Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*
Setelah ilmuwan Cina berhasil menghidupkan
reaktor fusi nuklir hingga mencapai suhu 70 juta derajat celcius selama 1.056
detik yang membawa umat manusia selangkah semakin dekat memiliki sumber energi
bersih yang hampir tidak terbatas, seketika mengundang tanggapan negatif oleh
sekalangan umat Islam di Indonesia.
Pandangan negatif berangkat dari anggapan
kerja ilmuwan Cina hendak menyaingi Tuhan sebagai pencipta matahari yang telah
ditetapkan oleh-Nya memiliki suhu 15 juta derajat celcius. Ini berarti fusi
reaktor nuklir milik Cina mencapai suhu hampir 5 kali lebih panas dibandingkan
matahari. Penilaian demikian tidak bisa dipungkiri bias ideologi, alih-alih
substantif terkait persoalan IPTEK. Sistem politik Cina yang menganut Komunisme
menjadi sandaran argumentasi bagi sekalangan umat Islam. Cina yang anti Tuhan
hendak melawan Tuhan dengan menyaingi ciptaan-Nya!
Saya menduga, penilaian tadi akan berbeda
jika Saudi, Dubai, atau negara Islam lain yang berhasil mencapai kemajuan IPTEK
di bidang reaktor fusi nuklir. Minimal euforia akan merebak jika penelitian
matahari buatan dilakukan di negeri Barat yang melibatkan seorang Muslim,
walaupun sebatas berperan sebagai mahasiswa doktoral merangkap asisten
peneliti. Bisa jadi, dan saya merasa hampir pasti, tidak akan muncul narasi
melawan maupun menyaingi Tuhan digantikan narasi pertanda kebangkitan peradaban
Islam.
Penilaian bernuansa teologis yang
serampangan berangkat dari tidak dipahaminya kedudukan serta relasi antara
Tuhan, ciptaan-Nya, dan kebudayaan. Sepanjang sejarah manusia, tidak sekali dua
kali manusia terinspirasi dan meniru prinsip kerja makhluk ciptaan Tuhan dalam
mencipta teknologi yang dibutuhkannya untuk melangsungkan dan membina
kehidupan. Di antaranya teknologi pesawat meniru prinsip kerja burung terbang
dan pondasi cakar ayam meniru bentuk kaki ayam. Karenanya Sidi Gazalba
menyatakan kebudayaan sebagai segala hasil ciptaan manusia berbeda dengan Tuhan
dan ciptaan-Nya. Walaupun begitu, ditegaskan oleh Gazalba, dalam mencipta
budaya manusia terinspirasi daya kreasi Tuhan dalam mencipta makhluk-Nya.
Singkatnya, matahari buatan melalui
teknologi reaktor fusi nuklir terinspirasi dari prinsip kerja matahari. Antara matahari
dan tiruannya dalam ranah teknologi tidaklah sama, dan tidak ada kaitannya
antara penciptaan matahari buatan sebagai teknologi dengan sikap menyaingi
Tuhan. Perlu dipahami penjelasan ini bersifat konseptual. Sedangkan motif
psikologis negara Cina dan ilmuwan yang terlibat dalam penciptaan matahari
buatan adalah hal yang berbeda dan merupakan kajian tersendiri.
Reaktor fusi nuklir, bagaimana pun tidak
akan mampu menggantikan matahari sebagai makhluk Tuhan yang berkedudukan
sebagai bintang bagi planet dan benda langit di Galaksi Bima Sakti. Selain itu
matahari buatan belum dapat, dan bisa jadi tidak mungkin dapat menyamai suhu
bintang yang lebih besar, seperti Sirius apalagi Betelgeuse yang
massanya beribu kali lipat matahari.
Ditinjau dari aspek yang lain, matahari
buatan telah membawa manusia kembali menaklukkan alam yang merupakan salah satu
dari enam fungsi teknologi. Matahari terbit dan terbenam, sehingga pemanfaatannya
sebagai sumber energi pun terbatas waktu. Keterbatasan itulah yang dilampaui reaktor
fusi nuklir karena mampu mencapai suhu lebih panas dengan durasi pakai yang
lebih panjang. Sebagaimana pesawat serta roket merupakan teknologi yang
digunakan manusia untuk melampaui gaya gravitasi, dan untuk kasus ini sama
sekali tidak ada penilaian yang bersifat teologis sebagai upaya menyaingi
Tuhan.
Namun demikian tidak berarti capaian
kinerja ilmuwan Cina tanpa kritik, apalagi tidak boleh dikritik. Umat beragama
dengan nilai, pandangan hidup, dan keyakinannya dapat mengambil peran yang
bersifat substantif terkait persoalan IPTEK, meliputi keamanan, keselamatan,
dan kemudahan akses bagi seluruh umat manusia untuk menikmati energi bersih
yang murah.
Setelah kebanyolan dalam menanggapi capaian
IPTEK oleh ilmuwan Cina, saya langsung teringat dengan salah satu tugas
evaluasi Esa di sekolah TK A, sebagaimana gambar yang saya sematkan pada tulisan ini. Saya dan Bunda sangat berterima kasih kepada Ibu Guru yang telah
mengajarkan Esa untuk memahami perbedaan antara ciptaan Tuhan dan ciptaan
manusia, sehingga kelak ketika balig nanti ia tidak terperosok pada kesalahan
pandangan dan penilaian yang sama. Sementara itu penggunaan agama yang tidak
tepat dalam persoalan IPTEK sudah seharusnya mendapat perhatian kalangan
jurnalis, dosen, guru, dan ilmuwan untuk menjalin komunikasi sains kepada
publik secara terbuka agar dipahami penalaran sains, capaian-capaiannya, dan
relasinya dengan kebudayaan dan agama agar tidak lagi salah memahami Tuhan,
ciptaan-Nya, dan hasil cipta manusia. Ironis jika bangsa yang besar dan umat
yang berpandukan kitab Tuhan tidak mampu membedakan.
Tulisan ini diunggah pertama kali di status
Facebook penulis pada hari Jumat, 14 Januari 2022.
___
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED
Institute & Peneliti Melek Ruang
0 comments: