangsa yang besar dan umat yang berpandukan kitab Tuhan tidak mampu membedakan.

Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis pada hari Jumat, 14 Januari 2022.

___

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute & Peneliti Melek Ruang

Sebelumnya
Next Post

0 comments: