“Ya, saya pada posisi Islam. Tetapi, Islam saya tidak kolot dan tidak fanatik, seperti kamu. Islam saya adalah Islam liberal, Islam yag progresif dan membebaskan.” Demikian jelas Kemi ketika berdebat dengan Rahmat mengenai posisinya dalam membicarakan agama-agama.
Dari kutipan singkat ucapan Kemi di atas, kita sudah bisa sedikit mendapatkan gambaran besar cerita dalam novel karya Adian Husaini ini. Kemi (Ahmad Sukaimi) adalah aktivis liberal yang berkuliah di Institut Studi Agama-agama Damai Sentosa. Sedangkan Rahmat adalah santri kampung yang memiliki misi menyadarkan dan mengembalikan Kemi kepada ajaran Islam yang benar. Keduanya adalah santri andalan Kyai Rois di Pondok Pesantren Minhajul Abidin.
Adian Husaini menceritakan kisah perjalanan dua sahabat ini dalam trilogi KEMI. KEMI Cinta Kebebasan yang Tersesat ini adalah buku pertama dan menjadi buku paling menarik bagi saya. Dalam buku ini kita akan diperlihatkan bagaimana perdebatan heroik Rahmat melawan aktivis-aktivis liberal di kampus Damai Sentosa, tempat Kemi berkuliah. Semua ini tentu dalam rangka menyadarkan Kemi dari sesat fikir yang disebarkannya.
Selain tokoh Kemi dan Rahmat yang menjadi pusat cerita, ada sosok Siti Murtafiah. Siti adalah anak seorang Kyai salah satu Pondok Pesantren di Jawa Barat. Dia adalah salah satu aktivis feminis liberal yang juga adalah kawan dekat Kemi. Menurut Siti hak asasi manusia harus dijunjung tinggi, termasuk hak untuk menjadi gay dan lesbian. Siti juga pernah mengadakan demo protes RUU Anti Pornografi. Karena pemikiran dan aksi-aksi Siti inilah yang membuat ayah serta keluarganya kecewa kepadanya.
Cerita diawali ketika Rahmat mengantarkan Kemi menemui Kyai Rois hendak meminta restu agar dapat berkuliah di Jakarta. Awalnya Kyai Rois merasa kecewa dengan keputusan Kemi ini. Karena dia sangat berharap Kemi dan Rahmat dapat melanjutkan kiprahnya di pondok sebagai pengajar. Akan tetapi, karena keputusan Kemi sudah bulat dan tidak bisa dibendung lagi, maka Kemi diizinkan untuk pergi. Sedangkan Rahmat harus tetap tinggal di pondok.
Sebelum kepergiannya, Kyai Rois berpesan kepada Kemi agar berhati-hati dalam mencari ilmu di luar sana. Kyai Rois khawatir jika Kemi terpapar oleh paham-paham yang dapat menjauhkannya dari Islam yang benar. Kyai Rois lah yang nantinya akan banyak membimbing Rahmat dalam perjalanannya menjalankan misi.
Setibanya di Jakarta, Kemi mulai mendapati banyak pengalaman baru yang tidak ditemukannya di pesantren. Mulai dari hubungan laki-laki dan perempuan, pergaulan dengan umat beragama lain, persentuhannya dengan pemikiran-pemikiran kontemporer, serta berbagai proyek pelatihan yang harus dia kerjakan di berbagai kota.
Rahmat berangkat ke Jakarta untuk mengantarkan adiknya bersekolah di Sukabumi, akhirnya bisa bertemu kembali dengan sahabat seperguruannya itu. Dalam pertemuan yang singkat itu, Rahmat merasakan adanya perubahan yang besar dalam pemikiran Kemi.
Di suatu kafe kampus, keduanya kemudian terlibat dalam perdebatan seru mengenai hakikat Tuhan dan paham pluralisme agama. Perdebatan sengit ini dituliskan dengan bahasa yang sederhana tapi serius oleh penulis. Logika-logika yang dipaparkan Kemi mengenai paham pluralisme agama dapat dipatahkan dengan logika sederhana oleh Rahmat.
Kemi mengatakan bahwa setiap agama memiliki nama Tuhan yang berbeda, tetapi substansi yang dituju tetaplah Tuhan. Sehingga dia berpendapat bahwa nama Tuhan tidaklah penting, tetapi substansinya. Pemikirannya ini berdasarkan buku God has Many Names karya Prof. John Hick. Tetapi Rahmat berpendirian lain.
“Kalau memang masalah nama tidak penting, kenapa kamu tidak berdoa saja, ‘Wahai Tuhan Yahwe, wahai Tuhan Yesus?’ Menurut saya, kamu sudah cukup keblinger.” Rahmat melanjutkan, “Nama penting, makna juga penting. Kalau nama kamu Kemi, tetapi diplesetkan maknanya menjadi ‘Kelakuan Edan Manusia Iblis’ nggak enak, kan? … Jadi, antara nama dan substansi itu sama-sama penting, apalagi ini nama Tuhan.”
Setelah menceritakan perdebatannya itu kepada Kyai Rois, akhirnya Kyai memutuskan bahwa inilah waktu yang tepat untuk mengembalikan Kemi ke jalan yang benar. Dimulailah petualangan Rahmat berkuliah di kampus Damai Sentosa yang mempertemukannya dengan berbagai aktivis liberal seperti Siti, Prof. Malikan (Rektor Institut Damai Sentosa) dan Kyai Dulpikir (Kyai Liberal).
Perdebatan epik antara Rahmat dan Prof. Malikan di ruang kuliah, serta debat Rahmat dengan Kyai Dulpikir dalam forum seminar, menjadikan Rahmat sosok yang dapat mengancam proyek liberalisasi di Indonesia. Ini karena Rahmat dapat mematahkan argumen-argumen liberal, pluralisme agama, multikulturalisme, dan kesetaraan gender dari tokoh-tokoh terkenalnya. Hal ini menjadikan Rahmat ramai dibicarakan di televisi dan media massa.
Mengetahui kelurusan dan keteguhan Rahmat untuk berdiri di jalan yang benar, Siti akhirnya yakin bahwa Rahmat adalah orang yang dapat menyelamatkannya. Siti kemudian menceritakan dirinya kepada Rahmat dalam suatu pertemuan tersembunyi. Siti merasakan dirinya dalam kebingungan karena mencoba untuk melawan fitrahnya sebagai manusia sekaligus sebagai perempuan. Berbagai aktifitasnya sebagai feminis liberal menjadikannya kehilangan makna hidup. Membuatnya bertanya-tanya, kebebasan apa yang selama ini dia cari, apabila yang dia rasakan adalah ketidakberdayaan dalam suatu belenggu yang menyandera dirinya?
Siti akhirnya membongkar kedok kelompoknya selama ini. Siti juga mengatakan posisinya dan Kemi saat ini. “Saya tidak tahu mengapa saya menjadi seperti ini. Semua pergaulan, kuliah, diskusi, kegiatan, sepertinya sudah diatur sedemikian rupa, sampai saya tidak sadar bahwa saya telah menjadi korban dari sebuah skenario besar. Saya korban. Kemi juga korban. Entah ia sadar atau tidak.”. Tanpa sepengetahuan Rahmat, pengakuan Siti ternyata mengancam nyawa mereka.
Setelah pertemuannya dengan Siti ini, Rahmat menjadi semakin bingung. Apa yang sebenarnya dia hadapi? Mengapa Kemi bisa berubah pemikirannya? Apa yang membuat Kemi dan Siti menjadi korban? Korban dari apa mereka sebenarnya?
Kelebihan buku karya Adian Husaini ini adalah penggunaan bahasa yang sederhana. Penulis mampu menyajikan debat-debat sengit antara Rahmat dan aktivis liberal dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh semua kalangan. Penulis juga lihai menyisipkan dialog humor di dalam debat yang membuat dahi mengkerut.
Kekurangannya adalah semua kejadian terjadi begitu cepat tanpa ada jeda. Apalagi setelah Rahmat resmi menjadi mahasiswa di Kampus Damai Sentosa.
Buku ini menjadi salah satu bacaan yang berbobot bagi para pelajar dan mahasiswa agar dapat membekali dirinya dalam pertempuran pemikiran kontemporer. Penulis membongkar wacana liberalisme, pluralisme, multikulturalisme, dan feminisme yang terlihat canggih nan memukau, namun ternyata lemah secara argumentasi dan mudah dipatahkan dengan logika yang sederhana. Novel berbobot yang ditulis oleh penulis kelas kakap.
Klasifikasi buku:
Judul buku : KEMI Cinta Kebebasan yang Tersesat
Pengarang : Adian Husaini
Penerbit : Gema Insani
Tanggal terbit : Dzulqa’dah 1441 H/September 2020 M (Cet. Ke-10)
ISBN : 978-602-250-067-4
Kategori : Fiksi
Tebal hal. : 316
Panjang x lebar : 18.3 cm x 12.3 cm
Berat : 0.26 kg
0 comments: