Jumat, 07 Januari 2022

AGAMA DAN SAINS, HARUS BERPISAH ATAU BERTEMU?


Oleh: Andika Saputra, S.T., M.Sc.*

Beberapa waktu belakangan ini di beranda FB saya ramai membincangkan persoalan relasi antara pendidikan agama dan pendidikan sains. Dua pendapat dapat saya simpulkan dari diskusi yang berlangsung di berbagai lapak. Sebelumnya perlu saya perjelas agar tidak salah paham, sains yang dimaksud dalam pengertian sempit merujuk pada IPA modern.

Pihak pertama menghendaki agar penuntut ilmu agama juga menguasai sains, sehingga kajian terhadap agama tidak seputar 'itu-itu saja'. Kajian agama tidak statis dan mampu mengikuti capaian sains. Sementara pihak kedua menegaskan spesialisasi. Penuntut ilmu agama memang fokus pada kajian agama agar memiliki otoritas pada bidangnya, begitu pula penuntut ilmu sains. Tidak relevan jika persoalan sains yang bersifat substansial dibebankan kepada penuntut ilmu agama.

Memang masih jauh ikhtiar kita untuk mewujudkan kembali kualitas manusia polymath yang memiliki keahlian di bidang ilmu agama sekaligus sains, sebagaimana para ulama pendahulu, sebut saja dua di antaranya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Hambatan terbesar tentu saja datang dari sistem pendidikan yang mengarah pada spesialisasi, bahkan super spesialisasi, walaupun jalan interdisiplin, multidisplin, dan transdisiplin mulai dirintis tetapi belum terbuka lebar, terutama di Indonesia. Hambatan ini tidak dapat dilepaskan dari paham Sekularisme yang memang menghendaki pemisahan antara wilayah agama dan wilayah sains.

Dalam kondisi demikian, pemikiran Prof. Imam Suprayoga sangat relevan yang menempatkan penuntut ilmu agama dan sains sebagai partner dalam kerja ilmiah bersama. Agar dapat bertemu sebagai partner, maka kedua belah pihak harus mampu menjalin komunikasi dua arah dengan menyediakan titik-titik pemahaman yang sama. Hal ini saya rinci menjadi dua poin.

Pertama, antara penuntut ilmu agama dan sains harus memiliki tujuan, visi, dan agenda yang sama. Apa yang harus diwujudkan oleh penuntut ilmu agama maupun sains? Masalah apa yang prioritas harus diselesaikan secara bersama-sama oleh kedua penuntut ilmu tersebut? Kesamaan pandangan mengenai poin ini merupakan pertemuan titik pemahaman yang dapat mendorong bertemunya dua kalangan penuntut ilmu untuk menjalin komunikasi.

Titik pemahaman kedua merujuk pada perluasan bidang ilmu yang menuntut masing-masing penuntut ilmu memperluas wawasan dan pemahamannya. Penuntut ilmu agama harus diberi pemahaman sains yang mendasar, termasuk karakter metodologinya serta capaian-capaian terkini yang paling tidak disampaikan secara kualitatif. Sementara itu penuntut ilmu sains juga harus diberi pemahaman mengenai dasar-dasar agama dalam ranah filosofis, metodologis, dan kaidah-kaidah penting yang dapat mendekatkan sains dengan agama. Permasalahannya, berapa persen bobot perluasan tersebut? Desain kurikulum seperti apa yang mampu merealisasikannya? Dan, apakah mungkin direalisasikan dalam kondisi kebijakan pendidikan di Indonesia?

Jika saja mungkin dan mampu direalisasikan, maka kita telah satu langkah untuk mewujudkan kualitas manusia polymath pada masa mendatang. Jika sebaliknya, maka pendapat kalangan pertama hanyalah angan-angan belaka bagai mimpi di siang bolong, sedangkan pendapat kalangan kedua walaupun tepat karena realistis akan semakin menjauhkan agama dari sains yang membentuk realitas kehidupan empirik bagi umat manusia, hewan, tumbuhan, dan mineral pada hari ini.

Kira-kira 20 tahun yang lalu Kuntowijoyo telah mengingatkan, zaman modern merupakan tantangan bagi relevansi agama. Seberapa jauh kita sebagai umat Islam mampu membawa dan melibatkan agama dalam kehidupan keseharian yang dibentuk oleh capaian sains sangat menentukan keberhasilan ikhtiar pembangunan peradaban Islam yang sedang kita upayakan. Tersisa satu pertanyaan, lalu kita mau apa dan harus melakukan apa?

Tulisan ini diunggah pertama kali di status Facebook penulis pada hari Rabu, 5 Januari 2022.

____

*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang

Sebelumnya
Next Post

1 komentar:

  1. Tentunya kita harus optimis untuk mewujudkan integrasi Islam dan Sains. Karena sebagaimana dikatakan oleh Prof. Al Attas, bahwa faktor utama kerusakan yang dialami oleh umat Islam dan umat manusia secara umum dikarenakan kesalahan dalam memahami ilmu. Persoalan ilmu inilah yang menjadi tanggungjawab paling besar bagi kita semua.

    Yang mesti dilakukan adalah menyatukan kembali keduanya, dan dan mengadakan penelitian lebih lanjut untuk mewujudkan hal tersebut. Wallahu a'lam.

    BalasHapus