Sumber: Kompasiana.com |
Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri*
Ada dua kejadian yang membuat saya tergerak menulis esai ini. Meskipun topik ini sudah familiar bagi kita, dua kejadian tersebut mendesak benak saya untuk menuliskannya.
Kejadian pertama adalah ketika beberapa hari lalu umur saya genap 22 tahun. Esai ini tentu saja bukan pengumuman apalagi undangan perayaan bertambahnya umur saya. Kejadian kedua ketika melihat status salah satu kontak di WhatsApp. Status itu berupa pamflet promosi penjualan motor dengan cicilan sebanyak 33 bulan.
Sekilas kejadian kedua lebih relevan untuk dibicarakan menurut judul esai ini. Akan tetapi, perlu saya tegaskan bahwa kejadian pertamalah yang saya sebut sebagai utang. Ya, saya telah berutang sebanyak 22 tahun umur saya di dunia.
Kepada siapa manusia berutang?
Dalam buku Islam dan Sekularisme, Prof. Syed Muhammad Naquib Al Attas menegaskan bahwa, "manusia berhutang kepada Allah, Sang Pencipta dan Sang Pemelihara, karena menjadikan manusia wujud (eksistensi) dan menjaganya agar senantiasa wujud." Kita berhutang kepada Allah swt. yang karena-Nya manusia ada (wujud).
Dalam QS. Al-Mu'minun ayat 12-14, Allah swt. menceritakan proses kejadian manusia dari saripati tanah. "Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta yang paling baik." Berdasarkan ayat ini, Al Attas mengajak kita merenungi asal muasal kehidupan manusia. Beberapa tahun yang lalu sebelum dilahirkan, kita tidak ada. Juga tidak seorangpun mengetahui bahwa dirinya akan lahir. Kejadian ini berlaku sejak manusia pertama sampai manusia terakhir di masa depan. Nabi Adam as. sendiri pun tidak pernah tahu dirinya akan diciptakan.
Lalu apa yang terjadi setelah manusia dilahirkan? Mampukah dia mengendalikan wujudnya? Mampukah dia mengembangkan indra penglihatannya? Mampukah dia mengatur pertumbuhan kuku jarinya? Kita harus sekapat bahwa jawaban untuk semua pertanyaan di atas adalah tidak!
Menurut Al Attas, utang lahirnya kita di dunia juga bukan kepada kedua orang tua. Karena orang tua kita juga mengalami hal yang sama. Mereka memiliki utang yang sama. Semua manusia lahir dalam keadaan tak berdaya.
Dengan berpegang pada kenyataan di atas, bukan berarti kita menafikan pengorbanan orang tua. Mereka adalah orang-orang yang sangat berjasa dalam hidup kita. Bahkan setetes keringat ibu dalam proses melahirkan pun tidak akan mampu kita membalasnya!
Mengenai topik ini, Prof. Ugi Suharto mengangkat peribahasa yang berbunyi, "utang uang bisa dibayar, utang budi dibawa mati". Utang budi kita kepada orang tua tidak dapat kita bayar di dunia. Lalu, utang eksistensi dibayar dengan apa? Tentu kita tidak akan dapat melunasi utang eksistensi kita kepada Allah swt. Akan tetapi kita dapat menyicilnya dengan mengabdi kepada Sang Pemberi eksistensi dan menjalankan tugas untuk menjadi khalifah di muka bumi. Tugas ini termasuk ibadah sebagaimana terkandung dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56.
Kenapa utang, bukan pemberian?
Kenapa kita menganggap kehidupan yang Allah swt. berikan kepada manusia sebagai utang dan bukan pemberian? Menjawab pertanyaan ini, Prof. Ugi memberikan contoh sederhana tetapi mengena. Misalnya ada seseorang yang hidupnya melarat dan tidak memiliki apa-apa, kemudian datang seorang dermawan memberinya segalanya. Dia diberi makanan, uang, rumah, kendaraan, pendidikan, dan yang lainnya. Sang dermawan ikhlas dan tidak meminta balasan apapun.
Jika kita berada di posisi orang yang diberikan segala-galanya itu, apakah kita hanya akan mengangapnya sebagai rejeki nomplok? Kalau kita punya akal, kita pasti sangat berterima kasih kepada orang yang telah menolong kita keluar dari keterpurukan. Kita akan menganggapnya sebagai utang dan akan melakukan berbagai cara untuk membalas kebaikan orang tersebut. Kita berutang budi kepadanya. Seperti itu pula rasa keberutangan kita kepada Tuhan sekaligus Tuan yang telah memberi kita hidup.
Menurut Al Attas, "hakikat keadaan berutang akan kejadian dan eksistensi diri yang sedemikian luar biasa pengaruhnya bagi manusia tersebut sehingga menjadikan eksistensi seorang manusia sesaat setelah tercipta dan wujud, berada dalam kerugian yang sangat, ini karena ia tidak memiliki suatu apapun, menyadari bahwa segala sesuatu tentang dirinya, apa yang ada para dirinya dan darinya, sesungguhnya dimiliki oleh Sang Pencipta Yang Memiliki segala sesuatu."
Utang eksistensi kita sebagai manusia, tidak lain harus dibayar menggunakan diri (eksistensi) kita sendiri. Yaitu berkhidmad dan menghambakan diri kepada Allah swt.
Kalau utang ini tidak dibayar, pihak mana yang dirugikan: debtor atau kreditor?
Referensi
Syed Muhammad Naquib Al Attas. 2011. Islam dan Sekularisme (terj.). Bandung: PIMPIN.
___
*Pegiat SEED Institute, Mahasiswa PAI UM Surakarta
0 comments: