Beberapa waktu belakangan ini di
beranda FB saya ramai membincangkan persoalan relasi antara pendidikan agama
dan pendidikan sains. Dua pendapat dapat saya simpulkan dari diskusi yang
berlangsung di berbagai lapak. Sebelumnya perlu saya perjelas agar tidak salah
paham, sains yang dimaksud dalam pengertian sempit merujuk pada IPA modern.
Pihak pertama menghendaki agar
penuntut ilmu agama juga menguasai sains, sehingga kajian terhadap agama tidak
seputar 'itu-itu saja'. Kajian agama tidak statis dan mampu mengikuti capaian
sains. Sementara pihak kedua menegaskan spesialisasi. Penuntut ilmu agama
memang fokus pada kajian agama agar memiliki otoritas pada bidangnya, begitu
pula penuntut ilmu sains. Tidak relevan jika persoalan sains yang bersifat
substansial dibebankan kepada penuntut ilmu agama.
Memang masih jauh ikhtiar kita untuk
mewujudkan kembali kualitas manusia polymath yang memiliki keahlian di bidang
ilmu agama sekaligus sains, sebagaimana para ulama pendahulu, sebut saja dua di
antaranya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Hambatan terbesar tentu saja datang dari
sistem pendidikan yang mengarah pada spesialisasi, bahkan super spesialisasi,
walaupun jalan interdisiplin, multidisplin, dan transdisiplin mulai dirintis
tetapi belum terbuka lebar, terutama di Indonesia. Hambatan ini tidak dapat
dilepaskan dari paham Sekularisme yang memang menghendaki pemisahan antara
wilayah agama dan wilayah sains.
Dalam kondisi demikian, pemikiran
Prof. Imam Suprayoga sangat relevan yang menempatkan penuntut ilmu agama dan
sains sebagai partner dalam kerja ilmiah bersama. Agar dapat bertemu sebagai
partner, maka kedua belah pihak harus mampu menjalin komunikasi dua arah dengan
menyediakan titik-titik pemahaman yang sama. Hal ini saya rinci menjadi dua
poin.
Pertama, antara penuntut ilmu agama
dan sains harus memiliki tujuan, visi, dan agenda yang sama. Apa yang harus
diwujudkan oleh penuntut ilmu agama maupun sains? Masalah apa yang prioritas
harus diselesaikan secara bersama-sama oleh kedua penuntut ilmu tersebut?
Kesamaan pandangan mengenai poin ini merupakan pertemuan titik pemahaman yang
dapat mendorong bertemunya dua kalangan penuntut ilmu untuk menjalin
komunikasi.
Titik pemahaman kedua merujuk pada
perluasan bidang ilmu yang menuntut masing-masing penuntut ilmu memperluas
wawasan dan pemahamannya. Penuntut ilmu agama harus diberi pemahaman sains yang
mendasar, termasuk karakter metodologinya serta capaian-capaian terkini yang
paling tidak disampaikan secara kualitatif. Sementara itu penuntut ilmu sains
juga harus diberi pemahaman mengenai dasar-dasar agama dalam ranah filosofis, metodologis, dan
kaidah-kaidah penting yang dapat mendekatkan sains dengan agama.
Permasalahannya, berapa persen bobot perluasan tersebut? Desain kurikulum
seperti apa yang mampu merealisasikannya? Dan, apakah mungkin direalisasikan
dalam kondisi kebijakan pendidikan di Indonesia?
Jika saja mungkin dan mampu direalisasikan, maka kita telah satu langkah untuk mewujudkan kualitas manusia polymath pada masa mendatang. Jika sebaliknya, maka pendapat kalangan pertama hanyalah angan-angan belaka bagai mimpi di siang bolong, sedangkan pendapat kalangan kedua walaupun tepat karena realistis akan semakin menjauhkan agama dari sains yang membentuk realitas kehidupan empirik bagi umat manusia, hewan, tumbuhan, dan mineral pada hari ini.
Kira-kira 20 tahun yang lalu Kuntowijoyo telah mengingatkan, zaman modern merupakan tantangan bagi relevansi agama. Seberapa jauh kita sebagai umat Islam mampu membawa dan melibatkan agama dalam kehidupan keseharian yang dibentuk oleh capaian sains sangat menentukan keberhasilan ikhtiar pembangunan peradaban Islam yang sedang kita upayakan. Tersisa satu pertanyaan, lalu kita mau apa dan harus melakukan apa?
Tulisan ini diunggah pertama kali di status
Facebook penulis pada hari Rabu, 5 Januari 2022.
____
*Dosen Arsitektur UMS, Pembina SEED Institute dan Peneliti Melek Ruang
Tentunya kita harus optimis untuk mewujudkan integrasi Islam dan Sains. Karena sebagaimana dikatakan oleh Prof. Al Attas, bahwa faktor utama kerusakan yang dialami oleh umat Islam dan umat manusia secara umum dikarenakan kesalahan dalam memahami ilmu. Persoalan ilmu inilah yang menjadi tanggungjawab paling besar bagi kita semua.
BalasHapusYang mesti dilakukan adalah menyatukan kembali keduanya, dan dan mengadakan penelitian lebih lanjut untuk mewujudkan hal tersebut. Wallahu a'lam.